Tampilkan postingan dengan label ikhlas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ikhlas. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Mei 2013

Definisi Ikhlas



Al-Qusyairi menyebutkan bahwa pengertian ikhlas adalah menghindarkan ketaatan dari tujuan tertentu. Artinya, ketaatan itu dilakukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketaatan itu dilakukan tidak untuk sesuatu yang lain, semisal agar dilihat orang lain, agar dipuji orang lain, atau tujuan lain yang bersifat keduniaan.
                            
Adapun Ar-Raqaq mengungkapkan definisi ikhlas sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa menghiraukan perhatian orang lain, jujur, dan bahkan diri sendiri pun mengacuhkan perbuatan yang sudah dilakukan itu.

Kedua penulis lalu menjelaskan tiga tanda keikhlasan sebagaimana pernah diungkap Dzun Nun, yaitu (1) pujian atau cacian dari manusia dianggap sama; (2) langsung melupakan apa yang sudah dilakukan; dan (3) menunggu balasan perbuatan hanya di akhirat.

Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Saya berharap kalian semua mempelajari ilmu ikhlas ini dengan sebenar-benarnya, jangan sampai tertinggal barang satu huruf pun!” Imam Syafi’i juga menambahkan, “Setiap kali berbicara dengan seseorang, saya selalu mendoakan ia dapat mengamalkan ilmu ikhlas. Saya juga berharap ia mendapat lindungan Allah Swt.” Dalam hal ini, Imam Syafi’i telah memberikan teladan keikhlasan. Imam Syafi’i ingin orang lain belajar darinya dan ia tak mengharapkan balasan apa pun, termasuk misalnya ilmu yang didapat orang lain darinya tidak disandarkan kepadanya, ia pun tetap tidak mempermasalahkan. Imam Syafi’i hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt.

Sementara itu, ria (budaya pamer) merupakan kebalikan dari ikhlas. Ria yaitu beramal demi dilihat oleh manusia. Rasulullah Saw sendiri pernah mengingatkan bahaya ria dalam sabda beliau, “Hal yang paling aku khawatirkan dari umatku adalah ria dan hawa nafsu tersembunyi.”

Kedua penulis lalu mengungkapkan bahwa pelaku amar makruf nahi mungkar harus mengedepankan sifat rendah hati, penyayang, dan penyabar. Hanya saja, sayangnya masih cukup sering terjadi adanya pelaku amar makruf nahi mungkar yang justru lebih mendahulukan kekuatan dan kekerasan. Celakanya hal itu dilakukan tanpa ilmu dan pengetahuan yang mencukupi.

Rabu, 01 Mei 2013

Ikhlas dalam Introspeksi




Kedua penulis memulai bab ini dengan menyebutkan bahwa sikap berlebihan dalam amar makruf nahi mungkar hadir dalam banyak bentuk dan macamnya. Di antaranya ada orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar tujuannya tidak lain adalah untuk memenuhi kegemarannya dalam menguasai dan menaklukkan orang lain. Ada pula orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar secara berlebih-lebihan dalam arti untuk memenuhi hawa nafsunya. Di sisi lain, ada pula orang yang suka melakukan amar makruf nahi mungkar, tetapi ia justru merasa kecewa jika kemungkaran sudah mereda ketika ia sebelum datang. Hal itu karena ia merasa tidak kebagian dalam mencegah kemungkaran dimaksud dan tidak berkesempatan melawan atau menyakiti pelaku kemungkaran. Hal semacam ini tentu tidak baik mengingat tujuan adanya perintah amar makruf nahi mungkar adalah untuk kebaikan umat secara keseluruhan. Artinya, asalkan kemungkaran itu sudah tidak ada maka hal itu menunjukkan kemajuan, tidak pandang siapa yang mencegah kemungkaran itu. (hal. 33)
                     
Keikhsalan merupakan rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Tidak ada yang mengetahui keikhlasan seseorang kecuali Allah Swt., sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada” (QS. Ghafir [40]: 19). Menurut penulis buku ini, penting bagi setiap orang untuk belajar keikhlasan, termasuk dalam melakukan amar makruf nahi munngkar. Hal itu karena sebagaimana amalan lain, amar makruf nahi munngkar pun dilakukan tidak lain untuk mencari ridha Allah. Allah Swt berfirman, “...Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi [18]: 110).