Tampilkan postingan dengan label amar makruf nahi munkar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label amar makruf nahi munkar. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Mei 2013

Tanpa Kelembutan, Tidak Akan Mendapat Kebaikan




Kedua penulis mengingatkan bahwa salah satu pijakan penting bagi penegak amar makruf nahi mungkar adalah nasihat Ibnu Taimiyah, “Harus dibarengi ilmu yang cukup, rasa kelembutan, dan kesabaran.” Karena amar makruf nahi mungkar bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mewujudkan masyarakat yang tertata baik. (hal. 97)
                                      
Rasulullah Saw merupakan teladan terbaik dalam amar makruf nahi mungkar. Al-Quran menyebutkan sifat Rasulullah dalam salah satu ayat-Nya, “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu....” (QS. Ali Imran [3]: 159).

Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt Mahalembut dan menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan sesuatu yang tidak Dia berikan kepada kekerasan atau yang lainnya.”  Aisyah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika kelembutan ada pada seseorang maka kelembutan itu pasti makin menghiasinya dan jika kelembutan itu tidak ada pada seseorang maka tentu saja ia terlihat buruk.” Dalam Hadis lain, “Orang yang tidak memiliki kelembutan maka tidak akan memiliki kebaikan.” Menafsirkan Hadis ini, kedua penulis mengatakan bahwa kebaikan yang tidak akan dimiliki itu adalah kebaikan di dunia dan akhirat. Tanpa kebaikan di dunia maka ia akan dijauhi manusia dan tanpa kebaikan di akhirat maka ia tidak akan mendapat ridha dan anugerah Allah Swt. (hal. 99)

Untuk memperkuat hal di atas, kedua penulis menyebutkan beberapa ayat Al-Quran. Allah berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka...’” (QS. Al-Isra` [17]: 53). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan diberi petunjuk (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji” (QS. Al-Hajj [22]: 24).

Ada banyak Hadis yang juga mencontohkan kelembutan yang sudah diperlihatkan langsung oleh Rasulullah Saw. Suatu ketika ada seorang pemuda mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.” Para sahabat yang mendengar pun langsung berteriak mencelanya. Namun, Rasulullah dengan lembut meminta para sahabat untuk tenang. Beliau kemudian meminta pemuda itu mendekati beliau. Beliau lalu bertanya, “Apakah kamu mau perzinaan itu dilakukan atas ibumu?” Sang pemuda menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah! Semoga Allah menjaganya.” Rasulullah menimpali, “Begitu pula orang lain, mereka tidak ingin ibu mereka berzina dengan orang lain. Lalu apakah kamu mau perzinaan itu dilakukan atas anak perempuanmu?” Sang pemuda menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah! Semoga Allah menjaganya.” Rasulullah menimpali, “Begitu pula orang lain, mereka tidak ingin anak perempuan mereka berzina dengan orang lain.” (hal. 101)

Dalam Hadis lain diterangkan pula ada seorang badui (pedalaman) yang membuang air kecil di dalam masjid. Tentu saja hal itu membuat para sahabat geram dan hendak menghardik si badui. Namun, Rasulullah justru meminta para sahabat membiarkan si badui itu. Beliau bersabda, “Biarkanlah... cukup kalian segera siram saja air kecilnya dengan air. Sesungguhnya kalian diperintah untuk mempermudah, bukan mempersulit.”

Kedua penulis lalu menekankan arti penting kelembutan dalam penegakan amar makruf nahi mungkar. Selain kelembutan, Al-Quran juga menekankan kesabaran, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya, “Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting” (QS. Luqman [31]: 17).

Kesabaran merupakan teman karib kelembutan. Karena jika amar makruf nahi mungkar dilakukan tanpa kesabaran dan kelembutan maka yang terjadi bukan lagi amar makruf nahi mungkar, melainkan pertengkaran atau malah perkelahian. Kedua penulis lalu mengutip beberapa pernyataan Imam Al-Ghazali, di antaranya, “Orang yang melakukan kemungkaran harus diberi tahu tentang haramnya kemungkaran itu secara lembut. Karena kemungkaran lahir akibat kebodohan, sedangkan kebodohan hakikatnya merupakan sesuatu yang menyakitkan. Jika seseorang sudah bodoh (sakit), lalu disakiti lagi dengan tindak kekerasan maka tentu tidak akan menyelesaikan masalah.” Dalam Hadis lain ditegaskan, “Jika pemberitahuan tentang kemungkaran itu justru menimbulkan sakit hati atau membuka aib seseorang maka beri tahulah secara lembut agar ia mau mendengar. Dengan begitu, tidak ada yang tersakiti. Menyakiti orang lain merupakan sesuatu yang harus dijauhi. Tentu tidak bisa dinalar membersihkan darah dengan darah atau dengan air kecil.”

Imam Al-Ghazali juga mengungkap potensi mudharat yang lain dalam melakukan amar makruf nahi mungkar tanpa dibarengi kelembutan dan kesabarab, yaitu potensi takabur dan menjerumuskan orang lain dalam kebodohan. Dalam Hadis disebutkan, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya masih ada setitik saja sifat takabur.”

Senin, 13 Mei 2013

Larangan Kemudharatan dan Memudharatkan


Kedua penulis menyebutkan bahwa penegakan amar makruf nahi mungkar yang menyebabkan rasa sakit terhadap orang lain atau bertentangan dengan hukum syariat yang lain tidak diperbolehkan. Karena itu, kedua penulis menerangkan arti penting Hadis lā dharara wa lā dhirāra (tidak boleh ada kemudharatan dan memudharatkan) dalam pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. Memang kemungkaran harus diberantas, tetapi jangan sampai pemberantasannya justru mendatangkan kemudharatan dan kemungkaran yang lain.
                                 
Dalam akhir bab ini, penulis mengutip pernyataan Imam Al-Ghazali, “Jika pelaksanaan amar makruf nahi mungkar itu justru menyakiti kerabat atau tetangganya maka sebaiknya tinggalkanlah penegakan amar makruf nahi mungkar. Karena menyakiti orang lain merupakan sesuatu yang dilarang dan harus dihindari.” Jika menyakiti kerabat dan tetangga yang merupakan orang-orang dekat saja dilarang, tentu menyakiti orang lain yang tidak ada hubungan apa pun harus lebih dihindari. (hal. 82)

Jumat, 03 Mei 2013

Jauhi Prasangka!


Prasangka yang harus dijauhi dalam hal ini adalah prasangka buruk. Menurut Ibnu Katsir, prasangka buruk adalah dakwaan yang tidak pada tempatnya tanpa dilatari dasar yang jelas atau menghukumi sesuatu secara tergesa-gesa tanpa petunjuk yang kuat. Jika prasangka buruk ini sudah menyebar dalam suatu masyarakat maka tidak akan ada lagi rasa aman dan nyaman di antara para anggota masyarakat. Hal itu karena setiap kali ada gerakan atau tindakan tertentu dari orang lain maka langsung dicurigai akan membahayakan dirinya dengan berpikir yang bukan-bukan. Bahkan, tidak menutp kemungkinan, kecurigaan yang ada dapat menyebabkan terjadinya perselisihan kecil yang bisa-bisa sampai menimbulkan perkelahian fisik, atau malah sampai pembunuhan. (hal. 45)

Kedua penulis juga mengutarakan akibat dan mudharat dari adanya prasangka buruk, juga tentang penyebab terjadinya prasangka buruk, yaitu mencari-cari kesalahan orang lain, menggunjing, dan adu domba. Untuk itu, Allah benar-benar melarang prasangka buruk melalui firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain....” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).

Demikian pula Rasulullah Sawmenegaskan larangan prasangka buruk. Dalam sebuah Hadis, Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa ia pernah melihat Rasulullah Saw tengah thawaf di Ka’bah lalu bersabda, “Betapa suci engkau, betapa wangi baumu, betapa agung engkau, betapa agung kehormatanmu. Demi Dzat yang diriku ada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya kehormatan seorang mukmin di hadapan Allah masih lebih agung dibanding kehormatanmu, hartanya... juga nyawanya.... Janganlah seseorang berprasangka kecuali dengan prasangka yang baik.”

Dalam Hadis yang lain disebutkan bahwa beliau juga bersabda, “Jauhilah prasangka karena sesungguhnya prasangka merupakan perkataan yang paling buruk.” Hadis yang lain menegaskan, “Jika engkau sudah berprasangka maka engkau tak akan mau meneliti.” Maksud Hadis ini adalah bahwa jika seseorang telah dikuasai setan sehingga ia mengedepankan prasangka buruknya maka ia tidak akan mampu berpikir jernih lagi untuk meneliti fakta yang sebenarnya. Betapa hancur sebuah masyarakat jika di antara individu-individu di dalamnya berkembang rasa curiga, prasangka buruk, dakwaan tanpa dalil yang kuat, dan rasa tidak saling percaya. Tentu masyarakat itu akan mudah tercerai-berai. Hal itu sudah pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw, yaitu ketika beliau diuji dengan kisah Hadisul-ifki (sebuah dakwaan perselingkuhan atas Siti Aisyah Ra yang dilancarkan oleh kaum munafik). Allah Swt berfirman, “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, ‘Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata’” (QS. An-Nur [24]: 12). Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat....” (QS. An-Nur [24]: 19). (hal. 49)

Kedua penulsi mengakhiri bab ini dengan mengatakan bahwa prasangka buruk merupakan perbuatan yang harus dihindari oleh setiap mukmin karena prasangka ini mengandung dosa. Namun, bagi pelaku amar makruf nahi mungkar, mencegah prasangka buruk menjadi lebih ditekankan lagi. Hal itu karena saat menyembah Allah, setiap makhluk harus berprasangka baik kepada-Nya. Prasangka baik pula yang harus didahulukan saat berinteraksi dengan kaum muslimin secara umum. sebaliknya, prasangka buruk tidak boleh dilakukan di hadapan kaum muslimin karena itu mengandung dosa dan berpotensi menimbulkan permusuhan. Sudah disebutkan di atas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika engkau sudah berprasangka maka engkau tak akan mau meneliti.” Kedua penulis juga mengutip perkataan Mu’awiyah, “Jika engkau mencari-cari kesalahan orang lain maka engkau pasti akan merusak dirinya atau berpotensi merusak dirinya.”

Kamis, 02 Mei 2013

Definisi Ikhlas



Al-Qusyairi menyebutkan bahwa pengertian ikhlas adalah menghindarkan ketaatan dari tujuan tertentu. Artinya, ketaatan itu dilakukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketaatan itu dilakukan tidak untuk sesuatu yang lain, semisal agar dilihat orang lain, agar dipuji orang lain, atau tujuan lain yang bersifat keduniaan.
                            
Adapun Ar-Raqaq mengungkapkan definisi ikhlas sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa menghiraukan perhatian orang lain, jujur, dan bahkan diri sendiri pun mengacuhkan perbuatan yang sudah dilakukan itu.

Kedua penulis lalu menjelaskan tiga tanda keikhlasan sebagaimana pernah diungkap Dzun Nun, yaitu (1) pujian atau cacian dari manusia dianggap sama; (2) langsung melupakan apa yang sudah dilakukan; dan (3) menunggu balasan perbuatan hanya di akhirat.

Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Saya berharap kalian semua mempelajari ilmu ikhlas ini dengan sebenar-benarnya, jangan sampai tertinggal barang satu huruf pun!” Imam Syafi’i juga menambahkan, “Setiap kali berbicara dengan seseorang, saya selalu mendoakan ia dapat mengamalkan ilmu ikhlas. Saya juga berharap ia mendapat lindungan Allah Swt.” Dalam hal ini, Imam Syafi’i telah memberikan teladan keikhlasan. Imam Syafi’i ingin orang lain belajar darinya dan ia tak mengharapkan balasan apa pun, termasuk misalnya ilmu yang didapat orang lain darinya tidak disandarkan kepadanya, ia pun tetap tidak mempermasalahkan. Imam Syafi’i hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt.

Sementara itu, ria (budaya pamer) merupakan kebalikan dari ikhlas. Ria yaitu beramal demi dilihat oleh manusia. Rasulullah Saw sendiri pernah mengingatkan bahaya ria dalam sabda beliau, “Hal yang paling aku khawatirkan dari umatku adalah ria dan hawa nafsu tersembunyi.”

Kedua penulis lalu mengungkapkan bahwa pelaku amar makruf nahi mungkar harus mengedepankan sifat rendah hati, penyayang, dan penyabar. Hanya saja, sayangnya masih cukup sering terjadi adanya pelaku amar makruf nahi mungkar yang justru lebih mendahulukan kekuatan dan kekerasan. Celakanya hal itu dilakukan tanpa ilmu dan pengetahuan yang mencukupi.