Jihad merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat
penting. Jihad merupakan bagian tak terpisahkan dari iman. Kuat atau lemahnya
iman seseorang salah satunya diukur dari keberanian dan kesabarannya berjihad
di jalan Allah. Iman yang kuat akan senantiasa menggelorakan semangat seorang
mukmin untuk berjihad. Sebaliknya, iman yang lemah membuat seorang mukmin takut
berjihad karena kesulitan dan tantangan yang sangat berat. Bagi mukmin yang
beriman dan berjihad dijanjikan oleh Allah pahala surga, kehidupan yang mulia
dan kedudukan yang terhormat di sisi-Nya.
Sejarah gemilang perjuangan umat
Islam dalam membina dan membangun masyarakat muslim terkait erat dengan jihad
Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah Muhammmad SAW berserta para
sahabatnya menjadikan jihad sebagai spirit menegakkan syariat Islam. Para
pejuang kemerdekaaan di negara-negara muslim mengobarkan semangat jihad melawan
penjajahan yang bertentangan dengan tauhid, tidak sesuai dangan peri
kemanusiaan dan keadilan. Dengan semangat jihad, para pahlawan kemerdekaan
Indonesia yang mayoritas adalah ulama dan tokoh muslim telah melawan penjajahan
yang menimbulkan penderitaan, kebodohan dan kemiskinan rakyat.
Sayangnya, jihad sebagai ajaran
Islam yang suci telah mengalami pergeseran makna dan pengalamannya. Beberapa
kelompok muslim menyalahgunakan jihad sebagai dalih untuk melawan tindakan
kekerasan, terorisme dan pembuatan makar. Dalam beberapa dasa warsa terakhir
jihad secara sangat efektif dipergunakan oleh kelompok-kelompok muslim ekstrim
untuk melegalkan bom bunuh diri. Pemahaman jihad yang keliru sudah terbukti
menodai kesucian jihad dan mencoreng wajah Islam yang damai. Sehubungan dengan aksi-aksi
yang mengatasnamakan jihad yang keliru tersebut, lembaga-lambaga pendidikan
Islam khususnya madrasah dan pesantren disorot tajam, bahkan dituduh sebagai
sarang teroris. Sesuatu yang sangat merugikan citra Islam.
PENGERTIAN JIHAD
Menurut
pengertian bahasa, jihad berasal dari kata juhd
(Arabic word) yang berarti kemampuan, atau mengeluarkan
sepenuh tenaga dan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu. Kata jihad juga berasal
dari kata Jahd (Arabic word) yang berarti kesukaran yang untuk mengatasinya
harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jihad juga berarti perang. Demikianlah
keterangan Wahbah al-Zuhaili dalam Kitab al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu. Singkatnya,
menurut pengertian bahasa, jihad berarti bekerja keras, bersungguh-sungguh,
mengerahkan seluruh kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau mencapai
tujuan yang mulia.
Menurut Al-Ragib al-Isfahani,
Kitab Mu’jam Mufradat lial-fadz Al-Qur’an
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jihad adalah mengerahkan segala
kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu
hawa nafsu setan dan musuh yang tampak yaitu orang kafir yang memusuhi Islam.
Jihad dalam pengertian ini tidak hanya mencangkup pengertian perang melawa
musuh yang memerangi Islam tetapi lebih luas lagi, jihad berarti berusaha
sekuat tenaga dan kemampuan untuk mengalahkan nafsu setan dalam diri manusia.
Selain pengertian diatas, para
fuqaha mengertikan jihad sebagai upaya mengerapkan segenap kekuatan dalam
perang fi sabilillah baik secara
langsung, maupun dalam bentuk pemberian bantuan keuangan, pendapat atau
penyediaaan logistik dan lain-lain untuk memenangkan peperangan (Ibn Abidin,
Hasyiyah Ibn Abidin, 111/336). Senada dengan Ibn Abidin, An-Nabhani dalam Asy-
Syakhsiyah al-Islamiyyah, 11/53
mendefinisikan jihad sebagai perang terhadap orang-orang kafir untuk
meninggikan kalimat Allah.
Di dalam Al-Qur’an kata jihad dalam berbagai kata bentukannya
disebutkan sebanyak 41 kali. Dari beberapa ayat tersebut, jihad dapat berarti
perjuangan yang berat, mengerahkan segenap kemampuan untuk meraih suatu tujuan
dan berperang. Jihad yang berarti berperang lebih banyak disebutkan dengan kata
“qital”, hanya sebagian kecil yang disebutkan dengan kata “Jihad”. Jihad dalam pengertian pertama bekerja keras dengan
seluruh kemampuan antara lain disebutkan dalam firman Allah :
“Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad
(bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan aku dengan
sesuatu yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu ( apalagi jika kamu telah
mengetahui bahwa Allah tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu apapun),
jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik.”(Qs. Luqman
[31]: 15).
Sedangkan jihad yang berarti berperang antara lain
disebutkan dalam firman Allah, surat al-Baqarah, ayat 190:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kalian, tetapi janganlah melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
(Qs.
Al-Baqarah[2]: 190)
Dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jihad adalah usaha yang
sungguh-sungguh dengan segenap kemampuan untuk mencapai tujuan luhur di jalan
Allah. Jihad dapat dilakukan dengan bekerja keras melawan hawa nafsu yang
menghancurkan dan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan. Jihad dalam bentuk
perang oleh Allah demi menjaga kehormatan, harkat dan martabat manusia dan kaum
muslimin.
BENTUK-BENTUK JIHAD
Jihad
sebagai salah satu wujud pengamalan ajaran agama Islam dapat dilaksanakan dalam
berbagai bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam.
Dalam situasi kaum muslimin mengalami penindasan, jihad dapat dilakukan dalam
bentuk peperangan untuk membela diri. Tetapi, dalam situasi damai jihad dapat
dilakukan dalam bentuk amal shalih seperti menunaikan ibadah haji, membantu
fakir-miskin, berbakti kepada orang tua, rajin belajar dan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar.
1. Perang
Islam
mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak pernah gentar berperang di jalan Allah. Apabila kaum Muslim di zalimi, fardhu kifayah
bagi kaum muslim untuk berjihad dengan harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk
peperangan diijinkan oleh Allah dengan beberapa syarat : untuk membela Diri,
dan melindungi dakwah. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:
“ Mengapa
kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang
lemah, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan
kami, Keluarkanlah Kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah
kami pelindung dari sisi-mu.”(Qs.
An-Nisa[4]: 75)
“Diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa
menolong mereka itu.”(Qs.al-Hajj[22]:39).
Dalam Berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui
batas, membunuh perempuan,anak-anak dan orang-orang tua renta yang tidak ikut
berperang. Islam juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti
persediaan makanan, minuman dan pemukiman. Perang juga tidak boleh dilakukan
apabila negosiasi dan proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan.
Peperangan harus segera dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan
gencatan senjata atau menekan perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Quran,
peperangan dilakukan untuk menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan kezaliman),
dan karena itu, apabila telah tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk
melakukan peperangan. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Quran Surat al-Baqarah,
ayat 193:
“Perangilah mereka sampai batas berakhirnya
fitnah, dan agama itu hanya bagi Allah semata. Jika mereka telah berhenti, maka
tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)
Demikian
ajaran Islam mengenai perang. Singkatnya, perang diijinkan dalam situasi dan
kondisi yang sangat terpaksa. Apabila perang terpaksa dilakukan, peperangan
tersebut harus dilakukan untuk tujuan damai, bukan untuk permusuhan dan membuat
kerusakan di muka bumi.
2.
Haji Mabrur
Haji yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan
jihad. Bahkan, bagi perempuan, haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal
ini ditegaskan dalam beberapa Hadis, diantaranya :
Aisyah ra berkata : Aku menyatakan kepada Rasulullah
SAW : tidakkah kamu keluar berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada amalan
yang lebih baik dari pada jihad, Rasulullah SAW menyatakan : tidak ada, tetapi
untukmu jihad yang lebih baik dan lebih indah adalah melaksanakan haji menuju
haji yang mabrur.
Pada riwayat al- Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga
bersabda :
“Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW
ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad beliau menjawab sebaik-baiknya
jihad adalah haji.”
3.
Menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad melawan
penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang menimbulkan penderitaan
kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian melakukan
perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh cara-cara
damai melalui organisasi yang memajukan pendidikan dan mengembangkan kebudayaan
yang membawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad melawan penguasa yang zalim
disebutkan, antara lain, dalam hadist
riwayat at- Tirmizi:
Abu Said al Khurdi menyatakan bahwa Rasulullah SAW
bersabda : Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan
kebenaran kepada penguasa yang zalim.
Kata A’ dzam
pada hadist di atas, menunjukan bahwa upaya menyampaikan kebenaran kepada
penguasa yang zalim sangat besar. Sebab, hal itu sangat mungkin mengandung
resiko yang cukup besar pula.
4.
Berbakti kepada
orang tua
Jihad yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan
kepada pemeluknya untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua, tidak hanya
ketika mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat. Seorang
anak tetap harus menghormati orangtuanya, meskipun seorang anak tidak wajib
taat terhadap orangtua yang memaksanya untuk berbuat musyrik
(Qs.Luqman,[31]:14)
Jihad dalam berbakti kepada orang tua juga dijelaskan
dalam Hadis.
Seseorang
datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya Kemudian
Nabi SAW bertanya: apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: masih,
Nabi SAW bersabda: terhadap keduanya maka berjihadlah kamu.
Berjihad untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan,
bimbingan, dan kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti
memperlakukan orangtua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan
kesenangan orangtua, menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan melemah dengan
kekurangannya serta berperilaku dengan tutur kata dan perbuatan yang mulia. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat al-Isra[17] ayat 23:
“ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyerah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau keduanya
sampai berumur lanjut, dalam peliharaanmu maka sekali-kali janganlah mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia”.
5.
Menuntut Ilmu
dan Mengembangkan Pendidikan
Bentuk Jihad yang lainnya adalah menuntut ilmu, memajukan pendidikan
masyarakat. Di dalam sebuah Hadis diriwayatkan Imam Ibnu Madjah disebutkan :
Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali
karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka ia sama dengan orang
yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang datang bukan karena itu, maka
sama dengan orang yang melihat kesenangan orang lain. (riwayat Ibnu Majah)
Orang yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu
sebagaimana disebutkan pada hadis di atas, diposisikan seperti orang berjihad
di jalan Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam bisa memajukan pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu
sebab kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi.
6.
Membantu Fakir-Miskin.
Jihad yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin, peduli
kepada sesama, menyantuni kaum duafa. Bantuan pemberdayaan dapat diberikan
dalam bentuk perhatian dan perlindungan atau bantuan material.
Hadis yang diriwayatkan Bukhori berikut ini menjelaskan:
“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW
bersabda, “Orang yang menolong dan memberikan perlindungan kepada janda dan
orang miskin sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah.” (HR.
Bukhori)
Memberikan
bantuan financial dan perlindungan kepada orang miskin dan janda, merupakan
amalan yang sama nilainya dengan jihad di jalan Allah.
Sebab, jihad dan perhatian atau kepedulian kepada
orang yang membutuhkan bantuan, keduanya sama-sama membutuhkan pengorbanan.
Dengan membantu dan memperhatikan orang-orang lemah, kita dituntut untuk
mengorbankan waktu, tenaga, dan harta untuk kepentingan orang lain. Dan inipun,
sangat sesuai dengan pengertian jihad yang sesungguhnya.
Pemahaman jihad yang baik dan berimplikasi positif
terhadap umat Islam. Hasilnya setiap muslim memiliki sense of crisis, suka
menolong terhadap orang lain, tidak mengorbankan permusuhan, menjauhi
kekerasan, serta mengedepankan perdamain. Jihad, juga dapat meningkatkan etos
kerja umat Islam, yaitu semangat dan kesungguhan melakukan tugas dan tanggung
jawab dalam berbagai bidang kehidupan. Jihad dapat mengalahkan kemalasan dan
ketakutan. Dengan semangat jihad, dapat mengggunakan semua potensi maksimal
yang dimilikinya untuk mengaktualisasikan diri dan meningkatkan sumber dayanya,
sehingga dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Di tengah, banyaknya
bencana dan musibah yang merenggut ribuan nyawa, jihad dalam bentuk kepedulian
dan kepekaan kepada sesama, sangat diperlukan.
PERBEDAAN JIHAD DENGAN TERORISME
Selama ini terdapat anggapan yang salah di dalam masyarakat yang
menyamakan jihad dengan terorisme. Bahkan, oleh kalangan yang tidak mengerti
ajaran Islam yang luhur, Islam dicap sebagai agama teroris. Kekeliruan
pemahaman ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat mengenai
Islam, tetapi tidak tertutup kemungkinan karena sebagian muslim justru
melakukan jihad melalui aksi-aksi terorisme. Padahal antara jihad terorisme
jelas terdapat perbedaan yang sangat mendasar.
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), terorisme adalah “tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius
terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia
merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk
kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well-organized),
bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) yang tidak membedakan sasaran (indiscriminative)”.
Menurut Konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk
tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan
bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat
luas. Dalam kamus Webster’s New School
and Office Dictionary dijelaskan: “terrorism is the used of violence,
intimidation, etc to gain to end; especially a system of government ruling by terror,….”(Terorisme
adalah penggunaan kekerasan, intimidasi,dsb untuk merebut atau menghancurkan,
terutama, sistem pemerintahan yang berkuasa melalui terror…). Dari ketiga
definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan (crime) yang mengancam kedaulatan negara
(against state/nation), melawan
kemanusiaan (against humanity) yang
dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan kekerasan.
RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta
terkemuka di AS, melalui sejumlah penelitian dan pengkajiannya, menyimpulkan
bahwa setiap tindakan kriminal. Definisi lain menyatakan bahwa: (1) terorisme
bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai
tindakan kriminal, termasuk juga dalam situasi diberlakukannya hukum perang;
(2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan demikian
penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikatergorikan sebagai
tindakan terorisme; (3) meskipun seringkali dilakukan untuk menyampaikan
tuntutan politik, aksi terorisme tidak dapat disebut sebagai aksi politik.
Dan uraian tersebut di atas, jelas sekali perbedaan antara terorisme
dengan Jihad. Pertama, terorisme bersifat merusak (ifsad) dan anarkis/ chaos (faudha). Kedua, terorisme bertujuan untuk menciptakan rasa takut dan atau
menghancurkan pihak lain. Ketiga,
terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sebaliknya, jihad bersifat
perbaikan (islah), sekalipun sebagian
dilakukan dengan berperang. Jihad bertujuan untuk menegakan agama Allah dan
atau membela hak pihak yang terdzalimi. Jihad dilakukan dengan mengikuti aturan
yang ditentukan oleh Syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas.
Karena itulah, menurut MUI, hukum melakukan terror secara qath’ie adalah haram, dengan alasan
apapun, apalagi jika dilakukan di negeri yang damai (dar al-shulh) dan Negara muslim seperti Indonesia. Hukum jihad
adalah wajib bagi yang mampu dengan beberapa syarat. Pertama, untuk membela agama dan menahan agresi musuh yang
menyerang terlebih dahulu. Kedua, untuk
menjaga kemaslahatan atau perbaikan, menegakan agama Allah dan membela hak-hak
yang teraniaya. Ketiga, terikat
dengan aturan seperti musuh yang jelas, tidak boleh membunuh orang-orang tua
renta, perempuan, dan anak-anak yang tidak ikut berperang.
BOM BUNUH DIRI BUKAN JIHAD
A.
Pengertian dan Cakupan Mati Syahid
Kata syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah ayat
al-Qur’an. Diantaranya firman Allah yang menyatakan:
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad),
maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh
Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Mereka itu teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa [4]:69).
Menurut Tafsir
al- Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang memberi kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik
dengan argument atau penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang
terbunuh di jalan Allah disebut dengan syahid.
Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela agama Allah dan
jiwanya demi membela agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama
Allah itu yang benar. Lain dari itu adalah batil( ar-Razi, 1995: jilid 5, h.
180). Dalam ungkapan yang lain, penulis at-
Tafsir al-Wadhih menerangkan, bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan
kebenaran dengan alasan dan bukti serta berperang di jalan Allah dengan pedang
dan tombak hingga ia terbunuh (Hijazi, 1969: juz 5, h.32). Dalam pandangan
kedua musafir itu, senjata yang
digunakan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang
digunakan pada masa al-Qur’an diturunkan.
Menurut penulis Tafsir Majma’ al-Bayan, syuhada adalah
orang-orang terbunuh di jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang muslim
sangat dianjurkan untuk mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh
mendambakan dibunuh orang kafir sebab pebuatan itu adalah maksiat, yang
terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam menegakan kebenaran karena Allah,
mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh karena itu Syuhada adalah predikat
terpuji. Orang boleh mendambakan predikat itu, tetapi orang tidak boleh
mendambakan dibunuh oleh orang kafir,sebab perbuatan itu adalah maksiat
(ath-Thabari,1994: jilid 3, h. 121).
Penegasan yang hampir sama
dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar
mati terbunuh di tangan orang kafir tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu
adalah suatu bentuk kekafiran (Lihat ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180).
Berkaitan dengan itu, Rasulullah
SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan :
Barang
siapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya
sampai pada derajat kesyahidan, meskipun ia mati di atas tempat
tidurnya(an-Nawawi, 2005 :245)
Dalam hadis riwayat Imam Muslim
yang lainnya Rasulullah SA, mengatakan:
Barang
siapa mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur
sebagai syahid” (an-Nawawi, 2005:245).
Berdasarkan kedua hadis di atas,
dapat dipahami bahwa kesyahidan dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang
dimaksud harus dengan jalan yang benar. Selain itu derajat kesyahidan dapat di
peroleh meskipun orang yang bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain,
derajat kesyahidan terletak pada nilai perbuatan seorang muslim yang telah
turut serta berperang di jalan Allah.
Menurut al- Jurjawi, Allah
SWT, memberi keutamaan kepada orang yang
berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: “ Mereka berperang di jalan Allah; sehingga
mereka membunuh atau terbunuh” (Qs. At-Taubah[9]: 111). Itu tidaklah
dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian.
Namun, maksudnya adalah mereka
berperang baik mereka terbunuh atau tidak terbunuh. Jika mereka terbunuh,
maka hal itu adalah sesuatu yang jelas
dan dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap
memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan
diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan
perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti
keluarga,harta benda dan anak-anak (al-Jurjawi,1997: jilid 2, h. 221-222).
Syuhada
dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang Badar. Ketika itu
tentara muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy dari kaum muslimin gugur
sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70 orang. Tentara muslim
yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan
oleh pihak kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan
keberhasilan mereka menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan
menghalau pasukan musuh.
Perang Badar terjadi pada tahun
kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW. Bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah
untuk menghindari gangguan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin
pada periode Mekkah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi
pada periode Madinnah, maka perang antar kedua belah pihak tak dapat dielakan.
Fakta sejarah tersebut, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang
menyatakan:
Janganlah
kalian mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah
keadaan yang sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan mereka, maka
tegarlah. Muttafaqun ‘alaih (an-Nawawi, 2005: 248).
Tentara muslim yang mengikuti
peperangan di jalan Allah terikat dengan
sejumlah ketentuan. Syarat-syarat utuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2) Islam,
3) Sehat jasmani dan rohani, dan 4)
Keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang peperangan, terampil menggunakan
senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak pengecut
(Khattab, 1989: 56).
Hampir senada dengan penjelasan
di atas, ulama fiqih menyebutkan bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas
beberapa ketentuan, yakni: muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki
bekal yang cukup baginya dan keluarganya hingga jihad selesai (Sabiq, 1983:
jilid 3, h. 32). Ulama fiqih merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang
mencerminkan belas kasih (rahmah) yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan
bahwa kalaupun Islam membolehkan perang sebagai salah satu tuntutan darurat,
maka Islam memberinya batasan tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah
peperangan tidak boleh dibunuh, orang sakit, orang tua jompo, rahib, al-ubbad
(ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga mengharamkan al-mutslah
(penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air, mencemari sumur dan
menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang terluka, mengejar
orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan karena perang itu laksana
tindakan operasi bedah, tidak boleh melampaui tempat penyakit itu berada
v(Sabiq, 1983 : jilid 3, h. 60).
Diriwayatkan dari Anas ra., bahwasanya Nabi SAW.
Bersabda: “ Berangkatlah kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah,
sesuai tuntutan agama(yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh
orang tua jompo, anak yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian
melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian,
dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
(H.R. Abu Daud) (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47).
Orang jompo dan wanita yang dikecualikan
untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi
pertimbangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir
Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid
dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan
akhirat., Istilah syahid akhirat digunakan terhadap : a) orang yang
menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala
macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah
mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan
aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang
melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk
mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad,
et.al., 2004: jilid 2, h. 200).
Pembagian syahid semacam ini dikemukakan
pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as Sunnah(Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).
Terdapat beberapa ayat Al-Quran
yang memuji orang-orang yang mati syahid, diantaranya:
“Dan janganlah
kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya
mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”(Qs. Al-Baqarah [2]: 154).
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Merka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh untuk terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan besar.” (Qs. At-Taubah
[9]: 111).