Tampilkan postingan dengan label kebenaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebenaran. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Maret 2013

JIHAD: PERANG MELAWAN KAFIR ATAU KEMAKSIATAN?


Jihad merupakan salah satu istilah yang sering disalahpahami artinya. Sebagian orang memahami arti jihad dengan pemahaman yang sempit. Jika di sebut kata jihad, maka yang terbayang di dalam benak adalah peperangan, senjata, darah, dan kematian. Kewajiban berjihad dimaknai sebagai kewajiban memerangi orang-orang kafir dan munafik hingga mereka masuk Islam. Pemahaman itu tidak benar, karena jihad tidak hanya berarti berperang secara fisik dengan mengangkat senjata, tetapi memunyai arti yang luas. Perang hanyalah salah satu bentuk jihad yang di lakukan dalam kondisi tertentu.

     Secara lughawi, perkataan jihad (Arab: Jihad) berasal dari kata “jahd”, yang mengandung arti kesulitan atau kesukaran. Jihad adalah aktivitas yang mengandung kesulitan dan kesukaran. Ada pula yang berpendapat bahwa perkataan jihad berasal dari kata “juhd” yang berarti kemampuan. Jihad artinya mengerahkan segala kemampuan untuk melakukan perbuatan demi mencapai tujuan tertentu. Dari akar kata yang sama, lahir kata ijtihad dan mujahadah. Ijtihad merupakan istilah dalam ilmu fiqih yang berarti mencurahkan pikiran untuk menetapkan hukum agama tentang sesuatu kasus yang tidak terdapat hukumnya secara jelas di dalam al-Qur’an atau as-Sunnah. Sedangkan mujahadah merupakan istilah dalam ilmu akhlak/tasawuf yang berarti perjuangan melawan hawa nafsu (jihad al-nafs) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Jihad, ijtihad, dan mujahada, walaupun mempunyai konteks yang berbeda di dalam penggunaannya, tetapi semuanya mengandung arti mencurahkan kemampuan dan melakukan perbuatan yang mengandung kesulitan untuk mencapai tujuan tertentu.

     Syekh Raghib Al-Isfahani membedakan tiga macam jihad, yaitu: Pertama, jihad menghadapi musuh yang nyata (mujahadah al-‘aduww azr-zhahir). Kedua, jihad menghadapi setan (mujahadah asy-syaithan). Ketiga, jihad memerangi hawa nafsu (mujahadah an-nafs).

Jihad Menghadapi Musuh yang Nyata
Yang di maksud yang nyata ialah orang-orang yang memusuhi Islam, yaitu orang-orang kafir dan munafik. Perintah jihad kepada orang-orang kafir dan munafik di sebutkan di dalam al-Qur’an:
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.

Dalam surat an-Nisa’ [4]: 95-96, Allah menjelaskan keutamaan orang yang berjihad d jalan Allah:
“Tidaklah sama mukmin yang duduk, selain yang mempunyai uzur, dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan diri mereka atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing, Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk, dengan pahala yang besar; (yaitu) beberapa derajat darinya, dan ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.

     Pada ayat lain, Allah berfirman dengan menggunakan redaksi “qatilu” (artinya: “perangilah”), sebagaimana tersebut di dalam surah At-Taubah [9]: 123:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketehuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.

Perang dengan senjata adalah salah satu bentuk jihad yang di perintahkan dalam agama yang diperintahkan dalam kondisi tertentu. Menengok kepada sejarah, umat Islam menetap di Mekkah lebih dari sepuluh tahun lamanya dalam keadaan tertindas dan mengalami siksaan Karena memeluk agama Islam. Mereka terancam jiwanya dan harta bendanya. Kemudian mereka pindah ke Mekkah dan kejahatan orang musyrik terus berlangsung. Setiap kali umat Islam bermaksud  membalas kejahatan kaum musyrik, Rasullullah saw. Selalu mencegahnya  dan mengajak kepada kesabaran. Ketika kejahatan mereka sudah sampai puncaknya, maka turunlah ayat yang membolehkan berperang. Allah berfirman:
Telah diizinkan (berperang/ mengangkat senjata) bagi orang–orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. (yaitu orang – orang yang telah diusir dari kampong halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka  berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat , menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar dan kepada Allahlah kembali segala urusan.”(QS.Al-Hajj [22]:39-41)

Ayat tersebut di atas mengandung arti izin kepada kaum muslim untuk berperang, dengan menyebutkan alasan bahwa mereka dianiaya, diusir dari negrinya, tanpa alasan yang benar. Dengan turunnya ayat tersebut, umat Islam diizinkan memerangi orang kafir. Peperangan pertama, yaitu perang badar,terjadi di Madinah pada 17 Ramadhan tahun 2 Hijrah.

Dalam konteks tersebut, perlu dikemukakan bahwa tujuan berperang bukanlah untuk memaksa orang untuk masuk Islam. Tujuan berperang adalah untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kehidupan yang baik,sehingga tidak ada penindasan dalam kehidupan sesama manusia. Termasuk di dalamnya mewujudkan kemerdekaan bagi kaum Muslimin sehingga dapat menjalankan kepatuhan kepada Allah. Tidak ada satu ayat pun di dalam Al-qur’an yang menjelaskan bahwa berperang diperintahkan untuk memaksa orang memeluk Islam. “Perang tidak ada hubungannya dengan pemaksaan agama”, demikian M. Quraish Shihab di dalam tafsirnya.

Kata jihad di dalam Al-qur’an tidak selalu berarti perang. Dalam banyak tempat, kata jihad dipergunakan dalam arti perjuangan membela agama pada umumnya, tremasuk pula perjuangan mengamalkan ajaran agama dalam bentuk ketaatan dan takwa kepada Allah. Allah berfirman dalam (QS. Al-Ma’idah [5] : 35)

Sayyid quthub menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan wasilah ialah sarana menuju kepada sesuatu. Hakikat wasilah kepada Allah ialah menempuh kepatuhan kepada Allah dengan ilmu dan ibadah, memelihara ajaran agama yang mulia. Ilmu dan amal adalah sarana menuju takwa kepada Allah. Jadi, yang dimaksud dengan jihad pada ayat tersebut adalah muthlaqul jihad, yang meliputi jihad an-nafs dan jihad al-kuffar, karena dikaitkan dengan takwa kepada Allah, dan tidak ada keterangan apapun yang menyatakan kekhususan (takhshish) mengenai hal itu. Walaupun demikian boleh juga dipahami dalam arti qital, sebagai salah satu arti yang terlkandung di dalamnya, karena ayat ini di letakkan di dalam kelompok ayat yang mengandung perintah jihad dalam arti qital. Demikian Sayid Qhutub di dalam tafsirnya. [1]

Perlu dikemukakan bawa ayat-ayat yang mengandung perintah berjihad telah diturunkan di Mekah sebelum diturunkannya ayat yang memberikan izin kepada kaum Muslim memerangi orang kafir. Setidaknya terdapat 4 ayat al-Qur’an yang diturunkan pada periode Mekkah berisi perintah berjihad atau menggunakan kata “jihad” dalam redaksinya. Ayat – ayat tersebut adalah sebagai berikut:
     1)      Surah Al-Furqon [25] : 52:
Maka janganlah kamu menaati orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka -dengannya-dengan jihad yang besar.”
     2)      Surah an-Nahl [16]: 110:
“Kemudian sesungguhnya Tuhanmu bagi orang-orang yang berhijrah sesudah mereka dianiaya, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Penagmpun lagi Maha Penyayang”. (QS.an-Nahl [16]: 110)

            “Kata “jahadu” (berjihad) yang dimaksud dalam ayat ini bukan dalam arti mengangkat senjata, karena ayat ini turun di Mekkah sebelum adanya izin berperang.” Makna kata “jahadu” adalah mengerahkan semua tenaga dan pikiran untuk mencegah gangguan kaum musyrikin serta maksud buruk mereka. Makna kata berhijrah dalam ayat ini bukannya hijrah ke Madinah,tetapi hijrah ke Habsyah/Ethiopia yang terjadi peda tahun kelima dari  kenabian yakni sekitar delapan tahun sebelum Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah”.[2]
     3)      Surah al-Ankabut [29]:6:
Dan barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya dari semesta alam.”
      4)      Surah al-Ankabut [29]:69:
Dan orang–orang yang berjihad pada kami, pasti kami tunjuki mereka jalan-jalan Kami dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta al-muhsinin (orang-orang yang selalu berbuat kebajikan)”.

            Demikian kata jihad di dalam al-Qur’an tidak selalu berarti berperang dengan senjata. Jihad sering disalahpahami artinya mungkin disebabkan karena ia lazim diucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga diidentikkan dengan perlawan bersenjata. Kesalahpahaman itu disuburkan oleh pemahaman arti kata anfus yang sering kali dibatasi hanya dalam arti “jiwa”, bukan diri manusia dengan segala totalitasnya. Al-Qur’an menggunakan kata nafs dan anfus antara lain dalam arti totalitas manusia, dan dengan demikian kata anfusihim dapat mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu dan tempat, karena manusia tidak dapat memisahkan diri dai tempat dan waktu. Dengan demikian, mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban atau bersedia berkorban dengan apa sajayang berkaitan dengan dirinya sendiri”.[3]


[1] Tafsir al-Mizan, jilid V, h.335.
[2] Tafsir al-Mishbah, jilid VII, h. 364.
[3] Tafsir al_MIshbah, jilid II, h.536-537

Senin, 04 Maret 2013

Yusuf Qardhawi dan Toleransi


Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini di sebut dalam al-Qur’an sebagai ash-Shirath al-mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub ‘alaihim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan. Kalau al-magdhubi ‘alaihim di pahami sebagai kelompok yahudi, seperti dalam sebuah penjelasan Rasul, itu karena mereka telah menyimpang dari jalan lurus dengan membunuh para nabi dan berlebihan dalam mengharamkan segala sesuatu. Demikian jika adh-dhallin di pahami sebagai kelompok nasrani, itu karena mereka berlebihan sampai mempertuhankan nabi. Umat Islam berada di antara sikap berlebihan itu, sehingga dalam al-Qur’an di beri sifat sebagai ummatan wasathan. Allah berfirman:
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (pebuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 143)

     Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; ‘kiri’ dan ‘kanan’, berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat demawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhil) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan ‘tengah’. Dalam sebuah Hadits nabi, ummatan wasathan di tafsirkan dengan ummatan ‘udulan, jamak dari ‘adl (umat yang adil dan proporsional). Karena mereka umat yang adil, di tempat lain dalam al-Qur’an mereka di sebut sebagai khairu ummah, umat terbaik (Qs. Ali ‘Imran [3]: 110).  Keterkaitan ini mengesankan bahwa sikap moderat adalah yang terbaik, sebaliknya sikap berlebihan (al-ghuluww) terutama dalam keberagamaan menjadi tercela. Al-Qur’an mengecam keras sikap ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani yang terlalu berlebihan dalam beragama. Allah berfirman:
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-masih,  ‘Isa putra maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-nya yang di sampaikan-nya kepada maryam, dan (dengan tiupan) roh darinya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Rasulnya dan janganlah kamu mengatakan: “(tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaannya. Cukuplah Allah sebagai pemelihara”, (Qs. Al-Nisa [4]: 171)

     Sikap berlebihan ini pula yang menjadikan tatanan kehidupan umat terdahulu rusak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. Bersabda:
“jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya sikap berlebihan telah membinasakan umat sebelum kalian. 

     Melihat sebab wurud (lahirnya) Hadits ini, ada satu pesan yang ingin di sampaikan oleh Rasulullah, yaitu sikap berlebihan dalam beragama terkadang di mulai dari yang terkecil, kemudian merembet ke hal-hal lain yang membuat semakin besar. Hadits ini di latarbelakangi oleh peristiwa saat nabi melakukan Haji Wada. Ketika di Muzdalifah beliau meminta kepada Ibnu Abbas agar di ambilkan kerikil untuk melontar ke mina. Lalu Ibnu Abbas memberikan beberapa batu kecil yang kemudian di komentari dengan pernyataan di atas. Komentar tersebut mengingatkan agar jangan sampai ada yang berfikiran, melontar dengan menggunakan batu-batu besar lebih utama dari pada batu-batu kecil, mengingat ramyul jamarat (melontar jumrah) merupakan simbol perlawanan terhadap setan. Niatnya memang baik, di dorong oleh semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi itu belum cukup. Kualitas sebuah amal dalam Islam sangat di tentukan oleh niat yang ikhlas dan di dasari ilmu pengetahuan. Peringatan agar tidak berlebihan ini, menurut Ibnu Taimiyah, berlaku dalam hal apa saja; keyakinan maupun ibadah atau perbuatan.

     Kenyataan yang kita hadapi saat ini, semangat keberagamaan yang tinggi telah mendorong sebagian kalangan,terutama kalangan muda, mengambil sikap berlebihan (al-ghuluw) dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama yang mendukung perlawanan terhadap hegemoni Negara tertentu. Sikap ini menurut Yusuf al-Qardhawi, biasanya diikuti dengan sikap: a) fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda; b) pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan tertentu yang biasanya sangat ketat dank eras; c) su’u zhann (negative thinking) terhadap orang lain karna menganggap dirinya yang paling benar; d) menganggap orang lain yang tidak sepaham sebagai telah kafir sehingga halal darahnya.
     Sikap ini bukan saja telah menjauhkan mereka dari sesama muslim, apalagi non-Muslim, tetapi juga menjauhkan mereka dari Islam yang ajarannya sangat modert dan toleran, terutama terhadap mereka yang berbeda, bak keyakinan maupun pandangan keagamaan. Catatan hitam aksi kekerasan yang di lancarkan beberapa kelompok Islam garis keras di Mesir dari tahun 1976 sampai 1996 menunjukkan sasaran aksi tersebut tidak hanya kepada non-muslim seperti para turis,tetapi juga sesame muslim.Motif aksi terhadap non-muslim,seperti tercantum dalam beberapa dokumen jama’at al-jihad seperti sabilul huda wa al-rasyad dan al-kalimat al-mamnu’ah,adalah karena meraka orang kafir yang memasuki sebuah Negara isalam tanpa ada perjanjian sehingga wajib diperangi. Visa yang mereka peroleh sebagai jaminan keamanan memasuki sebuah Negara dianggap tidak sah karena dikeluarkan oleh pemerintah yang kafir karena tidak menerapkan syariat Islam.

     Motif tersebut memang bukan satu satunya. Banyak faktor yang melatarbelakangi aksi-aksi tersebut seperti politik, social, budaya dan lain sebagainya, tetapi faktor-faktor tersebut bukan tempatnya diurai disini. Bukan berarti tidak penting,tetapi yang terucap dan terungkap melalui berbagai pernyataan atau penyidikan adalah motif keagamaan yang diterjemahkan dalam pemahamaan teks-teks keagamaan yang sempit. Maka,menjadi penting untuk menumbuhkan kembali sikap moderasi Islam,terutama dalam hubungannya dengan non-muslim maupun dalam menyikapi berbagai realitas kehidupan. WAllahu A’lam.

Jumat, 01 Maret 2013

Menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar

Amar makruf nahi munkar dengan pengertian menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran adalah salah satu sendi terbesar dalam setiap agama. Para nabi: pun di utus untuk itu, sebab tanpa prinsip tersebut kerusakan di bumi akan merajalela. Di dalam al-Qur'an perintah untuk itu sangat jelas. Allah berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung".

Dalam Haditsnya Rasulullah bersabda:
Barangsiapa di antara 1 tlian mendapatkan kemungkaran maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatan), bila tidak bisa maka dengan lisannya, dan kalau itu pun tidak bisa maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.[1]

Dalam riwayat lain Rasulullah saw. berasabda:
Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma'ruf nahi munkar, atau (kalau tidak) Allah akan mengirimkan azab dari sisi-Nya dalam waktu dekat, kemudian kalian berdoa dan doa kalian tidak akan dikabulkan.[2]

Demikian prinsip-prinsip agama menyangkut amar ma'ruf nahi munkar. Dalam tradisi keilmuan Islam, prinsip ini dikenal dengan hisbah yang bertujuan menjaga stabilitas internal masyarakat Muslim dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan terhadap nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dilihat dari tujuannya sangatlah mulia, dan bukan sebuah tugas yang ringan, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa syarat dan perangkat kelengkapan yang memadai. Karena itu, seperti pada ayat di atas, yang diharapkan dapat melaksanakannya adalah Vnereka yang mencukupi syarat, tidak semua orang berkewajiban hisbah. Kata minkum mengesankan arti sebagian di antara kalian, tidak semua.

Namun dalam kenyataan, prinsip hisbah ini banyak dilakukan melalui cara-cara kekerasan. Tidak sedikit aksi kekerasan dan teror dilakukan dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar. Ayat-ayat dan Hadits seperti di atas dipahami apa adanya, secara literal, tanpa mempertimbangkan dan menghubungkannya dengan sekian ayat atau hadits lainnya sebagai sebuah kesatuan nilai-nilai agama. Dalam sejarah Islam klasik, cara-cara seperti ini pernah dilakukan oleh Khawarij  yang di kenal begitu bersemangat dalam keagamaan tetapi dengan pemahaman sempit sehingga berlebihan. Fenomena ini telah di prediksi sebelumnya oleh Rasulullah dalam sebuah sabdanya:
Pada akhir zaman nanti akan dating sekelompok orang dari kalangan muda, dengan pemikiran yang sempit. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an, tetapi mereka keluar dari kebenaran seperti panah lepas dari busurnya. Iman mereka hanya sampai di tenggorokan (tidak sampai ke hati sehingga dapat memahaminya dengan baik).

     Karna kecewa dengan perkembangan politik pasca penetapan Imam Ali sebagai Khalifah, kalangan Khawarij mengafirkan lawan-lawan politik mereka, dan menyerukan pembangkangan dengan dalih pernyataan, hukum hanya bersumber dari Allah (la hukma illa lillah). Beberapa aksi kekerasan di mesir di tahun Sembilan puluhan seperti penyerangan terhadap seniman yang dianggap mengumbar aurat, tempat-tempat maksiat, sarana-sarana dan fasilitas milik non muslim juga terjadi atas nama amar makruf nahi munkar. Penyerangan dan pengeboman gereja menjelang atau di malam natal yang sering terjadi di tanah air kita juga dilatarbelakangi itu. Jika demikian, tujuan mulia seperti apa yang ingin di capai jika cara yang di tempuh tidak mulia? Yang terjadi, upaya memberantas kemungkaran dilakukan dengan menimbulkan kemungkaran baru.

     Agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaan konsep hisbah, para ulama-berdasarkan kajian mendalam terhadap teks-teks keagamaan-menyimpulkan beberapa ketentuan bagi pelaku hiabah. Ulama besar ibnu Taimiyah mengatakan, “Amr ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang terberat. Sesuatu yang di wajibkan atau di anjurkan harus mendatangkan kemaslahatan, bukan kemudharatan, karna para Rasul di utus untuk membawa kemaslahatan, dan Allah tidak menyukai kerusakan. Karna itu, amar makruf nahi munkar tidak boleh  melahirkan kemunkaran baru. Sesuatu yang banyak mengandung mudarat tidak akan di perintahkan oleh Allah”. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat utama seseorang yang akan melakukan amar makruf nahi munkar yaitu memiliki ilmu pengetahuan, bersikap lemah lembut, berjiwa sabar dan menempuh cara-cara yang baik. Ilmu pengetahuan mengharuskan seseorang untuk melakukan perhitungan terhadap hasil yang akan di peroleh dari amar makruf nahi munkar. Kalau menurut dugaan upayanya itu tidak akan menghasilkan apa-apa (tidak membawa perubahan), bahkan justru mendatangkan bahaya maka gugur sudah kewajiban tersebut. Bahaya di maksud, menurut Imam al-Ghazali, dapat berupa penyiksaan secara fisik, kerugian secara moril atau materil (harta,kedudukan,harga diri). Al-Ghazali mencontohkan, jika dengan hisbah seseorang akan dipukul/dihukum di depan umum hingga membuatnya malu, atau harta dan rumahnya terampas, maka tidak berlaku baginya hisbah. Segala perintah dalam agama di laksanakan berdasarkan kemampuan (Qs.ath-Thalaq [65]: 7; Qs.at-Taghabun [64]: 16). Tanpa kemampuan kewajiban gugur. Pakar tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah [5]: 105 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu mendapatkan petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

     Berkata,”Seseorang muhtasib (pelaku hisbah) hendaknya berdiam, jika di rasa tindakannya memberantas kemungkaran akan mendatangkan bahaya bagi dirinya, keluarganya, atau umat Islam secara umum”. Di tempat lain ia mengatakan, “Hadits-hadits Rasul tentang amar ma’ruf nahi munkar banyak sekali, tetapi selalu di kaitkan dengan kemampuan. Hisbah ditunjukan kepada seorang mukmin yang di harapkan sadar, atau orang yang tidak tahu tapi ada keinginan untuk belajar tahu. Adapun orang yang keras kepala dengan kemungkarannya dan membela diri dengan kekuatan sehingga jika di hadapi akan timbul bahaya sedangkan kemungkaran itu akan tetap ada, maka tidak ada kewajiban untuk memberantasnya dengan kekuatan”.

     Aksi-aksi kekerasan yang belakangan ini banyak di lancarkan sebagian umat Islam, apa pun motif di balik itu, termasuk menegakan kebenaran dan memberantas kemungkaran, secara nyata telah memojokkan Islam dan umat Islam di mata dunia. Islam dan segala yang berkaitan dengannya dicitrakan sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Banyak kemaslahatan umat Islam yang terganggu akibat pencitraan seperti itu. Maka, sudah saatnya kita menampilkan wajah baru Islam yang moderat, toleran, damai, dan kasih sayang untuk kemanusiaan.