Senin, 10 Desember 2012

Menyebarkan Islam dengan Jihad


Islam mulai berkembang secara spektakuler sejak hijrah Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah, yang sebelumnya disebut Yastrib. Ajaran-ajaran agama ini cenderung mengarah kepada persamaan dan penghargaan pada harkat kemanusiaan, yang pada saat itu masih masih merupakan barang langka. Selain itu, yang menyampaikannya dalah figur yang dikenal dengan keagungan akhlak, kejujuran dalam bicara, dan kesederhanaan dalam hidupnya, yang semua sifat itu diakui memang ada pada diri Rasulullah saw. Tidak aneh, bila agama ini segera menarik perhatian banyak orang, terutama mereka yang selama ini terpinggirkan. Karena perkembangan yang luar biasa ini, Sayed Ameer Ali mengatakan bahwa agama yang dibawa Rasulullah saw. ini menyebar dengan sangat cepat di muka bumi, sehingga dinilai sebagai suatu gejala yang amat mengagumkan dalam sejarah agama-agama.[1] Islam setahap demi setahap menyebar dan di peluk oleh berbagai suku di Jazirah Arab. Pada sisi lain, sejalan dengan perkembangan Islam, komunitas yang didasarkan pada ajaran agama ini muncul dan mulai meluas sebagai suatu kekuatan politik. Dalam wakyang tidak terlalu lama, kekuatan ini segera mengejawantah menjadi negar Islam yang kuat.[2] Pada saat Rasulullah saw. wafat, Islam sebagai agama telah dipeluk oleh semua suku bangsa Arab dan secara politis seluruh Jazirah Arab telah pula berada di bwah kekuasaan pemerintahan Islam.

            Demikian hebatnya perkembangan Islam, baik sebagai agama maupun kekuatan politik. Hal yang sedemikian ini tak pelak lagi telah mengundang berbagai komentar, baik dari kalangan muslim maupun non-muslim. Di antara mereka ada yang mengemukakan pendapat positif, tetapi banyak pula yang ungkapannya cenderung mengarah pada hal yang negative. Yang bernada positif berpendapat bahwa semangat yang di bawa agama ini sungguh sangat besar, sehingga hal itu mampu membangkitkan dorongan untuk mengembangkannya. Karena Islam suatu bangsa yang sebelumnya tidak disebut dalam sejarah menjadi sangat popular dengan kekuatan politiknya dikalangan para sejarawan. Komunitas ini juga kemudian dikenal dengan peradabannya yang sangat mengagumkan, sehingga sanggup mewarnai kemajuan umat manusia. Inilah kesan positif dari kemunculan dan perkembangan Islam yang memberikan pengaruh hingga sekarang. Sedangkan yang bernada negative berpendapat bahwa dibalik perkembangan pesat yang memang mengagumkan itu, ada sesuatu yang dinilai kurang sedap dalam pandangan mereka. Hal yang sedemikian ini diakibatkan oleh perkembangan dan penyebarannya dipengaruhi dengan kuat oleh semangat penakhlukan yang mengandalkan ketajaman pedang. Denagn demikian berkembangnya Islam yang sangat spektakuler itu tidak lain karena disebarkan dengan kekuatan pasukan bersenjata. Inilah kesan yang kemudian selalu diembuskan dengan tujuan untuk mendiskreditkan keberadaannya. Logika sebaliknya dari pemikiran ini adalah bahwa bila saja perluasannya dilakukan dengan jalan damai, kemungkinan fenomena yang dapat disaksikan tidaklah seperti yang terlihat selanjutnya.

Islam disebarkan dengan pedang. Inilah pendapat sebagian orang, terutama mereka yang termasuk kelompok orientalis dan yang kurang senang kepada agama ini. Pendapat demikian tentu menuai beragam respons dari umat Islam sendiri dan juga dari mereka yang menilainya secara jujur. Sebagian besar pemeluk agama ini jelas tidak sependapat dengan ungkapan tersebut. Kendati demikian, ada baiknya juga bila diungkapkan bahwa dalam sumber-sumber utama ajaran Islam sendiri terdapat dalil-dalil tekstual yang melegitimasi kebenaran pendapat tersebut. Di antaranya adalah yang berasal dari hadits Nabi saw.riwayat Imam Bukhari yang berasal dari Abdullah bin Umar bin khathab, yaitu:
Abdullah bin Muhammad al-Musnadi berkata; ketika member tahu kami, bahwa Abu Rawh al-Harami bin Umarah berkata bahwa Syu’bah menerima berita dari Waqid bin Muhammad yang berkata, “saya mendengar ayahku berbicarqa tentang (berita dari) Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Saya diperintahkan untuk mememrangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka mengerjakan itu (semua) maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka hanya dengan kebenaran Islam, dan perhitungan mereka (diserahkan) kepada Allah.” (HR.Al-Bukhari)[3]
Dalam hadist lain riwayat Imam Ahmad yang juga berasal dari Ibnu Umar disebutkan hal yang senada, yaitu:
Muhammad bin Yazid, yaitu al-Wasithi, memberitahu bahwa Ibnu Tsauban membertahu dari Hassan bin ‘Athiyah dari Abi Munib al-Jurasyi dari ibnu Umar yang berkata Rasulullah saw. bersabda: “Saya diutus dengan pedang sehingga Allah disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan rezeki ku ditetapkan di bawah bayangan panahku, serta telah ditetapkan kehinaan dan kerendahan bagi yang menentang perintahku, dan siapa saja yang meniru (perilaku) suatu umat maka ia termasuk kelompoknya. (HR. Ahmad)[4]

            Kedua hadits tersebut mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyebarkan Islam dengan pedang, yaitu dengan memerangi mereka yang tidak mau menerima Islam sebagai agama sampai mereka memeluk agama ini, mengakui tidak ada tuhan selain Allah, mengakui bahwa Muhammad itu rasul Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat sebagaimana yang telah ditetapkan. Siapa saja yang menentang dakwah ini, maka ia wajib diperangi. Inilah makna yang tersurat dari hadits-hadits tersebut. Berdasar kedua pesan ini,tidak aneh kalau muncul anggapan bahwa Islam itu disebarkan dengan pedang.

            Secara harfiah, hadits-hadits tersebut memang menyiratkan makna seperti yang telah dipaparkan, yaitu penyebaran Islam dengan memerangi orang yang tidak mau memeluknya. Meskipun begitu, kesan ini tidak dapat dijadikan sebagai pedoman secara umum dalam penyebaran agama. Hal yang sedemikian ini disebabkan oleh adanya fakta lain yang berbeda dari yang tersurat dalam pesan Rasulullah saw. sendiri adalah wahyu Allah yang tercantum dalam surat al-Baqarah [2]: 256, yaitu:
Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu sapa saja yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, mka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Al-Baqoroh [2]: 256)
Ayat ini turun disebabkan adanya peristiwa yang berkaitan dengan Hashin dari golongan Anshar, yang berasal dari Bani Salim biun A’uf. Ketika itu ia mempunyai dua orang anak yang memeluk agama Nasrani. Kemudian Allah menurunkan ayat ini sebagai jawabannya, yaitu bahwa umat Islam (termasuk Rasulullah saw) tidak diperbolehkan untuk memaksa seseorang untuk memeluk Islam.[5]

            Informasi ini menjelaskan bahwa memaksa anak sendiri untuk memeluk Islam saja tidak diperbolehkan. Rasulullah saw. dengan sangat elegan, berdasar wahyu ini, menyampaikan bahwa agama menyerupakan hak setiap orang untuk menentukannya, sehingga umat Islam tidak punya hak untuk memaksa orang lain memeluknya. Logika sebaliknya, atau dalam istilah ilmu ushul al-Fiqh disebut dengan mafhum al-Mukhalafah, adalah kalau memaksa anak sendiri saja tidak diperbolehkan, apalagi memaksa orang lain atau memeranginya untuk tujuan yang sama. Dengan demikian berdasar ayat ini dapat dikatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang adalah jelas tidak benar. Rasulullah saw. tentunya tidak akan memberikan informasi yang bertentangan dengan wahyu Allah tersebut.

            Perlu juga diperhatikan bahwa ayat yang melarang adanya pemaksaan untuk memeluk Islam merupakan ayat Madaniah, yaitu yang turun sesudah hijrah Rasulullah saw. pada saat itu, umat Islam sudah merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan tidak takut menghadapi musuh. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam ternyata mengajarkan agar pemeluknya tidak bersikap sewenang-wenang ketika mereka dalam keadaan kuat. Kekuatan pasukan yang dimiliki umat  Islam bukan ditujukan untuk mempertahankan diri dan membela mereka yang tertindas karena keyakinannya. Menurut Marcel A. Boisard, selain tujuan di atas, kandungan ayat ini juga ditujukan kepada umat non-muslim agar mereka juga tidak memaksakan keyakinan kepada siapa saja atau lebih jelasnya bila ada orang yang ingin memeluk Islam, maka mereka pula tidak diperbolehkan untuk memaksanya untuk membatalkan niatnya untuk memeluk Islam. Dengan logika ini, adalah wajar bila Islam menganjurkan agar umatnya menyiapkan kekuatan untuk melindungi siapa saja yang tertindas kelompok lain dan menderita karena keyakinan atau agamanya.[6]

            Itulah fakta-fakta yang diungkapkan dalam al-Qur’an. Namun, bagaimana halnya dengan pesan Rasulullah saw. yang terkandung dalam dua hadits tersebut. Apakah keduanya, yang secara tersurat bertentangan dengan kandungan ayat, dianggap tidak benar dan tidak dapat dijadikan dasar dari munculnya anggapan tidak benar dan tidak dapat dijadikan dasar dari munculnya anggapan seperti yang telah diungkapkan, padahal hadits-hadits itu dinilai shahih dan dapat dijadikan sebagai dalil  hukum. Di sini secara sekilas tampak adanya pertentangan antara ajaran al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw. dalam haditsnya, padahal kedua sumber itu diyakini berasal dari Allah juga, sehingga adanya pertentangan  di antara keduanya merupakan sesuatu yang sulit diterima. Berkaitan dengan kasus semacam ini, biasanya para ulama menyelesaikan dengan mempromikan tuntunan-tuntunan yang terkesan bertentangan itu. Para ulama dan cendikiawan Muslim, seperti Muhammad Quhub[7]  dan Muhammad As-sayyid Ahmad al-Wakil,[8] dalam rangka memberikan penjelasan tentang hal tersebut, menyebutkan beberapa persoalan yang dihubungkan dengan masalah-masalah yang mesti dipahami terlebih dahulu. Persoalan-persoalan itu adalah seperti yang dikemukakan berikut ini.

            Masalah pertama yang mesti diperhatikan adalah bahwa Islam merupakan agama dakwah. Ajarannya  menganjurkan agar setiap pemeluknya selalu mengajak orang lain untuk mememluk agama ini. Oleh karena itu, sejak kemunculannya, Rasulullah saw., para sahabat, tabi’in, dan generasi-generasi  berikutnya samapai sekarang selalu berupaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada mesyarakat yang  belum memeluknya. Tuntunan Islam menegaskan bahwa ajakan untuk memeluk agama ini mesti dilakukan dengan cara yang bijaksan, nasihat yang baik, dan diskusi yang dapat mewncerahkan. Pesan ilahi yang menegaskan tuntutnan ini adalah firman-Nya yang tercantum dalam Surah an-Nahl [16]: 125, yaitu:
Ajaklah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, dan nasehat (pelajaran) yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.an-Nahl [16]:125)

            Ajaran Islam melarang sama sekali pemaksaan terhadap non muslim untuk memeluk agama ini, sebagaimana telah diungkapkan pada surah al-Baqarah ayat 256 yang dikutip sebelumnya. Selain itu, fakta sejarah juga menunjukkan hal demikian, seperti yang diungkapkan oleh Marshall G.S. Hodgson bahwa umat Kristiani Najran, suatu daerah yang terdapat di Yaman, siap untuk tunduk pada pemerintah di Madinah, namun mereka bersedia untuk memeluk Islam dan tetap pada keyakinan agamanya. Ternyata Rasulullah saw. meluluskan keinginan mereka dan memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk tetap memeluk agama mereka semula.[9] Thomas W. Arnold, seorang orientalis yang banyak menulis buku tentang Islam, mengungkapkan bahwa fakta adanya orang Yahudi dan Nasrani di Negara-negara Islam sejak dahulu sampai kini merupakan bukti yang tidak dapat diragukan bahwa Islam tidak pernah memaksa orang memeluk agamanya dengan kekuatan pedang.[10]

            Masalah kedua adalah bahwa umat Islam pada saat itu merupakan komunitas yang baru tumbuh. Kehadirannya dinilai sebagai duri bagi suku-suku bangsa yang terdapat di jazirah Arab. Keberadaannya tidak pernah terlepas dari adanya kekhawatiran terhadap keinginan pihak lain untuk menumpas dan menghapusnya dari muka bumi. Umat Islam dituntut untuk selalu siaga mempertahankan eksitensinya dari rongrongan yang  berasal dari mereka yang tidak menyukai kehadirannya di muka bumi. Mereka mesti selalu siap menghadi pmusuh, yang kapan saja dapat dating untuk menyerang. Oleh karena itu, tidak salah bila umat ini terpaksa memakia kekerasan dengan mengangkat senjata untuk membela diri. Dengan dasar ini, Marcel A. Boisard menyebutkan bahwa fenomena kemunculan Islam ditandai dengan tiga konsep utama dalam hubungan dengan pihak luar yaitu  takwa, siap berperang dan kebesaran jiwa.[11] Dengan demikian, kondisi dan danya tantangan dari luar merupakan factor utama dari selalu siapnya umat Islam pada awl perkembngannya dengan senjata. Dengan kata lain kesiapan mereka dengan pedang atau senjata adalah dalam rangka mempertahankan diri dari serangan musuh. Kalupun terjadi penakhlukan dengan senjata yang dilakukan pasukan Islam terhadap suatu daerah, dan kemudian terjadi konversi dari masyarakat yang ditakhlukan, dan mereka memeluk Islam, maka itu semua berjalan dengan sukarela, bukan karena adanya tekanan, paksaan atau apa pun namanya.

            Masalah ketiga adalah bahwa Islam sesungguhnya meruopakan agama yang mencintai perdamaian dan bukan agama yang mengandalkan penyebarannya dengan perang. Kata salam yang artinya damai, selamat atau keselamatan dan sejahtera atau kesejahteraan banyak disebut dalam al-Qur’an. Rasulullah saw. sendiri selalu mengajak umat lain untuk memeluk Islam dengan cara damai. Ajakan untuk hidup berdampingan dalam suasana damai selalu digaungkan. Pesan-pesan beliau tentang perdamaian ini juga terekam dalam hadits-haditsnya, di antaranya:
Rasulullah saw. bersabda, sesungguhnya Allah menjadikan salam sebagai cara penghormatan bagi umat kita, dan juga sebagai tanda kesejahteraan (ketentraman”) bagoi orang-orang dzimmi (non-muslim yang tinggal di daerah kekuasaan Islam) di lingkungan kita.”

            Pada sisi lain, kenyataan tentang adanya peperangan dalam perjalanan sejarah Islam merupakan fakta yang tidak dapat di sangka. Perang memang diperintahkan dalam Islam seperti yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun yang dipesankan Rasulullah saw. sendiri dalam berbagai haditsnya. Kendati demikian, perlu dipahami bahwa perang itu hanya diperintahkan ketika umat Islam dalam keadaan terancam. Muhammad as-Sayyid Ahmad al-Wakil menegaskan bahwa Islam tidak melaksanakan perang penghancuran. Karena itu, menurut pendapatnya, perang dalam Islam itu ada dua macam. Yang pertama adalah perang yang kejam dengan tujuan utama untuk menguasai, membanggakan diri, memperbudak, menghina dan memonopoli hasil suatu bangsa. Perang semacam ini merupakan sesuatu yang tidak disukai dan Allah secara tegas melarangnya. Pelarangannya disebabkan oleh kenyataan bahwa perang seperti ini hanya merupakan pellanggaran terhadap hak-hak manusia.[12] Pendapat demikian juga dikemukakan oleh Sayid Sabiq yang mengatakan bahwa perang yang bersifat ekspansif atau perluasan daerah, perluasan pengaruh, motivasi mengumpulkan harta, atau menambah kekuasaan yang menyebabkan, mengumpulkan harta, atau menambah kekuasaan yang menyebabkan kemusnahan suatu umat atau peradaban yang berkaitan dengan kemanusiaan adalah terlarang.[13] Yang kedua adalah perang yang tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, membebaskan mesyarakat dari pemaksaaan dalam berakidah, untuk melindungi kesinambungan daklwah Islam, dan untuk mempertahankan diri dari serangan atau ancaman musuh. Perang seperti ini adalah yang diperintahkan dalam Islam.[14] Pada kenyataannya, banyak masyarakat atau bangsa yang tidak menyukai perang, namun karena keadaan yang memaksa seperti adanya serangan dari luar yang bertujuan merebut tanah air atau untuk menguasai mereka, maka tidak ada jalan lain kecuali mesti melakukan perang pula. Tuntunan ilahi yang menegaskan prinsip ini antara lain:
Dan perangilah jlan Allah orang-orang yang menerangi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-Baqoroh [2]:190)

            Dalam ayat lain ditegaskan bahwa perang ditujukan untuk menghilangkan ancaman dan hal-hal yang tidak sejalan dengan aturan Allah. Ayat tentang tuntunan ini adalah:
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi,dan agama (ketaatan) itu menjadi hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap  orang-oarang yang zalim.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 193)

            Mempertimbangkan kenyataan di atas, tampaknya diperlukan analisis secara historis dan sosiologis terhadap kandungan pesan yang tercantum dalam dua Hadits Rasulullah saw. yang dikutip di atas. Secara kesejarahan, dapat diketahui bahwa pada saat Rasulullah saw. mengungkapakan pesannya, hal itu di latarbelakangi oleh suasana yang tidak kondusif bagi kesinambungan eksitensi Islam dan umatnya. Pada masa itu, berbagaii kelompok atau golongan di sekitar Madinah selalu mengintai dan mencari kesempatan untuk menghancurkan Islam. Mereka tidak senang bila umat yang baru muncul ini berkembang dan menjadi kuat. Selagi masih lemah, komunitas ini mesti dimusnahkan, demikian kira-kira pendapat mereka. Karena itulah, mereka selalu berupaya setiap ada kesempatan untuk menghancurkannya, ketimbang di kemudian hari menjadi pesaing atau bahkan menguasai mereka. Fakta sejarah mengungkapkan bahwasannya pada saat itu memang terdapat ancaman-ancaman yang mesti terus mewaspadai oleh masyarakat yang baru tumbuh ini. Ancaman pertama datang dari suku penduduk Mekkah yang belum merelakan keberadaan Nabi Muhammad saw. dan umatnya, walau mereka sudah berhijrah ke Madinah. Penduduk Mekkah masih tetap merasa khawatir bahwa peran mereka dalam masalah kepamimpinan, social, maupun ekonomi akan tereduksi atau bahkan hilang diambil oleh kekuatan baru tersebut. Ancaman kedua yang dinilai juga sangat mengkhawatirkan dating dari kelompok Yahudi yang tinggal di sekeliling Madinah. Yang terakhir ini palng tidak mempunyai dua alas an, yaitu mereka tidak ingin melihat Nabi Muhammad sebagai penyelamat, seperti yang disebut dalam kitab suci, dan adanya keinginan untuk melestarikan dominasi ekonomi mereka di Madinah. Ancaman ketiga dating dari orang Nasrani yang selalu menyebut Rasulullah saw. sebagai Nabi palsu. Sedang ancaman keempat dating dari penduduk Madinah yang kelompok sebagai kaum munafik yang selalu merongrong dari dalam. Inilah fenomena yang dikenal pada masa tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi dari ungkapan Rasulullah saw. itu adalah karena danya ancaman serius yang selalu mengintai dan mencari kesempatan untuk menghancurkan Islam dan umatnya.

             Pada saat lain, ketika ancaman itu dinilai tidak signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, Rasulullah saw. selalu menganjurkan agar umat Islam selalu bertindak adil, jujur, dan berbuat baik pada siapa saja yang tidak memusuhi atau memerangi. Allah menegaskan ajaran ini dalam surah al-Mumtahanah [60]:8-9, yaitu:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, sebagai kawanmu. Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS.Al-Mumtahanah[60]:8-9)

Sesudah Rasulullah saw. wafat, ancaman terhadap Islam dan umatnya terus saja muncul. Hanya saja pada kurun waktu ini, upaya tersebut dilakukan oleh dua kerajaan besar di sekitar jazirah Arab, yaitu kekaisaran Romawi Timur dan Persia. Kedua kerajaan besar ini tidak senang dengan kemajuan Islam sebagai suatu kekuatan politik baru di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu, keduanya selalu mencari kesempatan yang baik untuk mengalahkan kekuatan Islam yang dipandang sebagai pesaing baru bagi keduanya yang sangat mungkin berpotensi sebagai ancaman bagi keberadaan kedua imperium tersebut.

            Menghadapi situasi seperti ini, umat Islam selalu dituntut untuk siaga setiap saat. Keadaan demikian tentu membuat mereka merasa selalu terancam dan menjadikan mereka tidak tenang. Salah satu upaya untuk mewujudkan ketentraman hidup adalah dengan menghilangkan ancaman yang  selalu menggelisahkan itu. Cara terbaik yang mesti dilakukan adalah dengan lebih dahulu menyerang musuh yang dinilai memiliki potensi untuk menyerang. Tampaknya, doktrin “menyerang adalah pertahanan diri yang paling baik” juga sudah dilakukan oleh umat Islam pada masa itu. Dalam rangka mewujudkan ketenangan hidup inilah, perang diperbolehkan dalam Islam.

            Dari uraian di atas, dapat dipahami dengan jelas ketidakbenaran anggapan bahwa Islam itu disebarkan dengan pedang. Hadiots Rasulullah saw. yang mengarah pada pengertian seperti itu mesti dipahamai secara kontekstual, yaitu dalam suasana yang bagaimana pesan itu diungkapkan. Lebih lanjut, dalam suasana yang berbeda dan umat Islam tidak sedang berada dalam ancaman, maka kandungan dari pesan itu tentunya tidak dapat diwujudkan. Pada masa kini, di saat bangsa-bangsa dunia menghendaki perdamaian dengan tidak saling mengganggu antara satu dengan yang lain, maka doktrin tentang perang mesti tidak lagi mengemuka. Sebaliknya, yang mesti ditegaskan adalah ajaran  tentang kedamaian, ketentraman, dan keselamatan yang juga banayk diungkapkan baik dalam Al-Quran maupun pesan Rasulullah saw. Sendiri dalam berbagai haditsnya.

Dakwah Rasulullah saw. untuk mengajak umat manusia ke jalan Allah dilanjutkan oleh kaum Muslim sejak masa sahabat, tabi’in, sampai sekarang. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan persamaan dan penghargaan pada harkat  dari berbagai bangsa di dunia. Dalam praktiknya, kaum muslim selalu mengajak umat lain untuk memeluk Islam. Bila mereka berkeberatan, umat Islam tetap memberikan kebebasan pada mereka untuk tetap memeluk agamanya semula. Hanya saja, bagi mereka ini ditetapkan untuk membayar jizyah (pajak perlindungan). Dengan adanya kebebasan ini, tidak sedikit bangsa non-Arab yang dengan senang lebih memilih berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam ketimabang dikuasai oleh kelompok lain yang cenderung memaksa mereka untuk memeluk agama sang penguasa. Inilah salah satu alas an dari perkembangan Islam yang sangat spektakuler secara politis.

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamain. Ajaran ini merupakan ketetapan yang telah digariskan Allah dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, tuntunan-tuntunannya juga akan mengarah pada terwujudnya kedamaian dan ketenteraman di dunia. Dengan arah yang demikian doktrin yang mengacu pada tindak kekerasan atau yang menjurus pada penindasan umat melalui kekuatan senjata, tanpa dibarengi alasan yang kuat pasti dilarang dan tidak ditolerin. Dengan demikian anggapan bahwa Islam identik dengan kekerasan adalah tidak benar. [hamdani anwar]


[1] Lihat Sayed Ameer Ali, Api Islam, terj. HB Yasin, (Jakarta : Bulan Bintang,1978), h.352.
[2] Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London : The MacMillan Press Ltd,1974), h. 120.
[3] Imam al-Bukhari, shahih al-Bukhari, jilid 1, h.42.
[4] Imam Ahmad, Musnad Ahmad,jilid 10, h.404.
[5] Qamaruddin Shaleh et al, Asbab an-Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 1974),h.81.
[6] Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,1680), h.273.
[7] Seorang cendikiawan Muslim dari Mesir yang banyak menulis buku untuk menjelaskan ajaran Islam dan menjawab kritikan para orientalis yang menilai ajaran dan umatnya secara keliru. Di anatara karyanya adalah syubhathawl al-Islam. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul jawaban terhadap alam pikiran barat yang keliru tentang Islam.
[8] Seorang ulama dari Saudi Arabia yang juga banyak menulis buku dan menjelaskan tentang ajara-ajaran Islam. Di antara bukunya yang berkaitan dengan masalh perang ini adalah hadza al-din baina Jahl Abna’ih wa Kaidi A’da’ih. Kemudian buku ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Agama Islam: Antara Kebodohan Pemeluk dan Serangan Musuhnya.
[9] Marshall G.S.Hodgson, The Venture of Islam,(Chicago: The university of Chicago press,1988), vol.1, h. 195.
[10] Thomas W.Arnold, The Preaching of Islam, (London:Constable,1913), h.57.

[11] Marcel A. Boisard,Humanisme dalam Islam, terj.HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,1980), h.272.
[12] Muhammad as-Sayyid Ahmad al-Wakil, Agama Islam:antara kebodhan pemeluk dan serangan musuhnya, terj. Burhan Jamaluddin,(Bandung: Al-Ma’rif ,1988), h.57
[13] Sayid Sabiq,Unsur-unsur kekuatan dalam Islam, terj. Muhammad Abdai Rathomy,(Surabaya: Ahmad Nabhan,1981), h. 272.
[14] Muhammad as-Sayyid al-Wakil, Agama Islam: Antara Kebodohan Pemeluk dan serangan Musuhnya, h.57.

Rabu, 28 November 2012

HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM


Islam adalah agama pembawa rahmat dan berwatak toleran.  Ia sangat mendambakan keadilan dan kedamaian serta menjunjung tinggi kemuliaan dan kebebasan manusia.  Dan, ini bukanlah slogan kosong tanpa bukti, melainkan prinsip dasar yang inheren dalam rancang-bangun Islam.


            Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, Allah set. mengutus rasul-Nya, Muhammad saw. sebagai “rahmat bagi semesta alam.[1] Nabi Muhammad saw. sendiri menyatakan tujuan risalah Islam yang dibawanya sebagai, “Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”[2] Islam juga memberikan kepada manusia kebebasan menetukan pilihan, bahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) sekalipun.  Allah swt. berfirman:

            Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al-Kahfi [18]: 29)

            Oleh karenanya, dakwah dalam Islam harus didasari atas, dan didorong oleh, penerimaan secara sadar yang dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, atau berdebat secara lebih baik, argumentatif dan objektif bukan berdasarkan paksaan dan tekanan.[3] Demikian pula, Islam sangat menganjurkan sikap adil dan ihsân, mengecam smeua bnetuk perbuatan keji danmunkar, serta upaya-upaya destruktif di atas muka bumi.[4] Oleh karena itu, sangat tidak logis bila Islam yang memerintahkan para pengikutnya utnuk bersikap saling mengasihi antarsesama manusia dan semua makhluk hidup, akan memerintahkan perang yang terus-menerus terhadap non-Muslim hanya karena perbedaan akidah.[5]

Islam dan Toleransi Agama

Dalam Islam, kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapat jaminan yang jelas dan pasti.  Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an telah secara jelas dan tegas menyatakan, “Lâ ikrâha fi and-dîn” [Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)].[6] Di sini, Islam melarang secara tegas berbagai bentuk pemaksaan untuk menganut agama tertentu.  Kebebasan manusi adalam memilih agama dan keimanan merupakan prinsip paling fundamental dari ajaran akidah Islam.  Secara demikian, penegasan Al-Qur’an tentang kebebasan manusia untuk beriman atau kufur tanpa paksaan merupakan prinsip yang tidak lagi dapat ditawar.  Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir,” demikian pernyataan Al-Qurân.[7]

            Hal ini karena masalah keimanan, keyakinan, dan keberagamaan agar benar dan dipercayai dengan yakin haruslah merupakan tindkan yang berdiri di atas, dan didasari oleh, penerimaan yang sadar, tulus dan tanpa paksaan.  Keimanan dan keyakinan yang hakiki tidak akan muncul jika landasannya adalah pemaksaan dan keterpaksaan.  Dengan kata lain, masalah keimanan adalah urusan dan komitme individuall, karenanya tak seorang pun dapat mencampuri dan memaksa komitmen individual ini.  Iman, sebagaimana ditekankan dalam teks dasar Islam dengan kata-kata yang jelas dan tak dapat diragukan, merupakan tindakan sukarela yang lahir dari keyakinan, ketulusan, dan kebebasan. [8]

Non-Muslim dalam Negara Islam
Jaminan Islam terhadap kebebasan beragama sebenarnya muncul dair pengakuan Islam atas kemajemukan atau pluralitas keberagamaan.[9]  Dalam praktiknya, jaminan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah saw. sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah.[10]  Dalam konstitusi tersebut, dijelaskan antara lain klausul tentang pengakuan eksistensi kaum Yahudi sebagai bagian dari kesatuan komunitas umat bersama kaum Muslimin di Madinah.[11]
            Bertolak dari kebebasan beragama yang dijamin oleh Islam ini pula, Khalifah II “Umar bin al-Khaththab memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Baitul Maqdis yang beragama Kristen.  “Bagi mereka jaminan keamanan atas kehidupan, gereja-gereja dan salib-salib mereka.  Mereka tidak boleh diganggu dan ditekan karena alasan agama dan keyakinan yang mereka anut, “demikian kebijakan dan jaminan ‘Umar bin al-Khaththab bagi umat non-Muslim dalam negara Islam.[12]


Islam dan Hubungan Antarnegara
Sebelumnya, satu prinsip yang penting untuk dikemukakan di sini adalah: perang yang diperbolehkan dalam Islam (jihad) sebenarnya lebih bercorak defensif yang bertujuan semata-mata untuk membela diri dari serangan musuh.  Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai prisnsip ini sangatlah gamblang.  Allah swt. mengizinkan kaum Muslim untuk melakukan peperangan bilamana musuh-musuh Islam telah melakukan serangan terlebih dahulu.  Allah swt. berfirman:


Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.  Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. (QS. Al-Hajj [22]: 39)
            Demikian pula dengan firman-Nya:


Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Bawarah [2]: 190)
            Ayat di atas secara jelas dan gamblang menyatakan bahwa kendati peperangan diizinkan dalam Islam untuk tujuan membela diri, akan tetapi di dalamnya terkandung ancaman untuk tidak melampaui batas-batas diperbolehkannya peperangan, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.  Karena itulah Allah swt. Mengafirmasi ayat di atas dengan firman-Nya:


“Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”. (QS. Al-Baqaah [2]: 194)
            Menjaga perdamaian dan anti-peperangan sebenarnya merupakan watak dasar dari wajah Islam sesungguhnya.  Ia menjadikan pertumpahan darah dan peperangan sebagai bentuk pengecualian untuk membela diri dari serangan musuh; suatu pengecualian yang, kendatipun tidak menyenangkan, menjadi pilihan terbaik ketimbang menyerah kepada musuh tanpa perlawanan.  Inilah pengertian yang dapat kita petik dari fiman Alllah swt:

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci”. (QS. al-Baqarah [2]: 216)
            Dengan demikian, peperangan ofensif dalam bentuk dan dengan tujuan untuk menyerang musuh telebih dahulu merupakan tindakan yang tidak direstui Islam dan tidak mendapatkan dukungan pembenaran dari agama yang sangat menganjurkan perdamaian dan kedamaian ini.
            Jihad dalam Islam yang berarti suatu bentuk perang defensif sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya tidak terbatas dalam arti peperangan fisik semata (qitâl), tetapi juga mencakup jihad melalui harta, jiwa, pemikiran, serta sarana-sarana lain yang dapat membantu mematahkan gerak ofensif musuh (penjajah) dengan berbagai bentuknya.  Sebab, tujuan jihad adalah memlihara dan menjaga eksistensi masyarakat Muslim dan keyakinan yang mereka anut; suatu hak yang sah bagi umat mana pun untuk mempertahankannya sebagaimana ditegaskan oleh hukum internasional modern.
            Kemudian, dalam suatu peperangan, jika kaum Muslim mendapati pihak musuh berkeinginan untuk berdamai dan menawarkan gencatan senjata, maka Islam memerintahkan untuk menerima inisiatif damai itu, sebagaimana firman Allah swt:


Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.  Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Anfâl [8]: 61)
            Oleh karena itu, menjadi sangat logis bila Islam sesungguhnya senantiasa mengajak untuk menciptakan suatu tata kehidupan yang damai(ko-eksistensi/ al-ta’âyusy al-silmî) dengan umat dan Negara lain selama mereka menghormati eksistensi kaum Muslim.  Di sinilah kita mendapatkan mengapa Al-Qur’an sangat menganjurkan umat Islam untuk berinteraksi dengan umat lain atas dasar keadilan.  Allah swt. berfirman:


Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. al-Mumtahanah [60]: 8)
            Lebih jauh, Islam memerintahkan untuk selalu menghormati dan menjalankan perjanjian dan kesepakatan.  Terdapat cukup banyak nash al-Qur’an yang mengandung perintah ini, antara lain firman Allah swt:



“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpahmu itu).  Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.  Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya saru golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.  Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu denganhal itu.  Dansesungguhnya di hari kiamat kan dijelaskan-Nya kepadamu apayang dalhulu kamu perselisihkan itu”. (QS. Al-Nahl [16]: 91-92)
            Perintah Islam untuk senantiasa menepati dan memelihara perjanjian dan kesepakatan bukan hanya terbatas antarindividu, tetapi juga antar kelompok/negara.  Dalam hubungan antar kelompok/negara, Al-Qur’an berpesan untuk menepati perjanjian yang telah dibuat, sebagaimana firman Allah swt:


Dan jika meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka” (QS. Al-Anfâl [8]: 72)
            Prinsip ini bukanlah teori belaka, tetapi benar-benar telah dipraktikkan dalam kehidupan Islam melakui keteladanan Rasul-Nya saw. Misalnya, seperti riwayat Abu Râfî’[13] yang ingin masuk Islam tatkal bertmeu Rasulullah saat ia menjadi duta kaumQuraisy untuk menemui Nabi di Madinah.  Abu Râfî’ meminta Nabi utnuk memperkenankannya tinggal di Madinah bersama Nabi dan tidak kembali ke Mekkah. Namun, Nabimenolak permintaan itu karena beliau tidak ingin mengkhianati perjanjian dengan kaum Quraisy.[14]
            Demikianlah, uraian di atas semakin memperkuat bahwa Islama dalah agama yang menyebarkan perdamaian, toleransi dan ke-eksistensi antarindividu, golongan,dan negara. Tidak hanya sampai disitu, Islam pun mengajak umat manusia untuk bekerja sama demi terwujudnya cita dan harapan manusia dan kemanusiaan.  Prinsip Islam tentang dianjurkannya kerja sama lintas agama, ras, golongan, negara demi kebaikan dan kemaslahatan dapat dilihat, misalnya, dari keterlibatan Nabi Muhammad saw. Dalam peristiwa Half al Fudhûl, di mana satu perjanjian telah dibuat oleh beberapa suku Arab untuk membela seorang pria yang diperlakukan secara tidak adil oleh seorang pria dari suku Arab lainnya. [15]  Nabi berpartisipasi dalam perjanjian ini sebelum beliau dibangkitkan menjadi Nabi.  Ketika beliau mengingat peristiwa tersebut setelah diutus menjadi Nabi, beliau bersabda:



Sungguh dahulu aku pernah menyaksikan di kediaman Abdullâh bin Jad’ân suatu perjanjian/ pakta )Half al-Fudhûl).  Jika aku diminta untuk ikut serta dalam peristiwa itu lagi dalam Islam, aku pasti akan berpartisipasi”.[16]
            Pernyataan beliau ini dengan jelas menunjukkan keharusan bekerja sama dalam kebaikan dan keadilan,tanpa melihat apakah pihak lain yang bekerjasama itu adalah Muslim atau bukan,[17] sebagaimana yang dapat dipetik dari pernyataan al-Qur’an:



Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam bebuat dosa dan pelanggaran”.(QS. Al-Ma’idah [5]: 2)

Distorsi Penafsiran Ayat al-Qur’an/Penyimpangan Menafsirkan Ayat/
Sampai titik ini, semakin jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan memerangi seseorang atau negara non-Islam hanya semata-mata karena perbedaan agama. Tetapi,beberapa ayat mengenai perang memang sering mengalami distorsi makna akibat pemahaman parsial dan tidak utuh.  Misalnya, ayat-ayat tentang perang yang terdapat dalam surah at-Taubah [9] ayat 5, 14, 29, dan 36 yang diambil secara sepotong-sepotong tidak jarang menggiring ke pemahaman bahwa Islam memerintahkan untuk memerangi siapa saja yang berbeda agama.  Padahal, bila ayat tersebut dicermati dan dibaca secara utuh, pemahaman ekstrem seperti ini menjadi jelas penyimpangannya karena bertentangan dengan karakteristik dasar Islam yang rahmah dan penuh damai.
Dalam ayat 5 surah at-Taubah, misalnya, potongan ayat yang artinya, “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai”, harus dibaca dalam konteks yang utuh dan mengaitkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu tentang orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian damai dan yang tetap setia dengan perjanjian damai. Perintah Allah adalah memerangi orang-orang musyrik yang berkhianat dan melanggar perjanjian damai.  Dengan demikian, orang-orang musyrik yang tetap setia dengan perjanjian damai dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslim, maka tidak boleh diperangi.  Orang-orang musyrik ini dapat bebas tanpa gangguan dan dijamin keamanannya selama masa ikatan perjanjian (ayat 4 surah at-Taubah).  Dan, dalam ayat 6 sesudahnya, Allah memerintahkan kepada Nabi saw. Dan kaum Muslim untuk memberikan jaminan keamanan bagi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan.
Pada ayat 14 surah at-Taubah, orang-orang non-Muslim yang diperintahkan untuk diperangi adalah mereka yangmelanggar perjanjian damai dan berencana memerangi kaum Muslim, seperti yang dapat dibaca dengan jelas dari ayat sebelumnya (ayat 12 dan 13surah at-Taubah).  Demikian pula dengan ayat 29 dan 36 pada surah yang sama.  Dalam ayat 29, Allah memerintahkanuntuk memerangi orang-orang kafir (Ahlul-Kitab) karenaadanya niat permusuhan dalam dirimerekapada waktu itu untuk memerangi kaum Muslim.  Sementara dalam ayat 36, perintah perang kepadea kaum musyrik di bulan Haram, karena kaum musyrik itu telah berkhianat dan melanggar perjanjian dengan melakukan penyerangan di bulan Haram yang dalam tradisi Arab dilarang melakukan peperangan.[18]
Dalam konteks ini, ayat lain yang sering kali mengalami distorsi makna sehingga terkesan radikal adalah ayat 193 surah al-Baqarah dan ayat 39 surah al-Anfâl.  Dua ayat ini, yaitu firman-Nya, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada finah dan supaya kepatuhan seluruhnya semata-mata untuk Allah.
Ayat 193 surah al-Baqarah yang memerintahkan kaum Muslim untuk berperang di sini harus dibatasi untuk berperang melawan mereka yang lebih dahulu melakukan agresi, sebagaimana terbaca dalam ayat 190 sebelumnya:


Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menukai orang-orang yang melampaui batas”.
Kemudian, dalam ayat 192 selanjutnya, al-Qur’an menyatakan bahwa peperangan itu harus dihentikan bila pihak musih menghentikan serangan,”Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.”  Menurut pakar tafsir M. Quraish Shihab, bila ayat 190 berbicara tentang kapan peperangan diizikan (yaitu saat ada musuh yang lebih dulu menyerang), maka ayat 192 dan 193 menjelaskan kapan peperangan mesti dihentikan.
Tujuan dari aturan perang seperti ini tidak lain agar tidak timbul fitnah, yakni “agar kekuatan syirik kaum musyrik itu tidak menimbulkan fitnah yang dapat menyakiti kaum Muslim sebagaimana dulu mereka menyakiti kaum Muslim di Mekkah;”[19] dan agar “wa yakûna al-dînu Lillâh” (kepatuhan hanya semata-mata kepada Allah), yakni bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus ditaati, antara lain member kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan mengamalkan agama dan kepercayaannya karena masing-masing akan mempertanggungjawabakannya, sesuai firman-Nya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kâfîrun [109]: 6).[20] sengaja disebarkan untuk memperburuk citra Islam.  Sebaliknya, Islam adalah agama damai yang penuh rahmat.  Bahkan, jika dicermati lebih teliti dari aspek kata Islam itu sendiri, secara kebahasaan, sebenarnya ada kesesuaian antara lafal Islam (îslâm) dengan kedamaian (salâm).  Dua lafal itu islâm dan salâm merupakan derivat yang berasal dari akar kata yang sama, yakni dari gabungan huruf sîn, lâm, dan mîm, yang berarti “selamat”dan “damai”.
Demikian pula, didalam al-Qur’an, Allah menyifati zat-Nya sebagai as-Salâm (Mahadamai).  Ucapan penghormatan umat Islam disebut ucapan salâm (kedamaian) untuk mengingatkan pengucapannya bahwa salâm atau kedamaian itu merupakan tujuan utama yang harus disebarkan dan tidak boleh sedikit pun lepas dari ingatan.  Lebih dari itu, setiap hari seorang Muslim diwajibkan paling kurang lima kali mengucapkan penghormatan Islam salâm di akhir setiap shalat; salâm kedamaian untuk sisi kanan dan kiri yang meliputi dua belahan bola bumi.
Demikianlah, jelas kiranya karakteristik Islam sebagai Agama yang damai dan penuh rahmat.  Dari itu,tak ada tempat dalam agama ini  bagi kekerasan dan radikalisme, atau fanatisme dan terorisme, serta berbagai bentuk kelaliman yang merusak dan menghancurkan kehidupan dan/ atau hak milik orang lain.  Terlebih lagi bila kita menyadari bahwa tujuan pokok dari ajaran Islam (maqâshid syari’ah) adalah menjaga danmemelihara hak-hak manusia yang paling mendasar, khususnya hak hidup,hak beragama, hakmemlihara akal, keluarga dan kepemilikan.  Tidaklah aneh karenanya bila Islam mengharamkan berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman kepada orang/golongan lain, sampai-sampai Islam menganggap kelaliman yang dilakukan kepada seorang manusia, sama artinya melakukan kelaliman kepada umat manusia secara keseluruhan, sebagai dinyatakan dalam Kitab Suci Islam:


Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.  Dan, barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 32)


[1] QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107.
[2] Hadits riwayat Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad.
[3] Lihat: QS. An-Nahl [16]: 82 dan 125 al ‘Ankabût [29]: 18; Yâsin [36]: 17; asy-Syûrâ [42]: 48; dan al-Ghâsyiyah [88]: 22.
[4] Lihat: QS. Al-Nahl [16]: 90.
[5] Lihat: M.. Zaqzouq, Haqâ’iq al-Islâmiyyah fi Muwâjahat Hamalât al-Tasykîk, (Cairo: Maktabah al-Syurûq al-Dawiliyyah, 2004, h. 33.
[6] QS. Al-Baqarah [2]: 256.
[7] QS. Al-Kahf [18]: 29.
[8] Lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan al-Kahfi [18]: 29.
[9] Pengakuan ini terbaca, misalnya, melalui pernyataan al-Qur’an dalam surah al-Mâ’idah [5]:48: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.  Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja.  Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap apa yang telah diberikan kepadamu.  Maka, berlomba-lombalah dalam kebaikan.  Hanya kepada Allah-lah kamu semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa-apa yang telah kamu perselisihkan.”
[10] Kajian dan analisis menarik mengenai kandungan “Konstitusi Madinah” dapat dibaca, antara lain, dalam M.S. Al-‘Awwâ, Fî an-Nizhâm as-Siyâs li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, (Cairo: Dâr al-Syurûq, 1989), h. 50-64.
[11] Pada poin ini, al-‘Awwâ melihat bahwa ko-eksistensi antara kaum Yahudi dan kaum Muslim, sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah, erat kaitannya dengan konsep Islam tentang kewarganegaraan dalam sebuah Negara (al-muwâthanah) (Fî an-Nizhâm as-Siyâsi li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, h. 55.  Bandingkan: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lû Dzimmiyyûn: Mawqi’ Ghair al-Muslimîn fî Mujtama’ Muslimîn, (Cario: Dâr asy-Syurûq, 1990), cet, 2, h. 124.
[12] Pernyataan ‘Umar bin al-Khaththab yang sangat populer ini dapat dilihat, antara lain, dalam al-Thabarî, Târîkh al-Thabarî, Maktabah Syâmilah, versi 2, 3/105.
[13] Hadits riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan al-Hakim.
[14] Lihat: Muhammad ad-Dasûqî, Ushûl al-‘Alâqât ad-Dawliyyah, h. 602-603 dalamM.H. Zaqzouq (ed.), At-Tasâmuh fi al-Hadhâharah al-Islâmiyyah, (Cairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004).
[15] Tentang Half al-Fudhûl, lihat antara lain: Ibnu Katsir, as-Sîrah an-Nabawiyyah, 1/259 (Maktabah Syâmilah).
[16] Al-Baihaqi, As-Sunan al Kubrâ, 6/367.
[17] M. Hassan, Teroris Membajak Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah 2007), H. 47-48.
[18] Tinjauan lebih lanjut tentang ayat-ayat ini dapat dilihat dalam: Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), cet. II h. 197 dan seterusnya.
[19] Muhammad Imârah (ed), al-A’mâl al-Kâmilah li Muhammad ‘Abduh, h. 4, 490, 491, 492.  Bandingkan M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, 9/552. Menarik untuk dicermati di sini bahwa al-Qur’an menggunakan kata wa qâtilûhum hattâ lâ takûna fitnah (“perangilah mereka agar tidak ada fitnah lagi”), bukan wa qâtilûhum hattâ yuslimû (“perangilah mereka sampai mereka masuk Islam”) yang menunjukkan bahwa tujuan peperangan ini bukanlah karena alasan perbedaan agama dan keyakinan (Lihat: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lâ Dzimmyyûn, h. 256).
[20] M. Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 62.