Tampilkan postingan dengan label mudharat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mudharat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Mei 2013

Gugur Kewajiban karena Lemah



Kedua penulis menerangkan bahwa amar makruf nahi mungkar bertujuan membuat kehidupan masyarakat lebih tertata. Dengan amar makruf nahi mungkar ini, diharapkan masyarakat dapat dijauhkan dari kerusakan dan mudharat. Karena itu, apabila penegakan amar makruf nahi mungkar justru mengundang unsur mudharat, baik pada pelaku maupun objek, maka penegakan amar makruf nahi mungkar ini justru bisa menjadi kebatilan. Al-Izz bin Abdussalam mengatakan, “Setiap tindakan kebaikan yang justru kontraproduktif terhadap kebaikan maka hukumnya tidak diperbolehkan.” Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga mengutarakan dalam kitab A’lamul Muqi’in, “Syariat Islam dibangun di atas fondasi kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia, yaitu keadilan dan kasih sayang. Karena itu, jika suatu tindakan justru membuat keadilan menjadi kezaliman, kasih sayang menjadi sebaliknya, kemaslahatan menjadi mudharat, atau dari kebijaksanaan menjadi kekerasan maka dapat dipastikan itu semua keluar dari ketentuan syariat.” (hal. 122)

Mengutip pernyataan Imam Quthubi, kedua penulis menjelaskan bahwa suatu beban kewajiban akan gugur bagi orang yang tidak mampu. Menurut Al-Alusi, kemampuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan melakukan sesuatu saat hendak melaksanakannya. Perintah syariat selalu memiliki kebijaksanaan atau hikmah tersendiri karena syariat tidak akan dibebankan kepada seseorang jika ia memang tidak mampu melakukannya. Allah Swt berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....” (QS. Al-Baqarah [2]: 286). Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan memerintahkan seseorang di luar batas kemampuannya.

Demikian pula amar makruf nahi mungkar, tidak akan dibebankan kepada orang yang tidak mampu melaksanakannya. Al-Izz bin Abdussalam berkata, “Jika ada seseorang berada pada posisi setengah mampu dan setengah tidak mampu maka ia hanya dibebani untuk melaksanakan setengah yang mampu ia laksanakan dan gugurlah kewajiban setengah lain yang di luar kemampuannya.”

Kedua penulis juga mengutip perkataan Imam Al-Ghazali, “Salah satu syarat pelaksanaan amar makruf nahi mungkar adalah kemampuan untuk melaksanakannya. Jika seseorang melihat kemungkaran lalu ia hanya mampu mengingkarinya, tanpa bisa berbuat apa-apa maka ia cukup membenci kemungkaran tersebut dengan hatinya karena barang siapa mencintai Allah maka ia pasti membenci kemungkaran/kemaksiatan dan mengingkarinya.” Imam Al-Ghazali juga menambahkan, “Contoh ketidakmampuan adalah jika seseorang mengetahui bahwa jika ia menegur suatu kemungkaran maka kemungkaran itu akan tetap berlanjut dan mungkin justeru akan menimbulkan kemungkaran yang lain. Dalam hal ini, yang bersangkutan tidak wajib menegakkan nahi mungkar. Bahkan, dalam keadaan tertentu penegakan nahi mungkar bisa diharamkan terhadapnya.” (hal. 128)

Oleh karena itu, setiap tindakan yang bisa mneyakiti badan, mengurangi harta, atau tercederainya kehormatan maka sebisa mungkin dihindari. Keadaan seperti itu menyebabkan gugurnya kewajiban seseorang dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar. (hal. 130)

Jumat, 03 Mei 2013

Jauhi Prasangka!


Prasangka yang harus dijauhi dalam hal ini adalah prasangka buruk. Menurut Ibnu Katsir, prasangka buruk adalah dakwaan yang tidak pada tempatnya tanpa dilatari dasar yang jelas atau menghukumi sesuatu secara tergesa-gesa tanpa petunjuk yang kuat. Jika prasangka buruk ini sudah menyebar dalam suatu masyarakat maka tidak akan ada lagi rasa aman dan nyaman di antara para anggota masyarakat. Hal itu karena setiap kali ada gerakan atau tindakan tertentu dari orang lain maka langsung dicurigai akan membahayakan dirinya dengan berpikir yang bukan-bukan. Bahkan, tidak menutp kemungkinan, kecurigaan yang ada dapat menyebabkan terjadinya perselisihan kecil yang bisa-bisa sampai menimbulkan perkelahian fisik, atau malah sampai pembunuhan. (hal. 45)

Kedua penulis juga mengutarakan akibat dan mudharat dari adanya prasangka buruk, juga tentang penyebab terjadinya prasangka buruk, yaitu mencari-cari kesalahan orang lain, menggunjing, dan adu domba. Untuk itu, Allah benar-benar melarang prasangka buruk melalui firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain....” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).

Demikian pula Rasulullah Sawmenegaskan larangan prasangka buruk. Dalam sebuah Hadis, Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa ia pernah melihat Rasulullah Saw tengah thawaf di Ka’bah lalu bersabda, “Betapa suci engkau, betapa wangi baumu, betapa agung engkau, betapa agung kehormatanmu. Demi Dzat yang diriku ada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya kehormatan seorang mukmin di hadapan Allah masih lebih agung dibanding kehormatanmu, hartanya... juga nyawanya.... Janganlah seseorang berprasangka kecuali dengan prasangka yang baik.”

Dalam Hadis yang lain disebutkan bahwa beliau juga bersabda, “Jauhilah prasangka karena sesungguhnya prasangka merupakan perkataan yang paling buruk.” Hadis yang lain menegaskan, “Jika engkau sudah berprasangka maka engkau tak akan mau meneliti.” Maksud Hadis ini adalah bahwa jika seseorang telah dikuasai setan sehingga ia mengedepankan prasangka buruknya maka ia tidak akan mampu berpikir jernih lagi untuk meneliti fakta yang sebenarnya. Betapa hancur sebuah masyarakat jika di antara individu-individu di dalamnya berkembang rasa curiga, prasangka buruk, dakwaan tanpa dalil yang kuat, dan rasa tidak saling percaya. Tentu masyarakat itu akan mudah tercerai-berai. Hal itu sudah pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw, yaitu ketika beliau diuji dengan kisah Hadisul-ifki (sebuah dakwaan perselingkuhan atas Siti Aisyah Ra yang dilancarkan oleh kaum munafik). Allah Swt berfirman, “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, ‘Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata’” (QS. An-Nur [24]: 12). Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat....” (QS. An-Nur [24]: 19). (hal. 49)

Kedua penulsi mengakhiri bab ini dengan mengatakan bahwa prasangka buruk merupakan perbuatan yang harus dihindari oleh setiap mukmin karena prasangka ini mengandung dosa. Namun, bagi pelaku amar makruf nahi mungkar, mencegah prasangka buruk menjadi lebih ditekankan lagi. Hal itu karena saat menyembah Allah, setiap makhluk harus berprasangka baik kepada-Nya. Prasangka baik pula yang harus didahulukan saat berinteraksi dengan kaum muslimin secara umum. sebaliknya, prasangka buruk tidak boleh dilakukan di hadapan kaum muslimin karena itu mengandung dosa dan berpotensi menimbulkan permusuhan. Sudah disebutkan di atas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika engkau sudah berprasangka maka engkau tak akan mau meneliti.” Kedua penulis juga mengutip perkataan Mu’awiyah, “Jika engkau mencari-cari kesalahan orang lain maka engkau pasti akan merusak dirinya atau berpotensi merusak dirinya.”