Tampilkan postingan dengan label toleransi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label toleransi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 April 2013

RELASI MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS



Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka.  Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 120)
                        
                Para mufasir sepakat bahwa keseluruhan ayat dalam surah al-Baqarah turun ketika Nabi Muhammad saw. telah berhijrah ke Madinah (madaniyyah).  Ayat di atas terletak di dalam kelompok ayat yang berbicara tentang komunitas Bani Israil, yang di dalam QS. al-Baqarah dimulai dari ayat 40-146.  Sementara mufasir, di antaranya Imam As-Suyuthi, mengutip dari sahabat Ibn ‘Abbas, menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan masalah pemindahan arah kibalat dalam shalat yang mengarah ke Ka’bah.  Kaum Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran menanggapi dengan sinis, karena mereka sangat mengharap agar kaum Muslim mengarahkan shalat kea rah kiblat mereka.1[1]

                Ayat tersebut seakan ingin menguatkan Rasulullah saw. Dalam menghadapi sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani.  Hal ini menjadi lebih jelas apabila diperhatikan ayat sebelumnya khususnya ayat 118 dan 119.  Dalam ayat 118 dijelaskan tentang keengganan Bani Israil khususnya dan orang kafir Mekkah umumnya (karena memang mereka sering bersikap setali tiga uang dalam menghadapi dakwah Nabi saw), untuk menerima dakwah Nabi saw. Dengan dalih yang bernada protes “mengapa Allah tidak berbicara kepada kami atau mendatangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami”.

                Sedangkan dalam ayat 119 Allah menegaskan bahwa salah satu tugas utama Nabi Muhammad saw. adalah untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan serta tidak eksklusif hanya untuk kelompok tertentu tapi kepada semua manusia.  Ternyata tidak setiap orang yang menerima kabar gembira atau peringatan tersebut menyambut dengan baik, namun ada juga yang menolak.  Ayat 120 inilah yang menggambarkan kelompok mana saja yang menolak sekaligus alasan penolakannya.

                Orang-orang Yahudi dan Nasrani baru akan rela menerima seruan Nabi Muhammad saw. apabila yang disampaikan adalah ajaran atau tata cara hidup mereka atau Rasulullah saw. terlebih dahulu masuk dan mengikuti ajaran atau millah mereka.  Susunan ayat tersebut tampaknya memberi kesan Nabi saw bersedih, karena keengganan mereka untuk meninggalkan agama sebelumnya untuk masuk Islam.2[2]  Sementara di sisi lain, Nabi Muhammad saw. tidak mungkin akan mengikuti keinginan mereka.  Kemudian, ayat tersebut memberi tuntunan bagaimana menyikapi hal tersebut dengan menyatakan “Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya.”
               
                Beberapa ayat lain menginformasikan tentang kesediaan Nabi saw. atas respons sementara orang yang tidak mau beriman, di antaranya QS. Al-Kahfi [18]: 6:


Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an).”

                Juga dalam QS. Fâthir [35]: 8:

“…Maka, janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka…”.

                Dalam beberapa ayat lainnya Nabi saw diingatkan oleh Allah swt. bahwa:

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Baqarah [2]: 272)

                Ada sementara kelompok yang memahami ayat di atas secara literal dengan berkesimpulan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selamanya tidak akan pernah rela terhadap kaum Muslim sampai kaum Muslim tunduk kepada mereka.  Bahkan, lebih jauh lagi ada yang berkeyakinan berdasarkan ayat tersebut dengan berpendapat bahwa dasar hubungan antara Muslim dan non-Muslim khususnya Yahudi dan Nasrani adalah jihad/perang bukan perdamaian, sehingga dengan pandangan seperti ini dikembangkanlah teori konspirasi; bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selalu melakukan konspirasi untuk memusuhi umat Islam.

                Pendapat tersebut jelas kurang tepat, berdasarkan paling tidak tiga alasan.  Pertama, ditinjau dari redaksi dan hubungan ayat; Kedua, para mufasir baik klasik maupun kontemporer tidak ada yang berkesimpulan demikian; Ketiga, karena tidak sejalan dengan pandangan al-Qur’an secara umum menyangkut sifat dan sikap orang Yahudi dan Nasrani.



1 As-Suyuti, Lubâb an-Nuzûl, dalam Hamisyah Tafsir Jalâlain, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 22.
2 Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, Mesir: Mushtafa al-Bab al-Halabi, 1974, jilid I, h. 273; juga dalam M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh, Jakarta: Lentera Hati, 2000, vol. I, h. 294

Senin, 04 Maret 2013

Yusuf Qardhawi dan Toleransi


Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini di sebut dalam al-Qur’an sebagai ash-Shirath al-mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub ‘alaihim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan. Kalau al-magdhubi ‘alaihim di pahami sebagai kelompok yahudi, seperti dalam sebuah penjelasan Rasul, itu karena mereka telah menyimpang dari jalan lurus dengan membunuh para nabi dan berlebihan dalam mengharamkan segala sesuatu. Demikian jika adh-dhallin di pahami sebagai kelompok nasrani, itu karena mereka berlebihan sampai mempertuhankan nabi. Umat Islam berada di antara sikap berlebihan itu, sehingga dalam al-Qur’an di beri sifat sebagai ummatan wasathan. Allah berfirman:
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (pebuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 143)

     Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; ‘kiri’ dan ‘kanan’, berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat demawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhil) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan ‘tengah’. Dalam sebuah Hadits nabi, ummatan wasathan di tafsirkan dengan ummatan ‘udulan, jamak dari ‘adl (umat yang adil dan proporsional). Karena mereka umat yang adil, di tempat lain dalam al-Qur’an mereka di sebut sebagai khairu ummah, umat terbaik (Qs. Ali ‘Imran [3]: 110).  Keterkaitan ini mengesankan bahwa sikap moderat adalah yang terbaik, sebaliknya sikap berlebihan (al-ghuluww) terutama dalam keberagamaan menjadi tercela. Al-Qur’an mengecam keras sikap ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani yang terlalu berlebihan dalam beragama. Allah berfirman:
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-masih,  ‘Isa putra maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-nya yang di sampaikan-nya kepada maryam, dan (dengan tiupan) roh darinya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Rasulnya dan janganlah kamu mengatakan: “(tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaannya. Cukuplah Allah sebagai pemelihara”, (Qs. Al-Nisa [4]: 171)

     Sikap berlebihan ini pula yang menjadikan tatanan kehidupan umat terdahulu rusak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. Bersabda:
“jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya sikap berlebihan telah membinasakan umat sebelum kalian. 

     Melihat sebab wurud (lahirnya) Hadits ini, ada satu pesan yang ingin di sampaikan oleh Rasulullah, yaitu sikap berlebihan dalam beragama terkadang di mulai dari yang terkecil, kemudian merembet ke hal-hal lain yang membuat semakin besar. Hadits ini di latarbelakangi oleh peristiwa saat nabi melakukan Haji Wada. Ketika di Muzdalifah beliau meminta kepada Ibnu Abbas agar di ambilkan kerikil untuk melontar ke mina. Lalu Ibnu Abbas memberikan beberapa batu kecil yang kemudian di komentari dengan pernyataan di atas. Komentar tersebut mengingatkan agar jangan sampai ada yang berfikiran, melontar dengan menggunakan batu-batu besar lebih utama dari pada batu-batu kecil, mengingat ramyul jamarat (melontar jumrah) merupakan simbol perlawanan terhadap setan. Niatnya memang baik, di dorong oleh semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi itu belum cukup. Kualitas sebuah amal dalam Islam sangat di tentukan oleh niat yang ikhlas dan di dasari ilmu pengetahuan. Peringatan agar tidak berlebihan ini, menurut Ibnu Taimiyah, berlaku dalam hal apa saja; keyakinan maupun ibadah atau perbuatan.

     Kenyataan yang kita hadapi saat ini, semangat keberagamaan yang tinggi telah mendorong sebagian kalangan,terutama kalangan muda, mengambil sikap berlebihan (al-ghuluw) dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama yang mendukung perlawanan terhadap hegemoni Negara tertentu. Sikap ini menurut Yusuf al-Qardhawi, biasanya diikuti dengan sikap: a) fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda; b) pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan tertentu yang biasanya sangat ketat dank eras; c) su’u zhann (negative thinking) terhadap orang lain karna menganggap dirinya yang paling benar; d) menganggap orang lain yang tidak sepaham sebagai telah kafir sehingga halal darahnya.
     Sikap ini bukan saja telah menjauhkan mereka dari sesama muslim, apalagi non-Muslim, tetapi juga menjauhkan mereka dari Islam yang ajarannya sangat modert dan toleran, terutama terhadap mereka yang berbeda, bak keyakinan maupun pandangan keagamaan. Catatan hitam aksi kekerasan yang di lancarkan beberapa kelompok Islam garis keras di Mesir dari tahun 1976 sampai 1996 menunjukkan sasaran aksi tersebut tidak hanya kepada non-muslim seperti para turis,tetapi juga sesame muslim.Motif aksi terhadap non-muslim,seperti tercantum dalam beberapa dokumen jama’at al-jihad seperti sabilul huda wa al-rasyad dan al-kalimat al-mamnu’ah,adalah karena meraka orang kafir yang memasuki sebuah Negara isalam tanpa ada perjanjian sehingga wajib diperangi. Visa yang mereka peroleh sebagai jaminan keamanan memasuki sebuah Negara dianggap tidak sah karena dikeluarkan oleh pemerintah yang kafir karena tidak menerapkan syariat Islam.

     Motif tersebut memang bukan satu satunya. Banyak faktor yang melatarbelakangi aksi-aksi tersebut seperti politik, social, budaya dan lain sebagainya, tetapi faktor-faktor tersebut bukan tempatnya diurai disini. Bukan berarti tidak penting,tetapi yang terucap dan terungkap melalui berbagai pernyataan atau penyidikan adalah motif keagamaan yang diterjemahkan dalam pemahamaan teks-teks keagamaan yang sempit. Maka,menjadi penting untuk menumbuhkan kembali sikap moderasi Islam,terutama dalam hubungannya dengan non-muslim maupun dalam menyikapi berbagai realitas kehidupan. WAllahu A’lam.

Kamis, 21 Februari 2013

Memusuhi Orang Kafir Secara Permanen: Perlukah?

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan, berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapai) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 217)
    Sementara ulama menjelaskan bahwa sebab turun ayat tersebut adalah adanya peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy terhadap kabilah kaum Musyrik Mekkah. Secara lebih rinci, jalannya peristiwa tersebut adalah, seperti yang dilaporkan oleh as-Suyuthi yang mengutip dari Ibn Jarir, juga Ibn Abi Hatim serta Imam ath-Thabrani, sebelum meletusnya peristiwa perang Badr, Rasulullah saw. mengutus satu regu pasukan Islam yang berjumlah kurang lebih 12 orang di bawah komando Abdulah bin Jahsy dengan tugas khusus yang bersifat rahasia yaitu memata-matai pergerakan kafilah kaum Musyrik Mekkah di luar kota Madim h, serta mencari informasi tentang recana-rencana mereka. PasuKan tersebut akhirnya menemukan kafilah musyrik Mekkah di suatu tempat yang bernama Nakhlah yang dipimpin oleh Umar bin Abdullah al-Hadrami dan saudaranya yang bernama Naufal bin Abdullah, rombongan tersebut membawa dagangan dari Thaif. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab (salah satu bulan yang diharamkan berperang), pada riwayat lain mereka kurang tahu pasti atau menduga apakah masih di pengujung akkhir bulan Jumadil Akhir atau sudah masuk bulan Rajab. Mereka akhirnya memutuskan untuk membunuh dan merampas kafilah tersebut. Akhirnya ada yang terbunuh dan ada juga yang tertawan. Tawanan akhirnya dibawa menghadap Rasulullah saw., namun mereka disambut dengan kecaman karena membunuh di bulan haram, Nabi saw. pun menegur mereka dengan keras “saya tidak memerintahkan kalian berperang di bulan haram”. Di sisi lain, kaum musyrik Mekkah juga mengecam sambil bertanya-tanya Apakah Umat Islam atau Muhammad (saw) telah membolehkan peperangan di bulan haram? Maka, turunlah ayat tersebut.[1]
Jawaban dalam ayat tersebut adalah bahwa hal itu adalah suatu dosa besar, karena di antara alasannya adalah mereka melakukan sesuatu yang Nabi saw. tidak memerintahkannya terlebih yang mereka melakukannya pada salah satu bulan yang diharamkan untuk berperang. Kendati demikian, seperti yang langsung dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Mekkah, yaitu menghalangi manusia dari jalan Allah (di antaranya adalah seperti dalam asbab an-nuzul  ayat ini, menghalangi umat Islam untuk melaksanakan haji dan umrah), kafir terhadap Allah dan juga durhaka kepada-Nya, antara lain dengan menghalangi masuk Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari daerah sekitarnya adalah lebih besar dosanya di sisi Allah daripada apa yang dilakukan oleh pasukan umat Islam tersebut yaitu memerangi mereka di bulan Haram, apalagi itu pun karena ketidakpastian apakah sudah masuk bulan haram atau belum. Maka, lanjutan ayat tersebut memberi argumen bahwa fitnah itu lebih besar dosanya daripada membunuh.
Fitnah yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti yang dipahami dalam bahasa Indonesia yaitu membawa berita bohong atau menjelekkan orang lain. Fitnah yang dimaksud dalam ayat ini adalah penyiksaan yang dilakukan oleh kaum musyrik Mekkah. Itulah yang ditunjuk sebagai lebih kejam dan lebih besar dosanya daripada pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy. Apalagi kalau peristiwa itu terjadi pada malam pertama bulan Rajab. Penyiksaan kaum musyrik lebih kejam dan besar dosanya daripada pembunuhan pasukan tersebut karena ketika itu mereka belum mengetahui bahwa bulan Rajab telah tiba.[2]
    Lanjutan ayat tersebut menginformasikan bahwa kaum akan terus-menerus berusaha memerangi kaum Muslim sampai mereka dapat mengembalikan kaum Muslim ke dalam agama sebelumnya atau murtad seandainya mereka mampu. Ayat tersebut kemudian ditutup dengan penegasan bahwa barang siapa pada akhirnya benar mengikuti kemauan orang-orang musyrik Mekkah tersebut yaitu murtad dan mereka pun mati dalam keadaan kafir, maka mereka diancam dengan balasan neraka dan terlebih dahulu dikatakan amalan-amalan mereka tidak berguna alias sia-sia.
Dalam ayat di atas terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa “mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran).” Frasa tersebut kemudian dipahami oleh sementara orang dengan berpendapat bahwa orang-orang non-Muslim selalu akan memusuhi umat Islam dan tidak akan berhenti memerangi sampai umat Islam murtad atau kembali kepada kekafiran. Sehingga, yang harus dilakukan umat Islam adalah melakukan peperangan terhadap mereka tanpa batas. Benarkah pandangan tersebut?
Sungguh sebuah pandangan yang amat keliru dan sama sekali tidak memerhatikan keseluruhan spirit dan ruh al-Qur'an khususnya dan Islam pada umumnya. Satu kaidah yang disepakati oleh para mufasir adalah bahwa antara satu ayat dan ayat yang lain dalam al-Qur'an adalah saling menafsirkan, sehingga ketika memahami satu ayat tidak boleh meninggalkan atau melupakan ayat lainnya. Kalau itu dilakukan, maka kesimpulan yang didapat tentu akan keliru.
Ayat di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa ungkapan tersebut adalah sebagai bentuk penjelasan terhadap salah satu sifat yang dimiliki oleh orang-orang musyrik Mekkah di mana mereka. terus akan memerangi umat Islam sampai umat Islam saat itu mau meninggalkan agamanya. Jadi, kalau kemudian digeneralisir bahwa setiap orang non-Muslim akan memerangi umat Islam sangat tidak berdasar.
Akan jelas kalau disampaikan contoh apa yang telah mereka lakukan terhadap kaum Muslim. Di antara contoh fitnah yang terkenal adalah; apa yang telah dialami oleh Bilal bin Rabah. Karena bersikeras untuk mempertahankan imannya, maka dia mengalami penyiksaan yang di luar batas kemanusiaan oleh Umayyah bin Khalaf majikannya. Penyiksaan tersebut akan mereka hentikan kalau Bilal mau menyebut tuhan mereka Latta dan 'Uzza barang sekali saja. Tetapi, karena Bilal tetap bergeming, siksaan itu terus diterimanya. Sampai akhirnya Abu Bakar membebaskannya.
Demikian halnya dengan yang dialami oleh 'Ammar bin Yasir beserta ayah bundanya, yaitu Yasir bin Amir dan Sumayyah. Mereka disiksa oleh orang-orang musyrik Mekkah dengan siksaan yang tidak kalah kejamnya dengan yang dialami oleh Bilal. Sampai-sampai dalam suatu kesempatan karena demi melihat kejamnya siksaan yang telah dialami oleh ayah bundanya yang akhirnya dibunuh demi mempertahankan iman, akhirnya 'Ammar dengan berpura-pura murtad atau kembali kepada agama sebelumnya. Sesampainya di hadapan Rasul saw. dia sangat menyesal dan inilah yang. oleh sementara mufasir menjadi sebab turunnya ayat 106 surah an-Nahl [16].[3]
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa ada sementara orang-orang kafir yang akan terus-menerus memusuhi bahkan memerangi umat Islam sampai kaum Muslim mau meninggalkan agamanya. Namun, dari contoh di atas juga dapat dipahami bahwa itu tidak dilakukan oleh semua non-Muslim/kafir, tetapi hanya orang atau kelompok tertentu. Maka, menggeneralisir bahwa mereka semua akan terus memusuhi umat Islam sehingga kaum Muslim pun juga harus bersikap sama tentu sebuah kesimpulan yang keliru.
Akan lebih jelas lagi kalau diperhatikan korelasi ayat-ayat dalam surah al-Baqarah ini ketika berbicara tentang seputar perang. Tampak sekali spirit al-Qur'an yang mengajarkan kepada para pemeluknya untuk bersik” p kesatria dengan menegakkan keadilan dan menghargai kemanusiaan.
Pada ayat sebelumnya yaitu di ayat 190 al-Baqarah dijelaskan tentang perintah berperang yang harus dilakukan semata-mata membela agama Allah, bukan untuk kepentingan pimpinan atau kelompoknya. Dan, itu harus dilakukan tidak boleh melampaui batas;

“Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesunggulmya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. al-Baqarah [2]: 190)
    Frasa terakhir dalam ayat tersebut yang menyatakan bahwa jangan melampaui batas mengisyaratkan bahwa yang boleh diperangi hanyalah orang-orang yang menurut kebiasaan terlibat dalam peperangan, sehingga terhadap orang-orang yang memang tidak terlibat dalam peperangan seperti para wanita, anak-anak, orang-orang yang sudah sepuh juga raky. t sipil lainnya maka mereka tidak boleh diperangi. Dari sinilah di; jat dipahami infrastruktur dan peralatan yang tidak digunakan dalam peperangan tidak boleh dihancurkan; seperti rumah sakit, perumahan penduduk sipil, pepohonan, dan lain-lain.
Ketika berbicara tentang keistimewaan ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan moralitas termasuk dalam suasana perang, Syekh Yusuf al-Qaradhawi menyatakan, “Jika sebagian negara pada zaman sekarang mengharuskan berlakunya nilai-nilai moral tatkala damai, lalu menghapus pemberlakuan nilai-nilai moral itu pada suasana perang, maka al-Qur'an tidak pernah lekang dari nilai-nilai moral pada saat damai ataupun perang. Al-Qur'an melarang bertindak kelewat batas dalam peperangan, sebagaimana yang ditegaskan pada ayat di atas, seperti larangan serupa yang juga berlaku pada saat damai.[4]
Dan, apabila mereka akhirnya menghentikan peperangan tersebut, maka kaum Muslim juga harus menghentikannya. Isyarat ini terdapat dalam ayat selanjutnya (192):

“Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Baqarah [2]: 192)
Dari sini saja sudah jelas bahwa orang musyrik yang tidak lagi memerangi umat Islam maka tidak boleh diperangi dan bahkan kalau mereka kemudian berhenti dari kemusyrikannya dan akhirnya menerima Islam, maka sesungguhnya Allah swt. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Atau, meskipun seandainya mereka tidak masuk Islam tetapi mereka menghentikan permusushan, maka sekali lagi tidak boleh diperangi. Kalau yang pernah memerangi kaum Muslim saja dan akhirnya berhenti, maka al-Qur'an memerintahkan supaya kaum Muslim tidak memusuhinya, apalagi orang-orang non-Muslim yang sejak awal memang tidak memusuhi umat Islam, maka tentu kaum Muslim pun berkewajiban untuk berbuat baik kepada mereka.
Salah satu Hadits yang mencontohkan bagaimana Rasulullah saw. meyakinkan bahwa orang-orang musyrik yang tadinya memusuhi Islam akan diampuni apabila mereka berhenti memusuhi dan apalagi kalau masuk Islam diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari sahabat Amr bin al-'Ash yang berkata, “Setelah Allah meresapkan agama Islam betul-betul ke dalam hatiku, aku pun datang kepada Nabi saw. dan berkata: “ulurkan tanganmu aku akan membaiat kamu”. Maka, Rasulullah saw. mengulurkan tangan kanannya, lalu aku menarik tanganku. Nabi bertanya, “Mengapa engkau menarik tanganmu?” Aku rnenjawab, “Aku akan menentukan suatu syarat”. Rasulullah saw. bertanya, “Engkau akan mensyaratkan apa?” Aku rnenjawab, “Aku ingin agar Allah mengampuni aku”. Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah engkau mengetahui wahai Amr, bahwa Islam itu menghapuskan apa yang terjadi sebelumnya, dan bahwasanya hijrah itu telah menghapuskan apa yang sebelumnya dan haji itu menghilangkan dosa-dosa yang sebelumnya.”
          Kesimpulan yang menyatakan bahwa ayat 217 surah al-Baqarah tersebut menganjurkan supaya umat Islam mengambil sikap bermusuhan kepada setiap non-Muslim/kafir selamanya, semakin tidak tepat kalau dilihat dalam korelasi ayat lainnya sebelum ayat 217, yaitu ayat 193 yang menyatakan tujuan peperangan dalam Islam;

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah, jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak -ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalirri, (QS. al-Baqarah [2]: 193)
          Kalau yang dimaksud “mereka” dalam ayat tersebut adalah orang-orang musyrik Mekkah yang telah melakukan permusuhan, maka fitnah dalam ayat tersebut dapat diartikan kemusyrikan yang mereka lakukan. Sehingga, kota Mekkah atau Masjidil Haram akan bersih dari segala bentuk kemusyrikan. Dalam konteks ini, Quraish Shihab memberi penjelasan bahwa setiap negara memunyai wewenang yang dibenarkan hukum internasional untuk menetapkan siapa yang berhak masuk dalam wilayahnya. Ada syarat-syarat yang ditetapkan oleh setiap negara, longgar atau ketat, untuk maksud kunjungan atau menetap di suatu wilayah. Dari sini setiap negara menetapkan perlunya visa (izin masuk) ke wilayahnya. Tidak satu negara-betapapun demokratisnya—mengizinkan seseorang memasuki wilayahnya jika yang bersangkutan dinilainya akan mengganggu keamanan atau mengeruhkan kesucian wilayahnya.[5]
    Kalau yang dimaksud “mereka” dalam ayat di atas adalah siapa saja yang memusuhi umat Islam, maka kata fitnah dalam ayat tersebut adalah segala bentuk kezaliman atau ketidakadilan, baik penganiayaan fisik maupun menyangkut kebebasan beragama. Sekali lagi, lanjutan ayat ini menjelaskan, apabila mereka menghentikan permusuhan, maka seperti redaksi dalam ayat tersebut, kaum Muslim juga harus menghentikan permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim. Ayat yang senada dengan a1-Baqarah) [2]: 193 tersebut terdapat pada QS. al-Anfal [8]: 39
Ketika menjelaskan tentang pengertian supaya tidak ada fitnah dan supaya agama (seluruh kepatuhan) itu hanya untuk Allah, Sayyid Quthb menyatakan bahwa yang dimaksud oleh penggalan ayat ini adalah keharusan menghilangkan semua batas material yang tercermin dalam kekuasaan tirani dan penindasan terhadap manusia orang per orang. Bila itu terlaksana, maka tidak akan ada lagi kekuasaan yang nyata di dunia selain kekuasaan Allah, dan manusia pun ketika itu tidak tunduk pada suatu kekuasaan yang memaksa kecuali kekuasaan Allah swt. Kalau batas-batas itu telah dapat disingkirkan, maka ketika itu setiap orang akan memilih akidah atau kepercayaan mereka dalam suasana merdeka dan bebas dari segala tekanan....[6]
Mengomentari kesimpulan yang menyatakan bahwa peperangan, yang diperintahkan oleh al-Qur'an seperti yang terekam dalam QS. al-Baqarah [2]: 217 terseout adalah perang terhadap siapa saja yang non-Muslim tanpa batas, Syekh Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa sulit untuk dipahami, bagaimana orang-orang tersebut berkesimpulan demikian. Pandangan semacam ini bisa jadi muncul karena kesalahpahaman atau jika kita berprasangka buruk, pandangan tersebut merup .kan sebentuk serangan dan penistaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang abadi. Pandangan semacam ini berarti merendahkan Islam sebagai pihak yang harus disalahkan dalam peperangan.[7]
Lebih tegas, Syekh al-Ghazali kemudian menegaskan bahwa peperangan yang dibolehkan menurut al-Qur'an adalah yang dilakukan karena Allah swt, bukan demi kepentingan atau kemenangan seseorang juga bukan demi keuntungan material. Perang yang dibenarkan tidak seperti yang dilakukan sekelompok chauvinis yang ingin membuktikan keunggulan ras mereka....[8] Pada dasarnya, perang di jalan Allah adalah yang dilakukan demi menjamin kebebasan ibadah kepada-Nya dan memberantas penyembahan setan. Itu pun kalau mereka memang memerangi kaum Muslim. Kalau mereka tidak memusuhi umat Islam, maka al-Qur'an hanya memerintahkan agar kaum Muslim dapat menjamin dan memperjuangkan kelestarian rumah ibadah dan kebebasan ibadah kepada Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam QS. al-Baqarah [2]: 114.


[1] JaLaluddin al-Suyutht, Lubab al-Nuqut, h. 39.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbatl, vol. I, h. 433.
[3] Ibn Jarir ath-Thabari, Jami' at-Bayan, jilid VII, h. 650.
[4] Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh Daulah fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Syuruq,1997), h. 64
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. I, h. 395.
[6] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur'an, jilid IV, h.
[7] Muhammad al-Ghazali, Nabwa Tafsir Maudhu'i li Suwar al-Qur'an al-Karim, (Cairo: Dar al-Syuruq, 2003), h. 27.
[8] Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafstr Maudhu'i li Suwar al-Qur'an al-Karim, h. 28.