Tampilkan postingan dengan label nahi munkar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nahi munkar. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Mei 2013

Menghindari Penegakan Nahi karena Khawatir Menimbulkan Mudharat yang Lebih Besar



Membuka bab ini, kedua penulis bertanya-tanya, bagaimana jika pelaku amar makruf nahi mungkar memperkirakan bahwa kemungkaran tidak akan berhenti dengan tindakannya, malah bisa berubah menjadi kemungkaran yang lebih dahsyat lagi? Dalam keadaan seperti ini, apakah penegak amar makruf nahi mungkar sebaiknya meneruskan tindakannya untuk menghentikan kemungkaran, ataukah sebaiknya ia tidak meneruskan usaha tindakannya tersebut? Jika ia memutuskan meneruskan usahanya itu, apakah berarti ia harus bersikap masa bodoh dengan akibat usahanya itu, yaitu kemungkinan berubahnya kemungkaran menjadi kemungkaran yang lebih besar?

Kedua penulis lalu mencontohkan beberapa kasus. Misalnya menyiram wajah perempuan yang bersolek dengan air mendidih, atau menghancurkan kuburan orang-orang yang tidak diketahui identitasnya, atau menggusur lokalisasi prostitusi tanpa memberikan solusi alternatif pilihan alih pekerjaan. Tindakan-tindakan tersebut memang bisa diniatkan sebagai penegakan nahi mungkar, tetapi justru dapat menimbulkan kemungkaran atau mudharat yang jauh lebih besar. Atas tindakan-tindakan seperti itu, Asy-Syathibi menyebutnya sebagai tindakan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan ajaran syariat. Jika kemaslahatan yang lebih besar tidak dicapai maka suatu tindakan tidak bisa dikatakan menjadi amar makruf nahi mungkar. Demikian dinyatakan juga oleh Al-Izz bin Abdussalam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun dalam kitab Fatawa-nya mengatakan bahwa syariat Islam diajarkan untuk mendatangkan maslahat dan menjauhkan mudharat. Jika ada dua maslahat bertentangan maka yang diperjuangkan adalah maslahat yang lebih besar, sedangkan bila ada dua mudharat yang mungkin timbul maka yang dijauhkan adalah mudharat yang lebih besar. Allah Swt berfirman, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya....’” (QS. Al-Baqarah [2]: 219).

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa perintah melakukan amar makruf nahi mungkar memang disebutkan secara umum. Artinya seperti tidak ada pengecualian sama sekali. Namun, menurut Imam Al-Ghazali, pada praktiknya, penegakan amar makruf nahi mungkar harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan begitu, memungkinkan adanya pengecualian dalam tindakan amar makruf nahi mungkar, baik berdasarkan ijmak maupun qiyas (silogisme). Tindakan yang dilakukan dalam nahi mungkar, misalnya, harus dilihat dari pelaku kemungkarannya, tidak sekadar perbuatan mungkarannya. Jika jelas diketahui bahwa pelaku kemungkaran itu tidak mungkin bisa dicegah atau ditanggulangi dari kemungkaran tersebut maka bisa jadi memang tak ada gunanya menegakan nahi mungkar terhadapnya.
                                                      
Kedua penulis bahkan menyatakan, jika seseorang memperkirakan penegakan nahi mungkar justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar maka tanpa diragukan lagi wajib baginya untuk meningalkan penegakan nahi mungkar. (hal. 141)
                                                             
Kedua penulis kemudian menutup bab ini dengan mengutarakan bahwa menghindari tindakan nahi mungkar seperti itu memang biasanya luput dari perhatian kebanyakan orang. Untuk itu, bab ini menjadi sangat penting bagi para penegak amar makruf nahi mungkar. Sesungguhnya ajaran-ajaran syariat Islam saling melengkapi satu sama lain. Ajaran-ajaran tersebut tidak mungkin saling bertentangan karena syariat Islam datang dari Allah yang Maha Mengetahui dan Mahateliti. Karena itu, penegakan amar makruf nahi mungkar tidak selayaknya bertentangan dengan tujuan dan kelembutan dakwah. Harus diakui pula bahwa hilangnya kemungkaran dari seseorang juga didasarkan pada  hidayah dari Allah Swt. Dengan begitu, penegakan amar makruf nahi mungkar jangan sampai bertentangan dengan tujuan amar makruf nahi mungkar lain yang lebih besar. (hal. 143)

Rabu, 01 Mei 2013

Ikhlas dalam Introspeksi




Kedua penulis memulai bab ini dengan menyebutkan bahwa sikap berlebihan dalam amar makruf nahi mungkar hadir dalam banyak bentuk dan macamnya. Di antaranya ada orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar tujuannya tidak lain adalah untuk memenuhi kegemarannya dalam menguasai dan menaklukkan orang lain. Ada pula orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar secara berlebih-lebihan dalam arti untuk memenuhi hawa nafsunya. Di sisi lain, ada pula orang yang suka melakukan amar makruf nahi mungkar, tetapi ia justru merasa kecewa jika kemungkaran sudah mereda ketika ia sebelum datang. Hal itu karena ia merasa tidak kebagian dalam mencegah kemungkaran dimaksud dan tidak berkesempatan melawan atau menyakiti pelaku kemungkaran. Hal semacam ini tentu tidak baik mengingat tujuan adanya perintah amar makruf nahi mungkar adalah untuk kebaikan umat secara keseluruhan. Artinya, asalkan kemungkaran itu sudah tidak ada maka hal itu menunjukkan kemajuan, tidak pandang siapa yang mencegah kemungkaran itu. (hal. 33)
                     
Keikhsalan merupakan rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Tidak ada yang mengetahui keikhlasan seseorang kecuali Allah Swt., sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada” (QS. Ghafir [40]: 19). Menurut penulis buku ini, penting bagi setiap orang untuk belajar keikhlasan, termasuk dalam melakukan amar makruf nahi munngkar. Hal itu karena sebagaimana amalan lain, amar makruf nahi munngkar pun dilakukan tidak lain untuk mencari ridha Allah. Allah Swt berfirman, “...Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi [18]: 110).

Jumat, 19 April 2013

Bentuk Jihad Modern



Jihad sebagai salah satu wujud pengamalan ajaran agama Islam dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam. Dalam situasi kaum muslimin mengalami penindasan, jihad dapat dilakukan dalam bentuk peperangan untuk membela diri. Tetapi, dalam situasi damai jihad dapat dilakukan dalam bentuk amal shalih seperti menunaikan ibadah haji, membantu fakir-miskin, berbakti kepada orang tua, rajin belajar dan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar.
                                                 
1.     Perang

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak pernah gentar  berperang di jalan Allah.  Apabila kaum Muslim di zalimi, fardhu kifayah bagi kaum muslim untuk berjihad dengan harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk peperangan diijinkan oleh Allah dengan beberapa syarat: untuk membela Diri, dan melindungi dakwah. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:

 “Mengapa  kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan kami, Keluarkanlah Kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-mu.” (Qs. An-Nisa[4]: 75)


“Diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (Qs.al-Hajj[22]:39).

                Dalam Berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui batas, membunuh perempuan,anak-anak dan orang-orang tua renta yang tidak ikut berperang. Islam juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti persediaan makanan, minuman dan pemukiman. Perang juga tidak boleh dilakukan apabila negosiasi dan proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan. Peperangan harus segera dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan gencatan senjata atau menekan perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Quran, peperangan dilakukan untuk menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan kezaliman), dan karena itu, apabila telah tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk melakukan peperangan. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Quran Surat al-Baqarah, ayat 193:

 “Perangilah mereka sampai batas berakhirnya fitnah, dan agama itu hanya bagi Allah semata. Jika mereka telah berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)

Demikian ajaran Islam mengenai perang. Singkatnya, perang diijinkan dalam situasi dan kondisi yang sangat terpaksa. Apabila perang terpaksa dilakukan, peperangan tersebut harus dilakukan untuk tujuan damai, bukan untuk permusuhan dan membuat kerusakan di muka bumi.


2.    Haji Mabrur

Haji yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan jihad. Bahkan, bagi perempuan, haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal ini ditegaskan dalam beberapa Hadis, diantaranya :

Aisyah ra berkata : Aku menyatakan kepada Rasulullah SAW : tidakkah kamu keluar berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada amalan yang lebih baik dari pada jihad, Rasulullah SAW menyatakan : tidak ada, tetapi untukmu jihad yang lebih baik dan lebih indah adalah melaksanakan haji menuju haji yang mabrur.


Pada riwayat al- Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda :

“Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad beliau menjawab sebaik-baiknya jihad adalah haji.”


3.    Menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad melawan penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang menimbulkan penderitaan kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian melakukan perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh cara-cara damai melalui organisasi yang memajukan pendidikan dan mengembangkan kebudayaan yang membawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad melawan penguasa yang zalim disebutkan, antara lain, dalam  hadist riwayat at- Tirmizi:

Abu Said al Khurdi menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim.

                Kata  A’ dzam pada hadist di atas, menunjukan bahwa upaya menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim sangat besar. Sebab, hal itu sangat mungkin mengandung resiko yang cukup besar pula.


4.    Berbakti  kepada orang tua

Jihad yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua, tidak hanya ketika mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat. Seorang anak tetap harus menghormati orangtuanya, meskipun seorang anak tidak wajib taat terhadap orangtua yang memaksanya untuk berbuat musyrik (Qs.Luqman,[31]:14)

Jihad dalam  berbakti kepada orang tua juga dijelaskan dalam Hadis.


Seseorang datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya Kemudian Nabi SAW bertanya: apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: masih, Nabi SAW bersabda: terhadap keduanya maka berjihadlah kamu.

Berjihad untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbingan, dan kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti memperlakukan orangtua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan orangtua, menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan melemah dengan kekurangannya serta berperilaku dengan tutur kata  dan perbuatan yang mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Isra[17] ayat 23:

 “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyerah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut, dalam peliharaanmu maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak  mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

5.    Menuntut  Ilmu dan Mengembangkan Pendidikan

Bentuk Jihad yang lainnya adalah menuntut ilmu, memajukan pendidikan masyarakat. Di dalam sebuah Hadis diriwayatkan Imam Ibnu Madjah disebutkan :

Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka ia sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang melihat kesenangan orang lain. (riwayat Ibnu Majah)


Orang yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu sebagaimana disebutkan pada hadis di atas, diposisikan seperti orang berjihad di jalan Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam bisa memajukan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.


6.    Membantu Fakir-Miskin.

Jihad yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin, peduli kepada sesama, menyantuni kaum duafa. Bantuan pemberdayaan dapat diberikan dalam bentuk perhatian dan perlindungan atau bantuan material.
Hadis yang diriwayatkan Bukhori berikut ini menjelaskan:

 Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang menolong dan memberikan perlindungan kepada janda dan orang miskin sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhori)

Memberikan bantuan financial dan perlindungan kepada orang miskin dan janda, merupakan amalan yang sama nilainya dengan jihad di jalan Allah.

Sebab, jihad dan perhatian atau kepedulian kepada orang yang membutuhkan bantuan, keduanya sama-sama membutuhkan pengorbanan. Dengan membantu dan memperhatikan orang-orang lemah, kita dituntut untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan harta untuk kepentingan orang lain. Dan inipun, sangat sesuai dengan pengertian jihad yang sesungguhnya.                           
Pemahaman jihad yang baik dan berimplikasi positif terhadap umat Islam. Hasilnya setiap muslim memiliki sense of crisis, suka menolong terhadap orang lain, tidak mengorbankan permusuhan, menjauhi kekerasan, serta mengedepankan perdamain. Jihad, juga dapat meningkatkan etos kerja umat Islam, yaitu semangat dan kesungguhan melakukan tugas dan tanggung jawab dalam berbagai bidang kehidupan. Jihad dapat mengalahkan kemalasan dan ketakutan. Dengan semangat jihad, dapat mengggunakan semua potensi maksimal yang dimilikinya untuk mengaktualisasikan diri dan meningkatkan sumber dayanya, sehingga dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Di tengah, banyaknya bencana dan musibah yang merenggut ribuan nyawa, jihad dalam bentuk kepedulian dan kepekaan kepada sesama, sangat diperlukan.                                                                                                                                                                              


Jumat, 01 Maret 2013

Menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar

Amar makruf nahi munkar dengan pengertian menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran adalah salah satu sendi terbesar dalam setiap agama. Para nabi: pun di utus untuk itu, sebab tanpa prinsip tersebut kerusakan di bumi akan merajalela. Di dalam al-Qur'an perintah untuk itu sangat jelas. Allah berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung".

Dalam Haditsnya Rasulullah bersabda:
Barangsiapa di antara 1 tlian mendapatkan kemungkaran maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatan), bila tidak bisa maka dengan lisannya, dan kalau itu pun tidak bisa maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.[1]

Dalam riwayat lain Rasulullah saw. berasabda:
Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma'ruf nahi munkar, atau (kalau tidak) Allah akan mengirimkan azab dari sisi-Nya dalam waktu dekat, kemudian kalian berdoa dan doa kalian tidak akan dikabulkan.[2]

Demikian prinsip-prinsip agama menyangkut amar ma'ruf nahi munkar. Dalam tradisi keilmuan Islam, prinsip ini dikenal dengan hisbah yang bertujuan menjaga stabilitas internal masyarakat Muslim dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan terhadap nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dilihat dari tujuannya sangatlah mulia, dan bukan sebuah tugas yang ringan, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa syarat dan perangkat kelengkapan yang memadai. Karena itu, seperti pada ayat di atas, yang diharapkan dapat melaksanakannya adalah Vnereka yang mencukupi syarat, tidak semua orang berkewajiban hisbah. Kata minkum mengesankan arti sebagian di antara kalian, tidak semua.

Namun dalam kenyataan, prinsip hisbah ini banyak dilakukan melalui cara-cara kekerasan. Tidak sedikit aksi kekerasan dan teror dilakukan dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar. Ayat-ayat dan Hadits seperti di atas dipahami apa adanya, secara literal, tanpa mempertimbangkan dan menghubungkannya dengan sekian ayat atau hadits lainnya sebagai sebuah kesatuan nilai-nilai agama. Dalam sejarah Islam klasik, cara-cara seperti ini pernah dilakukan oleh Khawarij  yang di kenal begitu bersemangat dalam keagamaan tetapi dengan pemahaman sempit sehingga berlebihan. Fenomena ini telah di prediksi sebelumnya oleh Rasulullah dalam sebuah sabdanya:
Pada akhir zaman nanti akan dating sekelompok orang dari kalangan muda, dengan pemikiran yang sempit. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an, tetapi mereka keluar dari kebenaran seperti panah lepas dari busurnya. Iman mereka hanya sampai di tenggorokan (tidak sampai ke hati sehingga dapat memahaminya dengan baik).

     Karna kecewa dengan perkembangan politik pasca penetapan Imam Ali sebagai Khalifah, kalangan Khawarij mengafirkan lawan-lawan politik mereka, dan menyerukan pembangkangan dengan dalih pernyataan, hukum hanya bersumber dari Allah (la hukma illa lillah). Beberapa aksi kekerasan di mesir di tahun Sembilan puluhan seperti penyerangan terhadap seniman yang dianggap mengumbar aurat, tempat-tempat maksiat, sarana-sarana dan fasilitas milik non muslim juga terjadi atas nama amar makruf nahi munkar. Penyerangan dan pengeboman gereja menjelang atau di malam natal yang sering terjadi di tanah air kita juga dilatarbelakangi itu. Jika demikian, tujuan mulia seperti apa yang ingin di capai jika cara yang di tempuh tidak mulia? Yang terjadi, upaya memberantas kemungkaran dilakukan dengan menimbulkan kemungkaran baru.

     Agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaan konsep hisbah, para ulama-berdasarkan kajian mendalam terhadap teks-teks keagamaan-menyimpulkan beberapa ketentuan bagi pelaku hiabah. Ulama besar ibnu Taimiyah mengatakan, “Amr ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang terberat. Sesuatu yang di wajibkan atau di anjurkan harus mendatangkan kemaslahatan, bukan kemudharatan, karna para Rasul di utus untuk membawa kemaslahatan, dan Allah tidak menyukai kerusakan. Karna itu, amar makruf nahi munkar tidak boleh  melahirkan kemunkaran baru. Sesuatu yang banyak mengandung mudarat tidak akan di perintahkan oleh Allah”. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat utama seseorang yang akan melakukan amar makruf nahi munkar yaitu memiliki ilmu pengetahuan, bersikap lemah lembut, berjiwa sabar dan menempuh cara-cara yang baik. Ilmu pengetahuan mengharuskan seseorang untuk melakukan perhitungan terhadap hasil yang akan di peroleh dari amar makruf nahi munkar. Kalau menurut dugaan upayanya itu tidak akan menghasilkan apa-apa (tidak membawa perubahan), bahkan justru mendatangkan bahaya maka gugur sudah kewajiban tersebut. Bahaya di maksud, menurut Imam al-Ghazali, dapat berupa penyiksaan secara fisik, kerugian secara moril atau materil (harta,kedudukan,harga diri). Al-Ghazali mencontohkan, jika dengan hisbah seseorang akan dipukul/dihukum di depan umum hingga membuatnya malu, atau harta dan rumahnya terampas, maka tidak berlaku baginya hisbah. Segala perintah dalam agama di laksanakan berdasarkan kemampuan (Qs.ath-Thalaq [65]: 7; Qs.at-Taghabun [64]: 16). Tanpa kemampuan kewajiban gugur. Pakar tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah [5]: 105 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu mendapatkan petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

     Berkata,”Seseorang muhtasib (pelaku hisbah) hendaknya berdiam, jika di rasa tindakannya memberantas kemungkaran akan mendatangkan bahaya bagi dirinya, keluarganya, atau umat Islam secara umum”. Di tempat lain ia mengatakan, “Hadits-hadits Rasul tentang amar ma’ruf nahi munkar banyak sekali, tetapi selalu di kaitkan dengan kemampuan. Hisbah ditunjukan kepada seorang mukmin yang di harapkan sadar, atau orang yang tidak tahu tapi ada keinginan untuk belajar tahu. Adapun orang yang keras kepala dengan kemungkarannya dan membela diri dengan kekuatan sehingga jika di hadapi akan timbul bahaya sedangkan kemungkaran itu akan tetap ada, maka tidak ada kewajiban untuk memberantasnya dengan kekuatan”.

     Aksi-aksi kekerasan yang belakangan ini banyak di lancarkan sebagian umat Islam, apa pun motif di balik itu, termasuk menegakan kebenaran dan memberantas kemungkaran, secara nyata telah memojokkan Islam dan umat Islam di mata dunia. Islam dan segala yang berkaitan dengannya dicitrakan sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Banyak kemaslahatan umat Islam yang terganggu akibat pencitraan seperti itu. Maka, sudah saatnya kita menampilkan wajah baru Islam yang moderat, toleran, damai, dan kasih sayang untuk kemanusiaan.