Rabu, 26 Desember 2012

Islam Menganjurkan Jihad

Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah jihad. Konsep ini sering disalahpahami tidak hanya oleh kalangan non-Muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam yang tidak memahaminya secara baik, benar, dan utuh. Secara bahasa, menurut pakar al-Qur'an, ar-Raghib al-Ashfahani, dalam kamus kosakata al-Qur'an-nya (al-Mufraddt), jihad adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta, dan pikiran untuk mengalahkan musuh. Seperti diketahui, dalam jiwa setiap manusia kebajikan dar keburukan sama-sama bersanding. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang terdiri atas banyak individu. Dari sinilah lahir perjuangan (jihad) baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Karena itu al-Ashfahani membagi jihad kepada tiga macam: 1) menghadapi musuh yang nyata; 2) menghadapi setan; dan 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Di antara ketiga macam jihad ini yang terberat adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah saw. ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran; "Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.[1]

Memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur'an membuktikan bahwa Rasulullah saw. telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Mekkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijriah, tepatnya 17 Ramadhan, dengan meletusnya Perang Badar, yaitu setelah turun ayat yang mengizinkan perang mengangkat senjata seperti pada QS. al-Hajj [22]: 39-40. Allah berfirman:
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa".

Ayat ini menunjukkan bahwa perang yang diperkenankan adalah dalam rangka mempertahankan diri, agama, dan tanah air. Fithrah manusia cenderung tidak menyukai perang atau kekerasan, dan lebih mendambakan kedamaian. (QS. al-Baqarah [2]: 216) menyatakan demikian. Karena itu, hubungan Islam dengan dunia luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tetapi dalam kondisi tertentu, seperti jika ada pihak yang memusuhi Islam atau mengumumkan perang terhadap Islam dan umat Islam, Islam mengizinkan perang.

Perang membela agama tidak hanya dibolehkan oleh Islam. Agama Kristen yang sangat toleran sekalipun seperti tergambar dalam ungkapan Yesus dalam Injil Matius [5], 39: Jika ada yang menampar pipi kanan Anda maka putarlah dan berilah dia pipi kiri, juga membolehkan perang dalam situasi manakala dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22], 35-38; Lukas [12], 49-52).
Mayoritas ulama Islam berpandangan tidak boleh memulai peperangan kecuali jika orang kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam lebih bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan serangan. Para ahli hukum Islam (fuqahd) dari kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan, sebab perang dalam Islam adalah karena ada permusuhan atau penyerangan dari orang kafir, bukan karena kakafiran mereka. Kalau mereka menyerang umat Islam maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas serangan. Jadi, bukan karena kekafiran atau perbedaan agama. Karena itu tidak boleh menyerang seseorang lantaran berbeda agama atau kafir, tetapi hanya boleh jika ia menyerang lebih dahulu.[2]

Dari sini amat keliru pandangan sementara intelektual Barat yang menyatakan "Islam jaya di atas pedang", "Islam tersebar dengan jalan perang". Sejarah membuktikan sebaliknya. Di banyak belahan dunia, seperti di Melayu, Islam tersebar dengan cara damai. Inilah yang membuat pemikir Barat lain seperti Thomas Carlel, Gustav Le Bon, sejarawan terkenal asal Prancis, mengkritik tesis para koleganya dengan menafikan tesis Islam tersebar dengan pedang.[3] Apalagi kalau kita pahami izin kebolehan berperang baru diperoleh dari Tuhan setelah 15 tahun Rasulullah mengembangkan dakwah Islam.

Jihad dengan pengertian di atas tentunya sangat bertolak belakang dengan terorisme }'ang secara bahasa berarti 'menimbulkan kengerian pada orang lain yang biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu'. Jihad dengan pengertian perang bertujuan untuk melindungi kepentingan dakwah Islam, termasuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat manusia, sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama. (QS. al-Baqarah [2]:  256 dan (QS. al-Kahfi [18]: 29) Karena itu, ketika berhasil menaklukkan Yerussalem, Khalifah Kedua, Umar ra., memberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk kota yang beragama Kristen. Beliau mengatakan, "Gereja-gereja mereka tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka. Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka, dan juga tidak boleh disakiti......."[4]

Kendati dalam kondisi tertentu menggunakan kekerasan melalui jihad diperbolehkan tetapi Islam memberikan aturan yang ketat dan sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, misalnya dalam sebuah peperangan Islam melarang untuk membunuh agamawan yang mengkhususkan diri dengan beribadah, wanita, anak kecil, orang tua lanjut usia, dan penduduk sipil lainnya yang tidak ikut perang. Demikian pula Islam melarang perusakan lingkungan seperti menebang pohon, membakar rumah, merusak tanaman, dan menyiksa binatang.[5] Mufti Besar Mesir, Prof. Dr. Syekh Ali Jumu'ah, menyebutkan 6 syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yaitu:
1.        Cara dan tujuannya jelas dan mulia;
2.        Perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil;
3.        Perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai;
4.        Melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi;
5.        Memelihara lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, merusak rumah/bangunan;
6.        Menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.[6]

Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihad dengan pengertian perang dan terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma' al-Fiqh al-Islami no. 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional poin kelima menyatakan, "Perlu diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihad, terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai dengan pengertian yang sebenarnya".[7]


Senin, 17 Desember 2012

AYAT PERANG DALAM AL-QURAN

“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, tangkaplah mereka, tawanlah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Taubah [9]: 5)
             
          Ayat tersebut di atas adalah satu dari sejumlah ayat pada permulaan QS. At-Taubah yang membicarakan pemutusan hubungan (bara’ah) dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik (ayat 1-16). Dengan pemutusan hubungan itu, tidak berlaku perjanjian yang telah dijalin oleh orang-orang Muslim dengan orang-orang musyrik. Yang dimaksud ialah perjanjian untuk tidak saling berperang. Orang-orang musyrik diberi tengang waktu empat bulan untuk berfikir, apakah akan tunduk kepada kekuasaan imat Islam atau melawan. Selama empat bulan itu, orang-orang muslim tidak boleh memerangi atau mengganggu orang-orang musyrik. Sesudah habis masa tengang waktu itu, orang Islam boleh memerangi orang musyrik, melawan mereka dan mengintai mereka keberadaan mereka di mana pun berada, sehinga keadaan menjadi aman  dan umat Islam tidak tertanggu dalam menjalankan agama oleh kajahatan orang-orang musyrik. Akan tetapi, apabila mereka bertaubat, menjalankan shalat, dan membayar zakat, maka mereka diberi kebegbasan keselamatan.
           
          Pemutusan hubungan itu diumumkan kepada orang-orang musyrik pada bulan Haji tahun ke-9 H. Ketika itu, umat Islam sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Rasulullah saw. mengangkat sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin rombongan dari madinah menuju ke Mekkah. Setelah keberangkatan rombongan, turunlah ayat-ayat Bara’ah itu dan Rasulullah saw. mengutus sahabat Ali bin Abi Thalib agar mengumumkannya kepada semua pihak yaitu kepada kaum muslim dan kaum musyrik yang pada saat itu sedang berkumpul untuk melaksanakan haji sesuai kebiasaan mereka. Pada hari yang disebut dalam Al-Qur’an hari Haji Akbar, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pengumuman tentang pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada kaum musyrik.

Pengumuman itu disampaikan pada hari-hari ketika Haji Akbar dilaksanakan pada tahun ke-9 H. ada yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada hari Nahar, tanggal 10 Dzulhijah. Ada juga yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada hari ‘arafah, tanggal 9 Dzulhijah. Adapun yang dimaksud dengan Haji Akbar (Haji Besar) ialah ibadah haji yang dilaksanakan p[ada bulan Dzulhijah, dibedakan dengan umrah disebut haji ashghar (haji kecil), yang boleh dilaksanakan sepanjang tahun. Inilah yang dimaksud dengan Haji Akbar. Di dalam masyarakat terdapat pemahaman bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah apabila wuquf jatuh pada hari jumat. Pendapat tersebut tidak ditemukan dasarnya di dalam ajaran Islam.

  Marilah kita kembali kepada surah at-Taubah ayat 5 tersebut di atas. “ Faidza insalakha al-asyhur al-hurum faqtulu al-musyrikin haitsu wajadtumuhum…”, (Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka), baik di tanah Haram maupun di luar tanah haram. Adapun yang di maksud dengan “asyhur al-hurum” ialah empat bulan merujuk kepada ayat 2 surah at-taubah, “fasihu fi al-ardhi arba’ata asyhur”, (empat bulan sesudah pengumuman pemutusan hubungan), dimulai tanggal 10 Dzulhijah sampai 10 Rabi’ul Akhir. Selama empat bulan itu, kaum Muslim memperoleh jaminan keselamatan. Sesudah masa tenggang waktu empat bulan itu usai, berlaku keadaan perang sebagaimana sebelumnya. “Wa’akhudzhum, wahshuruhumwaq’udu lahum kulla marshad” (Dan tangkaplah mereka,tawanlah mereka dan intailah ditempat pengintaian).  Ayat tersebut berisi perintah agar bermacam-macam cara yang tepat dalam strategi perang dilakukan sehingga kaum musyrik tidak memunyai kekuatan dan tidak ada jalan untuk melakukan kejahatan atau melangar aturan yang berlaku dalam ketentuan pemutusan hubungan. Di antaranya bahwa mereka tidak diperbolehkan melaksanakan haji dan berthawaf tanpa busana. “ Fain tabu wa aqamush shalata wa atuz zakata fakhallu sabilahum.” Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Ayat ini memberikan pengertian agar perang dihentikan apabila kaum muslim bertaubat, yakni bertaubat dari kemusyrikan yang menjadi penyebab memusuhi umat Islam, dan taubat itu dibuktikan kesungguhannya dengan mengerjakan shalat dan membayar zakat. ayat ini diakhiri dengan firman Allah,” Inna Allah Ghafurun rahim” (sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang), yakni mengampuni dosa-dosa kaum musyrik apabila mereka bertaubat, dan memberikan kasih saying kepada hamba-Nya yang beriman.

Ayat tersebut diatas dinamakan ayat perang (ayat al-qital) karena mengandung perintah berperang. Selain ayat tersebut terdapat beberapa ayat lain yang mengandung perintah berperang, antara lain surah at-taubah [9]:29; al-baqoroh [2]:190;al-anfal [8]:39 dan sebagainya. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ayat-ayat perang tersebut di atas me-mansukh-kan  dalam arti membatalkan berlakunya ayat-ayat yang mengandung perintah member maaf kepada orang yang tidak beriman(ayat al-afw). Menurut sebagian musafir, yang dikutif pendapatnya oleh Ibn Katsir, bahwa surah al-Baqoroh [2]: 109 (fa’fu washfahu hatta ya’tiya Allah bi Amrihi) di-nasakh oleh at-Taubah [9]:5 (faqtulu al-musyrikina haitsu wajadtumuhum)dan at-taubah [9]:29 (Qatilu alladzina layu’minuna bi Allah wa bi al-yawm al-akhir). Demikian pendapat Ali bin Abi thalhah dari Ibn ‘Abbas. Demikian juga pendapat Abul ‘Aliyah ar-Rabi’ bin Anas,Qatadah dan as-Suddi, bahwa ayat al-afw tersebut di atas di-mansukh oleh ayat al-sayf. [1]

Perlu dijelaskan bahwa ayat al-afw, yaitu ayat yang mengandung arti pemberian maaf kepada orang-orang kafir, diturunkan dalam periode Mekkah, ketika kondisi umat Islam lemah dan jumlahnya sedikit. Pada waktu itu, diperintahkan agar mereka bersabar dan menahan diri betapapun beratnya menghadapi penganiayaan kaum musyrik.sedangkan ayat qital diturunkan ketika kondisi umat Islam telah kuat, dan banyak jumlahnya. Mereka diperintahkan agar memerangi orang musyrik sebagaimana orang-orang musyrik itu memerangi mereka. Jadi,dalam hal ini tidak ada hukum yang dibatalkan, tetapi penundaan berlakunya perintah melakukan suatu perbuatan yaitu peperangan untuk melawan musuh-musuh Islam karena perbedaan dari kondisi-kondisi yang terjadi pada umat Islam ketika itu.

Dalam menjelaskan kaitan antara ayat al-afw dan ayat al-qital, as-suyuthi berkata di dalam al-itqan bahwa persoalan yang terjadi di sini sesungguhnya bukanlah naskh (pembatalan hukum ) tetapi penundaan (al-mansa’) merujuk kepada firman Allah:
“Kami tidak menasakhkan satu ayat pun atau kami menjangguhkan (hukumnya) (kecuali) kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah engkau mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu?.”(QS.al-Baqoroh [2]:106)
           
         Lebih lanjut, as-Suyuti menjelaskan bahwa Surah al-Baqoroh [2]:109 mengandung makna menunjuk kepada waktu dan keadaan tertentu yang hendak dicapai. Apa yang menunjuk kepada waktu dan tujuan adalah muhkam, tidak dibatalkan, karena ditentukan waktunya. Sesuatu yang ditentukan waktunya tidak ada naskh di dalamnya. Demikian as-Suyuthi menjelaskan di dalam kitabnya,al-Itqan:
“syekh Syaltut mengemukakan di dalam kitabnya al-Qur’an wa al-Qital, ada sebagian orang yang secara keliru memahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu mengandung kontradiksi. Di satu pihak, ada ayat-ayat yang mengandung perintah perang; ada yang bersifat defensive;dan ada yang bersifat umum tanpa dibatasi kepada orang-orang yang memerangi umat Islam. Di lain pihak, ada ayat-ayat yang menganjurkan perdamaian dan member maaf. Dengan pemahaman itu, orang-orang yang membenci Islam berkata bahwa kitab al-Quran tidak mungkin merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi. Di lain pihak, terdapat pendapat bahwa sebagian ayat-ayat al-Quran menaskhkan ayat-ayat lainnya.dalam hal ini ayat-ayat qital yang diturunkan ketika Islam telah kuat dan kota Mekah telah ditaklikan itu memansukhkan ayat-ayat pemberian maaf dan perdamaian dan ayat-ayat yang mengandung pengertian tidak ada pemaksaan dalam agama. Selanjutnya, pemahaman tersebut membawa kepada pendapat pendapat bahwa Islam adalah agama yang disebarluaskan dengan kekerasan melalui peperangan.”
             
             Dalam memahami ayat al-Qur’an, hendaknya akita tidak memahaminya sepotong-sepotong, tetapi hendaknya memahami suatu ayat dalam kaitannya dengan ayat lain, dengan pemahaman yang utuh dan komprehensif. Setiap ayat hendaknya kita pahami sesuai dengan konteknya tanpa terlepas dari ayat lain yang berkaitan. Didapati bahwa di dalam al-Qur’an terdapat perintah berperang tetapi juga dijelaskan sebab-sebabnya dan tujuan yang hendak dicapai dengan peprangan itu. Dalam pada itu, kita mendapati pula tentang ayat-ayat yang menjelaskan tentang watak Islam sebagai agama dakwah yang menyatakan bahwa tidak ada pemaksaan di dalam agama. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa peprangan itu bertujuan untuk memaksa orang untuk masuk Islam. Demikian salah satu kesimpulan dari kajian Syekh Mahmud Syaltut, di dalam kitabnya al-Qur’an wa al Qital. Syekh Syaltut menjelaskan pula bahwa tujuan peprangan adalah untuk menghentikan kezaliman dan penganiayaan, untuk mewujudkan keamanan dan ketentraman dalam beragama. Dalam keadaan tidak diperangi tidak dianiaya ataupun di musuhi, umat Islam tidak akan memerangi umat lainnya, sesuai dengan ajaran al-Quran yang menyatakan tidak ada paksaan dalam agam,yang mengajak manusia kepada jalan Allah dengan hikmah (kebenaran, kebijaksanaan, ilmu pengetahuan), maw’izhah hasanah (tutur kata yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (dialog dan perdebatan dengan cara yang terbaik). Ayat-ayat perang dan ayat-ayat member maaf, dakwah,dan yang menyatakan tidak ada paksaan dalam agama bukanlah ayat-ayat al-Quran yang  bertentangan satu dengan yang lain, tetapi masing-masing dari ayat itu harus diletakkan pada konteksnya. Jika kita memahami ayat-ayat al-Quran yang bertentangan satu dengan yang lain, tetapi masing-masing dari ayat itu harus diletakkan pada konteksnya. Jika kita memahami ayat-ayat al-Quran itu secara utuh, kita tidak akan mendapati ada kontradiksi di dalamnya. Mengenai hal ini, Allah berfirman di dalam Al-Quran:
Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Quran? Seandainya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka mendapati di dalamnya pertentangan yang banyak.” (QS.al-Nisa[4]:82)


[1] Tafsir Ibn Katsir, jilid I, h.155-156

Rabu, 12 Desember 2012

Pengertian Terorisme dalam Islam

          Dalam Ramus Besar Bahasa Indonesia kekerasan didefinisikan dengan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1] Dalam bahasa Arab, kekerasan disebut dengan al-'unf, antonim al-rifq yang berarti lemah lembut dan kasih sayang. Pakar hukum Universitas al-Azhar, Abdullah an-Najjar, mendefinisikan al-'unf dengan penggunaan kekuatan secara ilegal (main hakim sendiri) untuk memaksakan pendapat atau kehendak.[2]  Dari beberapa pengertian di atas, kekerasan melambangkan sebuah upaya merebut suatu tuntutan dengan kekuatan dan paksaan terhadap pihak lain. Cara seperti ini tentu tidak terpuji dalam pandangan agama-agama dan nilai-nilai kemanusiaan, sebab kekuatan akal, jiwa, dan harta yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang produktif bagi pengembangan diri dan masyarakat berubah menjadi kekuatan yang destruktif. Tetapi penggunaan kekerasan tidak selamanya tercela, yaitu bilamana digunakan untuk merebut hak yang terampas seperti pada perlawanan melawan penjajah atau memberantas kezaliman dalam masyarakat, terutama bila jalan damai tidak tercapai. Kekerasan menjadi tercela bilamana digunakan untuk membela satu hal yang dianggap benar dalam pandangan yang sempit, atau merebut hak yang sebenarnya dapat diperoleh tanpa melalui kekerasan.[3]

Sejarah kemanusiaan mencatat, seperti terekam dalam al-Qur'an, aksi kekerasan yang berupa pembunuhan pertama kali terjadi antara kedua anak Nabi Adam as; Qabil dan Habil. Al-Qur'an menceritakan itu agar fenomena kekerasan tidak terulang dan setiap aksi kekerasan pasti akan menimbulkan goncangan jiwa dan penyesalan yang mendalam dalam diri pelakunya seperti dialami oleh Qabil (Baca Ja’sah tersebut dalam QS. al-Ma'idah [5]: 27-31). Karena itu, al-Qur'an memberi ketentuan, membunuh satu jiwa tanpa alasan yang benar sama halnya dengan membunuh seluruh/ umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32). Dalam sejarah kenabian, kekerasan dialami oleh banyak nabi dari kalangan Bani Israil. Tidak sedikit para nabi yang dibunuh dalam menjalankan tugas kenabian (QS. al-Baqarah [2]: 61; QS. Ali 'Imran [3]: 21).

Dalam konteks ayat-aya di atas. al-Qur'an berbicara tentang kekerasan dalam pengertian negatif yang dikecamnya meski kata al-'unf sendiri tidak digunakan dalam al-Qur'an. Penggunaan kata al-'unf tampak jelas dalam beberapa Hadits Nabi saw. seperti:
"Sesungguhnya Allah sivt. tidak mengutusku untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk mengajarkan dan memudahkan”.[4]
"Sesungguhnya Allah swt. Mahalembut/Mahakasih-sayang. Melalui sikap kasih sayang Allah akan mendatangkan banyak hal positif, tidak seperti halnya pada kekerasan.”[5]

Suatu ketika sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi saw dan mengucapkan salam dengan diplesetkan menjadi, as-Samu Alaikum (kematian/kecelakaan untuk kalian). Dengan marah Aisyah, istri   beliau   menjawab:   Alaykum,   wa   la'anakumulldh wa ghadhiballahu 'alaikum (Kecelakaan untuk kalian, semoga Allah melaknat dan memurkai kalian). Lalu Rasulullah mengingatkan Aisyah, "Kamu harus berlemah-lembut, jangan melakukan kekerasan (al-'unf) dan kekejian.[6]

Dari penjelasan al-Qur'an dan Hadits di atas tampak jelas Islam sebagai agama yang antikekerasan terhadap siapa pun, termasuk yang berlainan agama.

Salah satu bentuk kekerasan yang menimbulkan kengerian dan kepanikan masyarakat dunia saat ini adalah terorisme. Kepanikan tersebut mengakibatkan ketidakjelasan pada definisi terorisme itu sendiri, sehingga tidak jarang pemberantasan terorisme dilakukan dengan melakukan aksi teror lainnya. Meskipun dalam sejarah kemanusiaan aksi teror telah menjadi bagian dari fenomena, kekacauan politik yang ada, tetapi sebagian kalangan mengaitkannya
dengan agama Islam dan peradaban Arab dan Islam. Padahal, terorisme adalah fenomena umum, tidak terkait dengan agama, budaya, dan identitas kelompok tertentu.

Istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun 1793 sebagai 3 akibat Revolusi Prancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan era baru yang disebut Reign of Terror (10 Maret 1793 - 27 Juli 1794).  Teror menjadi agenda penting para pengawal revolusi dan menjadi keputusan pemerintah untuk mengukuhkan stabilitas politik. Sasarannya bukan hanya lawan politik, tetapi juga tokoh-tokoh moderat, pedagang, agamawan, dan lain sebagainya. Selama berlangsung Revolusi Prancis, Robespierre dan yang sejalan dengannya seperti St. Just dan Couthon melancarkan kekerasan politik dengan membunuh 1366 penduduk Prancis, laki-laki dan perempuan, hanya dalam waktu 6 minggu terakhir dari masa teror.[7]

Dalam kamus Oxford, kata terrorist diartikan dengan orang yang melakukan kekerasan terorganisir untuk mencapai tujuan politik tertentu. Aksinya disebut terrorisme, yaitu penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman, terutama untuk tujuan-tujuan politis.[8]

Dalam bahasa Arab, istilah vang populer untuk aksi ini adalah dan pelakunya disebut al-Irhdbi. Para penyusun al-Mu'jam al-Wasith memberikan arti al-Irhdbi dengan, "sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik".[9]  Al-lrhab dengan pengertian semacam ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an dan kamus-kamus bahasa Arab klasik, sebab itu istilah baru yang belum dikenal pada masa lampau. Bahkan, penggunaan kata ini dalam bentuk derivasinya, turhibun atau lainnya, dalam al-Qur'an seperti pada QS. al-Anfal [8]: 60 bermakna positif. Sebab, melalui ayat ini Allah memerintahkan umat beriman untuk mempersiapkan diri dengan berbekal kekuatan apa saja yang dapat menggentarkan (turhibun) musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka. Tidak berbeda jauh dengan pengertian di atas, Kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan teror dengan usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme: penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).

Organisasi-organisasi internasional, seperti PBB, mendefinisi-kannya dengan salah satu bentuk kekerasan terorganisir. Bentuknya, seperti disepakati masyarakat dunia, dapat berupa pembunuhan, penyiksaan, penculikan, penyanderaan tawanan, peledakan bom atau bahan peledak, dan lainnya yang dapat menjadi pesan pelaku teror. Aksi tersebut biasanya untuk tujuan politik, yaitu memaksa kekuatan politik tertentu, negara atau kelompok, agar mengambil kebijakan atau mengubahnya sesuai yang diinginkan pelaku.[10] Dalam Sidang Umum ke-83, tanggal 8 Desember 1998, PBB mengecam segala bentuk kekerasan aksi teror dengan alasan apa pun, termasuk yang bermotifkan politik, filsafat, akidah/keyakinan, ras, agama, dan lainnya.

Agen Rahasia Amerika (CIA) pada tahun 1980 mendefinisikan terorisme dengan; ancaman yang menggunakan kekerasan, atau menggunakan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, untuk kepentingan negara ataupun melawan negara. Masuk dalam definisi ini kelompok-kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahan tertentu atau menghancurkan tatanan dunia internasional.

Definisi ini masih sangat umum, sehingga perlawanan rakyat untuk memperoleh hak-hak yang dirampas, seperti perjuangan bangsa Palestina dapat dikategorikan aksi terorisme. Karena itu para sarjana Muslim yang terhimpun dalam keanggotaan Majma' al-Fiqh al-Isldmi dalam sidang putaran ke-14 di Doha, Qatar, 8-13 Dzulqa'dah 1423 H/ll-16 Januari 2003, menegaskan bahwa terorisme adalah permusuhan, atau intimidasi, atau ancaman, baik fisik maupun psikis, yang dilakukan oleh negara, kelompok maupun perorangan, terhadap seseorang yang menyangkut keyakinan (agama), jiwa, harga diri, akal dan hartanya, tanpa alasan yang benar, melalui berbagai aksi yang merusak. Lembaga ini juga menegaskan, jihad dan upaya mati syahid untuk membela akidah, kebebasan/ kemerdekaan, harga diri bangsa dan tanah air bukanlah bentuk teror, tetapi upaya membela hak-hak prinsipil. Karena itu, bagi bangsa-bangsa yang tertindas atau terjajah harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kemerdekaan.[11]

Dari paparan di atas tampak perbedaan yang cukup mendasar dalam mendefinisikan terorisme. Perbedaan itu mengakibatkan kekaburan makna yang sebenarnya, sebab suatu perjuangan rakyat untuk meraih kemerdekaan atau lepas dari ketertindasan dapat dinilai sebagai aksi teror oleh pihak lain. Demikian sebaliknya, aksi kekerasan dan kezaliman menjadi legal dengan dalih menumpas terorisme. Karena itu tak heran, kendati masyarakat dunia telah sepakat mengecam terorisme, tetapi upaya pemberantasannya dalam bentuk kerja sama internasional selalu gagal.

Namun, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan beberapa ciri terorisme, antara lain: menciptakan suasana mencekam dan mengerikan, dilakukan secara terorganisir, bertujuan politik dan bersifat internasional. Untuk mengetahui sikap Islam terhadap kekerasan, apa pun bentuknya, terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa istilah terkait dengan kekerasan dan terorisme dalam al-Qur'an.