Selasa, 30 April 2013

LARANGAN EKSTREMISME DAN PENGKAFIRAN




Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memuji, meminta pertolongan, dan meminta ampunan-Nya. Kami memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan keburukan amal-amal kami. Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwasanya Muhammad utusan dan Rasulnya. Beliau sebaik-baik manusia dan imam orang-orang yang bertakwa.
Tidak ada musibah yang besar yang menimpa umat Islam seperti musibah suka mengafirkan yang bersarang di akal sebagian kelompok Muslim. Mereka mengafirkan sesame kaum muslimin tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Dari sana mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin tanpa bukti yang jelas, argumen agama yang kuat, atau rujukan pendapat dari para ulama salaf. Dalam waktu yang sama mereka bukanlah orang-orang yang ahli di bidang agama. Sesungguhnya yang ahli di bidang agama hanyalah para ulama tepercaya yang bersenjatakan ilmu dan terlepas dari hawa nafsu.
Dalam hal ini kita mendapatkan mukjizat Nabi Saw yang mengherankan akal, memuaskan jiwa, dan menepis awan kesamaran. Suatu ketika seseorang melakukan protes kepada Nabi Saw dalam masalah pembagian rampasan perang yang dilakukan beliau. Ia berkata, “Bersikap adillah wahai Muhammad, sesungguhnya kamu tidak bersikap adil.” Rasulullah Saw menjawab, “Celaka kamu, jika aku tidak adil, siapa lagi yang adil?” Umar bin Khathab Ra berkata, “Bukankah engkau akan membunuhnya?” Beliau bersabda, “Tidak, biarkanlah dia. Sesungguhnya dia akan memiliki kelompok yang bersikap ekstrem dalam agama hingga mereka terlepas darinya laksana anak panah yang terlepas dari busurnya.”[1]
Seolah Nabi Saw melihat fitnah-fitnah dan musibah-musibah yang akan terjadi dalam umat beliau. Seolah beliau melihat masa depan umat ini dengan bantuan cahaya Allah dan memperingatkan mereka dari apa yang akan terjadi tersebut.
Apa yang disabdakan Rasul Saw tadi terbukti. Beberapa tahun setelah beliau meninggal, muncullah kelompok Khawarij yang sifat-sifatnya pernah beliau sebutkan. Beliau menyifati mereka,
يَدَعُوْنَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ وَيَقْتُلُوْنَ أَهْلَ الْإِسْلاَمِ.
“Mereka membiarkan para penyembah berhala dan membunuh orang-orang Islam.”
Beliau juga menyifati mereka,
يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يَكَادُ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ.
“Mereka membaca Al-Quran, tetapi tidak melewati tenggorokan mereka (tidak meresapi makna-maknanya).”
Beliau menyifati mereka,
تَحْقِرُوْنَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَأَعْمَالَكُمْ مَعَ أَعْمَالِهِمْ.
“Kalian menganggap remeh shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka dan amal kalian dibandingkan dengan amal mereka.”
Beliau menyifati mereka,
يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ.
“Mereka terlepas dari agama seperti anak panah terlepas dari busurnya.”[2]
Beliau menyifati mereka,
يَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ.
“Di akhir zaman akan muncul suatu kaum yang muda umurnya dan pendek akalnya, mereka mengatakan dengan ucapan sebaik-baik manusia (Hadis Nabi Saw).”
Benarlah apa yang telah engkau sabdakan, wahai Rasul. Engkau telah menyampaikan dengan sempurna, menasihati kami dengan nasihat yang paling baik berkaitan dengan mereka, dan engkau memperingatkan kami dari mereka agar kami tidak tertipu dengan banyaknya ibadah shalat, puasa dan lainnya yang mereka lakukan.
Engkau telah menjelaskan kepada kami bahwa kerusakan pemikiran dan akidah merusakkan segala sesuatu dan bahwa kerusakan akidah lebih berbahaya daripada segala sesuatu, keselamatan akidah lebih penting daripada segala sesuatu dan bahwa orang yang mendapat hidayah untuk memegang akidah Ahlussunnah wal-Jamaah, telah mendapat petunjuk untuk meraih kebaikan yang agung.
Benarlah apa yang engkau sabdakan, wahai Rasulullah. Kami telah melihat semua yang engkau peringatkan. Benarlah engkau memperingatkan kaum muslimin dari mengkafirkan sesama saudara muslim. Engkau bersabda,
وَمَنْ قَذَفَ مُؤْمِناً بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَاتِلِهِ.
“Barangsiapa menuduh orang mukmin dengan tuduhan kafir, maka dia seperti orang yang membunuhnya.”[3]
Adakah peringatan yang lebih keras daripada ini? Rasulullah Saw telah menganggap tuduhan kafir terhadap muslim tanpa ada bukti dan keadilan laksana membunuh orang yang dituduh itu. Hal ini karena menuduh muslim dengan tuduhan kafir, padahal orang yang dituduh lepas dari agamanya atau kafir, merupakan pembunuhan karakter secara psikologis. Tuduhan kafir ini menimpakan aib terhadap keluarga dan masyarakat ang bersangkutan. Permasalahannya bertambah parah ketika tuduhan kafir disusul dengan perbuatan anarkis. Tuduhan dengan kata disusul tuduhan dengan peluru-peluru tembakan. Barangsiapa yang telah mengkafirkan orang lain, maka ia telah menghalalkan darah dan hartanya. Dengan ini ia menjadi siap untuk membunuhnya atau merampas hartanya. Demikianlah setiap maksiat disusul dengan maksiat lain. Setiap dosa disusul dengan dosa lain. Semua itu menimbulkan kekacauan dalam umat, merobek-robek barisannya, mencerai-beraikan urusannya dan menjadikannya sasaran empuk bagi musuh-musuh Islam.
Karena dampak-dampak yang buruk dari pengkafiran tersebut, Rasulullah Saw bersabda,
 “Barangsiapa yang berkata kepada sesama saudaranya, ‘Wahai orang kafir,’ maka tuduhan ini kembali kepada salah satunya. Jika apa yang dikatakan benar, tidak apa-apa; dan jika yang dikatakan tidak benar, tuduhan itu kembali kepada dirinya.”[4]
Hal ini demi menutup rapat-rapat pintu kekacauan dan agar mengatakan kepada setiap muslim, “Jika kamu mengkafirkan muslim tanpa dasar, tuduhan ini kembali kepada dirimu, kamu akan merasakan gelas pahit yang kamu berikan kepada sauaramu, dan kamu akan terjatuh ke dalam lubang sumur yang kamu gali untuk saudaramu.”
Fenomena pengkafiran pernah muncul di Mesir pada tahun 60-an di penjara perang. Di antara sebab-sebabnya yang paling penting adalah kerasnya penyiksaan yang menimpa kelompok Ikhwanul Muslim di penjara tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagi sebagian mereka yang sepertinya tampak logis sesuai dengan kondisi kejiwaan dan pikiran mereka.
Pertanyaan pertama, ada apa dengan semua penyiksaan ini? Kenapa kami (Ikhwanul Muslimin) disiksa dengan cara yang kejam seperti ini? Kejahatan apakah yang kami lakukan?
Mereka menjawab sendiri pertanyaan itu, “Sesungguhnya satu-satunya kejahatan kami adalah kami mengimani Allah sebagai Tuhan, Al-Quran sebagai undang-undang dan Islam sebagai jalan hidup.”
Pertanyaan kedua, “Mereka yang menyiksa kami dan mencela kami, apakah mereka muslim? Bagaimana mereka dianggap muslim, sementara pemimpin mereka dalam suatu hari mengatakan, “Datangkan Tuhan kalian dan aku akan menjatuhkannya ke dalam sampah!”
Sudah tentu, jawaban atas pertanyaan ini adalah mereka kafir!
Pertanyaan mereka ketiga, “Jika mereka kafir, bagaimana hukum para pemimpin mereka yang mengeluarkan keputusan-keputusan dan di tangan mereka kekuasaan perintah dan larangan?” Mereka cepat memberikan jawaban, “Mereka pasti kafir.”
Setelah mereka puas dengan hasil ini, mereka beralih ke pertanyaan keempat, “Rakyat yang menaati para pejabat itu dan tunduk kepada mereka, bagaimana hukum mereka?” Jawaban mereka sudah siap, yaitu, “Sesungguhnya rakyat yang rela dengan kafirnya para pejabat itu dan mengakuinya, mereka juga kafir. Barangsiapa yang rela dengan kekafiaran, ia telah kafir.”
Dari sini, menyebarlah gelombang pengkafiran terhadap masyarakat secara menyeluruh. Kelompok-kelompok masyarakat menjadi terbelah laksana bom yang membelah. Setiap satu kelompok yang berselisih dengan kelompok yang lain dalam suatu masalah, meskipun dalam masalah ilmu hukum Islam, mereka saling mengkafirkan. Kemudian fenomena saling mengkafirkan menjadi sesuatu yang menyebar di antara sesama muslim. Terkadang turun dan terkadang naik seperti gelombang. Setiap kebebasan dakwah yang benar surut, menyebarlah pengkafiran dan setiap dakwah yang benar naik, turunlah gelombang pengkafiran.
Kami menyampaikan sejarah tadi untuk menjelaskan akar masalah pengkafiran. Seharusnya mereka menggunakan ayat yang paling agung tentang keadilan, meskipun terhadap orang yang tidak kita sukai. Allah Swt berfirman,
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan” (Qs. Al-Mâ`idah [5]: 8).
Akan tetapi, kondisi kejiwaan manusia yang sedang ada dalam penjara membuat banyak orang tidak mampu menggunakan ayat tadi karena menggunakannya membutuhkan kesabaran yang besar. Bagaimana hal ini mungkin dilakukan orang yang mengkafirkan orang yang berbuat buruk terhadapnya demi memuaskan hatinya dan demi mengalahkan musuhnya meskipun dengan kata-kata.
Akan tetapi, karena penyakit pengkafiran merupakan bentuk ghuluw (ekstremitas) dalam beragama, bahkan dia merupakan bentuk yang paling mengerikan berdasarkan sabda Rasulullah Saw tentang Dzul Khuwaishirah,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِيِء هَذَا قَوْماً يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ الْإِسْلاَمِ وَيَدَعُوْنَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الْإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْم مِنَ الرَّمِيَّةِ لئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ.
“Sesungguhnya dari asal orang ini akan muncul suatu kaum yang membaca Al-Quran, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Mereka terlepas dari Islam seperti anak panah terlepas dari busurnya. Sungguh jika aku menemukan mereka, aku akan membunuh mereka seperti pembunuhan kaum Ad.”[5]
Oleh karena itulah, kami tidak membahas sikap ekstremitas dalam agama secara umum. Kami akan membahas sebagian sebab-sebab ekstremitas dalam agama, kemudian kami membahas fenomena-fenomenanya. Hal ini agar sebagian orang tidak mempunyai pemahaman bahwa agama tersia-sia dengan sikap yang berlebihan saja. Kami menulisnya sebagai pengantar untuk membantah kebiasaan pengkafiran terhadap kaum muslimin sebab maksiat, kemudian membantah pengkafiran terhadap orang-orang bodoh. Kami juga membahas sikap ekstremitas dalam mengkafirkan kaum muslimin sebab menjalin hubungan baik secara lahir dengan orang kafir. Begitu juga mengkafirkan kaum muslimin yang menjadi pegawai di pemerintahan hanya karena mereka pegawai pemerintah. Kemudian kami membahas hubungan kesetiaan yang dilarang dan hubungan kesetiaan yang diperbolehkan, karena dalam masalah ini banyak orang yang mengalami kesalahan.
Dalam studi ini kami berusaha untuk menetapkan akidah Ahlussunah wal-Jamaah dengan didukung dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah serta pendapat para ulama salaf. Kami memohon kepada Allah agar menerima usaha kami ini dan mengampuni kekeliruan di dalamnya. Jika ada kebaikan dan kebenaran di dalamnya, itu dari Allah semata dan jika ada cacat dan kesalahan, itu dari diri kami. Kami memohon perlindungan kepada Allah kejahatan diri kami.
"Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (Qs. Al-Baqarah [2]: 127).


[1] HR. Bukhari, nomor 3414 dan Muslim, nomor 1064.
[2] HR. Bukhari, nomor 6531 dan Muslim, nomor 1066.
[3] HR. Tirmidzi, nomor 2636 dari Tsabit bin Dhahhak. Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Albani.
[4] HR. Bukhari, nomor 5753 dan Muslim, nomor 60 dari Abdullah bin Umar Ra.
[5] HR. Bukhari, nomor 3344 dan Muslim, nomor 1064 dari Abu Said Al-Khudri Ra.

Senin, 29 April 2013

JIHAD YANG KAFFAH



Kata syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah ayat al-Qur’an. Diantaranya firman Allah yang menyatakan:
                                    
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itu teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa [4]:69).

                Menurut Tafsir al- Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang memberi  kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik dengan argument atau penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang terbunuh di jalan Allah disebut dengan syahid. Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela agama Allah dan jiwanya demi membela agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama Allah itu yang benar. Lain dari itu adalah batil( ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180). Dalam ungkapan yang lain, penulis at- Tafsir al-Wadhih menerangkan, bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan kebenaran dengan alasan dan bukti serta berperang di jalan Allah dengan pedang dan tombak hingga ia terbunuh (Hijazi, 1969: juz 5, h.32). Dalam pandangan kedua musafir itu, senjata yang  digunakan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang digunakan pada masa al-Qur’an diturunkan.

                Menurut penulis Tafsir Majma’ al-Bayan, syuhada adalah orang-orang terbunuh di jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang muslim sangat dianjurkan untuk mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh mendambakan dibunuh orang kafir sebab pebuatan itu adalah maksiat, yang terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam menegakan kebenaran karena Allah, mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh karena itu Syuhada adalah predikat terpuji. Orang boleh mendambakan predikat itu, tetapi orang tidak boleh mendambakan dibunuh oleh orang kafir,sebab perbuatan itu adalah maksiat (ath-Thabari,1994: jilid 3, h. 121).

                Penegasan yang hampir sama dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar mati terbunuh di tangan orang kafir tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu adalah suatu bentuk kekafiran (Lihat ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180).

                Berkaitan dengan itu, Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan :

Barang siapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya sampai pada derajat kesyahidan, meskipun ia mati di atas tempat tidurnya(an-Nawawi, 2005 :245)

                Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang lainnya Rasulullah SA, mengatakan:

Barang siapa mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur sebagai syahid” (an-Nawawi, 2005:245).

                Berdasarkan kedua hadis di atas, dapat dipahami bahwa kesyahidan dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang dimaksud harus dengan jalan yang benar. Selain itu derajat kesyahidan dapat di peroleh meskipun orang yang bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain, derajat kesyahidan terletak pada nilai perbuatan seorang muslim yang telah turut serta berperang di jalan Allah.

                Menurut al- Jurjawi, Allah SWT,  memberi keutamaan kepada orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: “ Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh” (Qs. At-Taubah[9]: 111). Itu tidaklah dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian.

                Namun, maksudnya adalah mereka berperang baik mereka terbunuh atau tidak terbunuh. Jika mereka terbunuh, maka  hal itu adalah sesuatu yang jelas dan dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti keluarga,harta benda dan anak-anak (al-Jurjawi,1997: jilid 2, h. 221-222).

Syuhada dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang Badar. Ketika itu tentara muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy dari kaum muslimin gugur sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70 orang. Tentara muslim yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan oleh pihak kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan keberhasilan mereka menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan menghalau pasukan musuh.

                Perang Badar terjadi pada tahun kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW. Bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah untuk menghindari gangguan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin pada periode Mekkah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi pada periode Madinnah, maka perang antar kedua belah pihak tak dapat dielakan. Fakta sejarah tersebut, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan:

Janganlah kalian mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah keadaan yang sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan mereka, maka tegarlah. Muttafaqun ‘alaih (an-Nawawi, 2005: 248).

                Tentara muslim yang mengikuti peperangan di jalan  Allah terikat dengan sejumlah ketentuan. Syarat-syarat utuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2) Islam, 3)  Sehat jasmani dan rohani, dan 4) Keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang peperangan, terampil menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak pengecut (Khattab, 1989: 56).

                Hampir senada dengan penjelasan di atas, ulama fiqih menyebutkan bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas beberapa ketentuan, yakni: muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki bekal yang cukup baginya dan keluarganya hingga jihad selesai (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 32). Ulama fiqih merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang mencerminkan belas kasih (rahmah) yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan bahwa kalaupun Islam membolehkan perang sebagai salah satu tuntutan darurat, maka Islam memberinya batasan tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah peperangan tidak boleh dibunuh, orang sakit, orang tua jompo, rahib, al-ubbad (ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga mengharamkan al-mutslah (penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air, mencemari sumur dan menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang terluka, mengejar orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan karena perang itu laksana tindakan operasi bedah, tidak boleh melampaui tempat penyakit itu berada v(Sabiq, 1983 : jilid 3, h. 60).

Diriwayatkan dari Anas ra., bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: “ Berangkatlah kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah, sesuai tuntutan agama(yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh orang tua jompo, anak yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian, dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (H.R. Abu Daud) (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47).

                Orang jompo dan wanita yang dikecualikan untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi pertimbangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan akhirat., Istilah syahid akhirat digunakan terhadap : a) orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad, et.al., 2004: jilid 2, h. 200). Pembagian syahid semacam ini  dikemukakan pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as Sunnah(Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).
                Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang memuji orang-orang yang mati syahid, diantaranya:

 “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”(Qs. Al-Baqarah [2]: 154).

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Merka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh untuk terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan besar.” (Qs. At-Taubah [9]: 111).