Tampilkan postingan dengan label permusuhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label permusuhan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Februari 2013

Memusuhi Orang Kafir Secara Permanen: Perlukah?

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan, berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapai) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 217)
    Sementara ulama menjelaskan bahwa sebab turun ayat tersebut adalah adanya peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy terhadap kabilah kaum Musyrik Mekkah. Secara lebih rinci, jalannya peristiwa tersebut adalah, seperti yang dilaporkan oleh as-Suyuthi yang mengutip dari Ibn Jarir, juga Ibn Abi Hatim serta Imam ath-Thabrani, sebelum meletusnya peristiwa perang Badr, Rasulullah saw. mengutus satu regu pasukan Islam yang berjumlah kurang lebih 12 orang di bawah komando Abdulah bin Jahsy dengan tugas khusus yang bersifat rahasia yaitu memata-matai pergerakan kafilah kaum Musyrik Mekkah di luar kota Madim h, serta mencari informasi tentang recana-rencana mereka. PasuKan tersebut akhirnya menemukan kafilah musyrik Mekkah di suatu tempat yang bernama Nakhlah yang dipimpin oleh Umar bin Abdullah al-Hadrami dan saudaranya yang bernama Naufal bin Abdullah, rombongan tersebut membawa dagangan dari Thaif. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab (salah satu bulan yang diharamkan berperang), pada riwayat lain mereka kurang tahu pasti atau menduga apakah masih di pengujung akkhir bulan Jumadil Akhir atau sudah masuk bulan Rajab. Mereka akhirnya memutuskan untuk membunuh dan merampas kafilah tersebut. Akhirnya ada yang terbunuh dan ada juga yang tertawan. Tawanan akhirnya dibawa menghadap Rasulullah saw., namun mereka disambut dengan kecaman karena membunuh di bulan haram, Nabi saw. pun menegur mereka dengan keras “saya tidak memerintahkan kalian berperang di bulan haram”. Di sisi lain, kaum musyrik Mekkah juga mengecam sambil bertanya-tanya Apakah Umat Islam atau Muhammad (saw) telah membolehkan peperangan di bulan haram? Maka, turunlah ayat tersebut.[1]
Jawaban dalam ayat tersebut adalah bahwa hal itu adalah suatu dosa besar, karena di antara alasannya adalah mereka melakukan sesuatu yang Nabi saw. tidak memerintahkannya terlebih yang mereka melakukannya pada salah satu bulan yang diharamkan untuk berperang. Kendati demikian, seperti yang langsung dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Mekkah, yaitu menghalangi manusia dari jalan Allah (di antaranya adalah seperti dalam asbab an-nuzul  ayat ini, menghalangi umat Islam untuk melaksanakan haji dan umrah), kafir terhadap Allah dan juga durhaka kepada-Nya, antara lain dengan menghalangi masuk Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari daerah sekitarnya adalah lebih besar dosanya di sisi Allah daripada apa yang dilakukan oleh pasukan umat Islam tersebut yaitu memerangi mereka di bulan Haram, apalagi itu pun karena ketidakpastian apakah sudah masuk bulan haram atau belum. Maka, lanjutan ayat tersebut memberi argumen bahwa fitnah itu lebih besar dosanya daripada membunuh.
Fitnah yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti yang dipahami dalam bahasa Indonesia yaitu membawa berita bohong atau menjelekkan orang lain. Fitnah yang dimaksud dalam ayat ini adalah penyiksaan yang dilakukan oleh kaum musyrik Mekkah. Itulah yang ditunjuk sebagai lebih kejam dan lebih besar dosanya daripada pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy. Apalagi kalau peristiwa itu terjadi pada malam pertama bulan Rajab. Penyiksaan kaum musyrik lebih kejam dan besar dosanya daripada pembunuhan pasukan tersebut karena ketika itu mereka belum mengetahui bahwa bulan Rajab telah tiba.[2]
    Lanjutan ayat tersebut menginformasikan bahwa kaum akan terus-menerus berusaha memerangi kaum Muslim sampai mereka dapat mengembalikan kaum Muslim ke dalam agama sebelumnya atau murtad seandainya mereka mampu. Ayat tersebut kemudian ditutup dengan penegasan bahwa barang siapa pada akhirnya benar mengikuti kemauan orang-orang musyrik Mekkah tersebut yaitu murtad dan mereka pun mati dalam keadaan kafir, maka mereka diancam dengan balasan neraka dan terlebih dahulu dikatakan amalan-amalan mereka tidak berguna alias sia-sia.
Dalam ayat di atas terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa “mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran).” Frasa tersebut kemudian dipahami oleh sementara orang dengan berpendapat bahwa orang-orang non-Muslim selalu akan memusuhi umat Islam dan tidak akan berhenti memerangi sampai umat Islam murtad atau kembali kepada kekafiran. Sehingga, yang harus dilakukan umat Islam adalah melakukan peperangan terhadap mereka tanpa batas. Benarkah pandangan tersebut?
Sungguh sebuah pandangan yang amat keliru dan sama sekali tidak memerhatikan keseluruhan spirit dan ruh al-Qur'an khususnya dan Islam pada umumnya. Satu kaidah yang disepakati oleh para mufasir adalah bahwa antara satu ayat dan ayat yang lain dalam al-Qur'an adalah saling menafsirkan, sehingga ketika memahami satu ayat tidak boleh meninggalkan atau melupakan ayat lainnya. Kalau itu dilakukan, maka kesimpulan yang didapat tentu akan keliru.
Ayat di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa ungkapan tersebut adalah sebagai bentuk penjelasan terhadap salah satu sifat yang dimiliki oleh orang-orang musyrik Mekkah di mana mereka. terus akan memerangi umat Islam sampai umat Islam saat itu mau meninggalkan agamanya. Jadi, kalau kemudian digeneralisir bahwa setiap orang non-Muslim akan memerangi umat Islam sangat tidak berdasar.
Akan jelas kalau disampaikan contoh apa yang telah mereka lakukan terhadap kaum Muslim. Di antara contoh fitnah yang terkenal adalah; apa yang telah dialami oleh Bilal bin Rabah. Karena bersikeras untuk mempertahankan imannya, maka dia mengalami penyiksaan yang di luar batas kemanusiaan oleh Umayyah bin Khalaf majikannya. Penyiksaan tersebut akan mereka hentikan kalau Bilal mau menyebut tuhan mereka Latta dan 'Uzza barang sekali saja. Tetapi, karena Bilal tetap bergeming, siksaan itu terus diterimanya. Sampai akhirnya Abu Bakar membebaskannya.
Demikian halnya dengan yang dialami oleh 'Ammar bin Yasir beserta ayah bundanya, yaitu Yasir bin Amir dan Sumayyah. Mereka disiksa oleh orang-orang musyrik Mekkah dengan siksaan yang tidak kalah kejamnya dengan yang dialami oleh Bilal. Sampai-sampai dalam suatu kesempatan karena demi melihat kejamnya siksaan yang telah dialami oleh ayah bundanya yang akhirnya dibunuh demi mempertahankan iman, akhirnya 'Ammar dengan berpura-pura murtad atau kembali kepada agama sebelumnya. Sesampainya di hadapan Rasul saw. dia sangat menyesal dan inilah yang. oleh sementara mufasir menjadi sebab turunnya ayat 106 surah an-Nahl [16].[3]
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa ada sementara orang-orang kafir yang akan terus-menerus memusuhi bahkan memerangi umat Islam sampai kaum Muslim mau meninggalkan agamanya. Namun, dari contoh di atas juga dapat dipahami bahwa itu tidak dilakukan oleh semua non-Muslim/kafir, tetapi hanya orang atau kelompok tertentu. Maka, menggeneralisir bahwa mereka semua akan terus memusuhi umat Islam sehingga kaum Muslim pun juga harus bersikap sama tentu sebuah kesimpulan yang keliru.
Akan lebih jelas lagi kalau diperhatikan korelasi ayat-ayat dalam surah al-Baqarah ini ketika berbicara tentang seputar perang. Tampak sekali spirit al-Qur'an yang mengajarkan kepada para pemeluknya untuk bersik” p kesatria dengan menegakkan keadilan dan menghargai kemanusiaan.
Pada ayat sebelumnya yaitu di ayat 190 al-Baqarah dijelaskan tentang perintah berperang yang harus dilakukan semata-mata membela agama Allah, bukan untuk kepentingan pimpinan atau kelompoknya. Dan, itu harus dilakukan tidak boleh melampaui batas;

“Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesunggulmya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. al-Baqarah [2]: 190)
    Frasa terakhir dalam ayat tersebut yang menyatakan bahwa jangan melampaui batas mengisyaratkan bahwa yang boleh diperangi hanyalah orang-orang yang menurut kebiasaan terlibat dalam peperangan, sehingga terhadap orang-orang yang memang tidak terlibat dalam peperangan seperti para wanita, anak-anak, orang-orang yang sudah sepuh juga raky. t sipil lainnya maka mereka tidak boleh diperangi. Dari sinilah di; jat dipahami infrastruktur dan peralatan yang tidak digunakan dalam peperangan tidak boleh dihancurkan; seperti rumah sakit, perumahan penduduk sipil, pepohonan, dan lain-lain.
Ketika berbicara tentang keistimewaan ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan moralitas termasuk dalam suasana perang, Syekh Yusuf al-Qaradhawi menyatakan, “Jika sebagian negara pada zaman sekarang mengharuskan berlakunya nilai-nilai moral tatkala damai, lalu menghapus pemberlakuan nilai-nilai moral itu pada suasana perang, maka al-Qur'an tidak pernah lekang dari nilai-nilai moral pada saat damai ataupun perang. Al-Qur'an melarang bertindak kelewat batas dalam peperangan, sebagaimana yang ditegaskan pada ayat di atas, seperti larangan serupa yang juga berlaku pada saat damai.[4]
Dan, apabila mereka akhirnya menghentikan peperangan tersebut, maka kaum Muslim juga harus menghentikannya. Isyarat ini terdapat dalam ayat selanjutnya (192):

“Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Baqarah [2]: 192)
Dari sini saja sudah jelas bahwa orang musyrik yang tidak lagi memerangi umat Islam maka tidak boleh diperangi dan bahkan kalau mereka kemudian berhenti dari kemusyrikannya dan akhirnya menerima Islam, maka sesungguhnya Allah swt. Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Atau, meskipun seandainya mereka tidak masuk Islam tetapi mereka menghentikan permusushan, maka sekali lagi tidak boleh diperangi. Kalau yang pernah memerangi kaum Muslim saja dan akhirnya berhenti, maka al-Qur'an memerintahkan supaya kaum Muslim tidak memusuhinya, apalagi orang-orang non-Muslim yang sejak awal memang tidak memusuhi umat Islam, maka tentu kaum Muslim pun berkewajiban untuk berbuat baik kepada mereka.
Salah satu Hadits yang mencontohkan bagaimana Rasulullah saw. meyakinkan bahwa orang-orang musyrik yang tadinya memusuhi Islam akan diampuni apabila mereka berhenti memusuhi dan apalagi kalau masuk Islam diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari sahabat Amr bin al-'Ash yang berkata, “Setelah Allah meresapkan agama Islam betul-betul ke dalam hatiku, aku pun datang kepada Nabi saw. dan berkata: “ulurkan tanganmu aku akan membaiat kamu”. Maka, Rasulullah saw. mengulurkan tangan kanannya, lalu aku menarik tanganku. Nabi bertanya, “Mengapa engkau menarik tanganmu?” Aku rnenjawab, “Aku akan menentukan suatu syarat”. Rasulullah saw. bertanya, “Engkau akan mensyaratkan apa?” Aku rnenjawab, “Aku ingin agar Allah mengampuni aku”. Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah engkau mengetahui wahai Amr, bahwa Islam itu menghapuskan apa yang terjadi sebelumnya, dan bahwasanya hijrah itu telah menghapuskan apa yang sebelumnya dan haji itu menghilangkan dosa-dosa yang sebelumnya.”
          Kesimpulan yang menyatakan bahwa ayat 217 surah al-Baqarah tersebut menganjurkan supaya umat Islam mengambil sikap bermusuhan kepada setiap non-Muslim/kafir selamanya, semakin tidak tepat kalau dilihat dalam korelasi ayat lainnya sebelum ayat 217, yaitu ayat 193 yang menyatakan tujuan peperangan dalam Islam;

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah, jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak -ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalirri, (QS. al-Baqarah [2]: 193)
          Kalau yang dimaksud “mereka” dalam ayat tersebut adalah orang-orang musyrik Mekkah yang telah melakukan permusuhan, maka fitnah dalam ayat tersebut dapat diartikan kemusyrikan yang mereka lakukan. Sehingga, kota Mekkah atau Masjidil Haram akan bersih dari segala bentuk kemusyrikan. Dalam konteks ini, Quraish Shihab memberi penjelasan bahwa setiap negara memunyai wewenang yang dibenarkan hukum internasional untuk menetapkan siapa yang berhak masuk dalam wilayahnya. Ada syarat-syarat yang ditetapkan oleh setiap negara, longgar atau ketat, untuk maksud kunjungan atau menetap di suatu wilayah. Dari sini setiap negara menetapkan perlunya visa (izin masuk) ke wilayahnya. Tidak satu negara-betapapun demokratisnya—mengizinkan seseorang memasuki wilayahnya jika yang bersangkutan dinilainya akan mengganggu keamanan atau mengeruhkan kesucian wilayahnya.[5]
    Kalau yang dimaksud “mereka” dalam ayat di atas adalah siapa saja yang memusuhi umat Islam, maka kata fitnah dalam ayat tersebut adalah segala bentuk kezaliman atau ketidakadilan, baik penganiayaan fisik maupun menyangkut kebebasan beragama. Sekali lagi, lanjutan ayat ini menjelaskan, apabila mereka menghentikan permusuhan, maka seperti redaksi dalam ayat tersebut, kaum Muslim juga harus menghentikan permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim. Ayat yang senada dengan a1-Baqarah) [2]: 193 tersebut terdapat pada QS. al-Anfal [8]: 39
Ketika menjelaskan tentang pengertian supaya tidak ada fitnah dan supaya agama (seluruh kepatuhan) itu hanya untuk Allah, Sayyid Quthb menyatakan bahwa yang dimaksud oleh penggalan ayat ini adalah keharusan menghilangkan semua batas material yang tercermin dalam kekuasaan tirani dan penindasan terhadap manusia orang per orang. Bila itu terlaksana, maka tidak akan ada lagi kekuasaan yang nyata di dunia selain kekuasaan Allah, dan manusia pun ketika itu tidak tunduk pada suatu kekuasaan yang memaksa kecuali kekuasaan Allah swt. Kalau batas-batas itu telah dapat disingkirkan, maka ketika itu setiap orang akan memilih akidah atau kepercayaan mereka dalam suasana merdeka dan bebas dari segala tekanan....[6]
Mengomentari kesimpulan yang menyatakan bahwa peperangan, yang diperintahkan oleh al-Qur'an seperti yang terekam dalam QS. al-Baqarah [2]: 217 terseout adalah perang terhadap siapa saja yang non-Muslim tanpa batas, Syekh Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa sulit untuk dipahami, bagaimana orang-orang tersebut berkesimpulan demikian. Pandangan semacam ini bisa jadi muncul karena kesalahpahaman atau jika kita berprasangka buruk, pandangan tersebut merup .kan sebentuk serangan dan penistaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang abadi. Pandangan semacam ini berarti merendahkan Islam sebagai pihak yang harus disalahkan dalam peperangan.[7]
Lebih tegas, Syekh al-Ghazali kemudian menegaskan bahwa peperangan yang dibolehkan menurut al-Qur'an adalah yang dilakukan karena Allah swt, bukan demi kepentingan atau kemenangan seseorang juga bukan demi keuntungan material. Perang yang dibenarkan tidak seperti yang dilakukan sekelompok chauvinis yang ingin membuktikan keunggulan ras mereka....[8] Pada dasarnya, perang di jalan Allah adalah yang dilakukan demi menjamin kebebasan ibadah kepada-Nya dan memberantas penyembahan setan. Itu pun kalau mereka memang memerangi kaum Muslim. Kalau mereka tidak memusuhi umat Islam, maka al-Qur'an hanya memerintahkan agar kaum Muslim dapat menjamin dan memperjuangkan kelestarian rumah ibadah dan kebebasan ibadah kepada Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam QS. al-Baqarah [2]: 114.


[1] JaLaluddin al-Suyutht, Lubab al-Nuqut, h. 39.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbatl, vol. I, h. 433.
[3] Ibn Jarir ath-Thabari, Jami' at-Bayan, jilid VII, h. 650.
[4] Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh Daulah fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Syuruq,1997), h. 64
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. I, h. 395.
[6] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur'an, jilid IV, h.
[7] Muhammad al-Ghazali, Nabwa Tafsir Maudhu'i li Suwar al-Qur'an al-Karim, (Cairo: Dar al-Syuruq, 2003), h. 27.
[8] Muhammad al-Ghazali, Nahwa Tafstr Maudhu'i li Suwar al-Qur'an al-Karim, h. 28.

Jumat, 04 Januari 2013

Sampai Akhir Zaman Orang Kafir Akan Memusuhi Islam?

Ketika terjadi penyerbuan pasukan gabungan yang dipimpin Amerika Serikat ke Afghanistan dengan mengatasnamakan sebagai pasukan PBB untuk perdamaian, muncul berbagai penilaian dari berbagai pihak yang beragam. Ada di antaranya yang menyatakan bahwa peristiwa ini merupakan upaya menumpas terorisme yang dilakukan oleh organisasi yang dipimpin Osamah bin Laden yang ketika itu bermaskas di Afghanistan. Negara ini diserang karena dianggap melindungi teroris yang mengganggu ketenteraman dunia. Inilah alasan utama yang mereka ungkapkan ketika memulai penyerbuannya. Namun, selain penilaian tersebut, ada pula yang berpendapat bahwa ini merupakan bentuk konspirasi untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Mereka menganggap bahwa Islam merupakan ancaman baru bagi bangsa Barat setelah tumbangnya komunisme. Penilaian yang awalnya diungkapkan oleh Samuel Huntington ini ternyata sangat berpengaruh pada sikap masyarakat Barat. Saat ini, bila mereka mendengar sesuatu tentang Islam, banyak di antara mereka yang menilai bahwa agama ini identik dengan terorisme atau kekerasan. Stigma demikian telah mendorong sebagian dari mereka untuk berpendapat bahwa agama ini dan pemeluknya harus dihancurkan. Karena itu, dengan beragam alasan yang dicari-cari mereka berupaya keras untuk menghancurkan Islam dan penganutnya.
Penilaian yang kedua ini menjadi semakin meluas ketika terbukti bahwa alasan penyerbuan ke Irak yang juga dilakukan oleh tentara gabungan pimpinan Amerika tersebut tidak benar. Pabrik senjata kimia pemusnah massal yang menjadi alasan utama dan dituduhkan oleh mereka dimiliki Irak ternyata tidak ditemukan. Alasan ini dengan sendirinya menjadi batal, karena memang tidak dapat dibuktikan. Karena itu, semua yang mereka lakukan tidak lain hanya merupakan konspirasi untuk penghancuran Islam atau negara Islam yang dinilai membahayakan. Tampaknya, para musuh itu selalu tidak senang melihat Islam yang berkeinbang dan negara Islam menjadi kuat dan mandiri, demikian pendapat yang memunyai penilaian tentang konspirasi. Karena itu, mereka selalu mengupayakan agar negara Islam tidak menjadi kuat, baik dari segi politik, budaya, maupun ekonomi. Sebelum menjadi kekuatan yang mengkhawatirkan, Islam mesti dikebiri dan ditundukkan, sehingga selalu bergantung pada mereka dan tidak meresahkan bagi kehidupan internasional.
Dari kesan seperti yang digambarkan itu, muncul pertanyaan betulkah selalu muncul konspirasi untuk memusuhi Islam. Bila benar teori ini, maka apa penyebab utama yang mendorong mereka yang memusuhi Islam untuk menghancurkan agama ini. Bila tidak benar, apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya aliansi berbagai negara yang bertujuan menyerang umat Islam atau negara Islam tertentu. Mungkinkah pendapat tentang konspirasi ini merupakan suatu pemikiran yang agak berlebihan atau sikap yang over reacted, ketika menghadapi kekuatan musuh. Pertanyaan-pertanyaan ini sudah menyebar dan menjadi persoalan penting bagi umat Islam. Karena itu, penjelasan tuntas tentang masalah ini sangat diperlukan, agar kaum Muslim dapat merespons persoalan tersebut dengan benar dan tidak gegabah dalam bersikap.
Munculnya kesan tentang teori konspirasi ini tidak dapat disalahkan. Upaya penghancuran Islam memang sering terjadi sejak awal kemunculannya. Dari waktu ke waktu, perilaku mereka yang tidak senang pada Islam selalu sama. Beberapa peristiwa sejarah yang berkaitan dengan berbagai penyerangan terhadap Islam dan umatnya telah membuktikan kebenaran asumsi ini. Mereka yang mengemukakan pendapat ini tampaknya merasa semakin yakin dengan adanya informasi dari al-Qur'an tentang masalah ini, dan mereka menunjuk firman Allah yang mengisyaratkan hal tersebut, yaitu:

Ayat ini sebenarnya merupakan jawaban atas kritikan sebagian orang Arab yang menuduh umat Islam melakukan peperangan pada bulan haram. Karena itulah ayat ini turun untuk menjelaskan bahwa melaksanakan perang pada bulan haram memang dilarang. Sehubungan dengan hal ini, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan ath-Thabrani yang berasal dari Jundub bin Abdillah bahwa Rasulullah saw. mengirim pasukan yang dipimpin Abdullah bin Jahsy. Kemudian mereka bertemu dengan pasukan musuh yang dipimpin Ibnu al-Hadrami. Dalam perang, panglima musuh ini terbunuh. Setelah peristiwa ini berlalu dan agak terlewatkan, muncul kabar burung yang ditiupkan kaum Musyrik bahwa umat Islam telah melanggar larangan, yaitu berperang pada bulan haram. Ketika itu tidak jelas, apakah peristiwa tersebut terjadi pada bulan haram atau sebelumnya. Kemudian turun ayat ini untuk menjelaskan ketetapannya. [1]
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab dari turunnya ayat tidak” menjelaskan masalah yang dibicarakan. Padahal, frasa yang digarisbawahi pada ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kaum kafir akan selalu berupaya untuk menghancurkan umat Islam dan mengembalikan mereka pada kekafiran. Karena sabab nuzul tidak memberikan informasi yang diperlukan, pembahasannya akan tertuju pada masalah utama yang dikaji, yang ternyata dijadikan sebagai sumber u :ituk membenarkan pendapat mereka yang memberikan respons tersebut.
Islam berkembang dengan pesat, baik sebagai agama maupun kekuatan politik. Tak pelak lagi, hal yang demikian ini telah mengundang berbagai respons dari berbagai kalangan. Selain yang mengagumi perkembangan yang demikian spektakuler, ternyata tidak sedikit pula yang bereaksi negatif. Kelompok yang terakhir ini bisa jadi terdiri dari kelompok, aliran, negara, atau bangsa yang merasa terancam oleh Islam, baik sebagai agama, umat yang berideologi, maupun sebagai negara. Pada giliran selanjutnya, reaksi negatif ini telah mendorong munculnya keinginan untuk menghancurkan Islam yang terus berkembang. Namun, untuk menghadapi kekuatan ini, tampaknya mereka tidak berani bertindak sendiri-sendiri. Ada kemungkinan sikap ini didasarkan pada kekhawatiran atas kekuatan Islam itu sendiri, atau dapat juga disebabkan oleh kekhawatiran pada kecaman dunia atau kerugian yang akan ditanggung. Karena itu, dalam banyak kasus, upaya untuk menghancurkan Islam selalu dilakukan secara bersama-sama yang melibatkan berbagai kelompok. Inilah konspirasi yang bertujuan untuk menghapus Islam dan umatnya dari muka bumi.

Tampaknya, konspirasi yang demikian tidak saja terjadi pada masa kini. Sejak permulaan munculnya Islam, hal ini sudah pula ada. Dalam berbagai kasus diriwayatkan ketika penduduk Mekkah meminta agar Nabi saw. menghentikan dakwahnya, atau melakukan apa saja untuk rnenghalangi dan mengganggunya, selalu mereka mengatasnamakan kegiatan atau upayanya sebagai keinginan kolektif dari semua suku yang tinggal di kota itu. Hal seperti ini dilakukan karena dalam budaya Arab, setiap orang memiliki pelindung dari sukunya. Bila salah satu anggota suku dibunuh atau disakiti orang dari suku lain, maka seluruh keluarga sesuku akan bangkit menuntut balas. Inilah sebab dari munculnya konspirasi untuk melawan Rasulullah saw. yang ketika itu berada di bawah perlindungan Bani Hasyim.
Puncak konspirasi untuk mengatasi persoalan yang mengganggu adalah keputusan akhir yang disepakati penduduk Mekkah, yaitu untuk membunuh Rasulullah saw. Mereka secara khusus mengadakan pertemuan untuk membahas masalah ini. Dalam pertemuan tersebut terjadi pendebatan tentang sikap yang akan diambil, apakah Nabi saw. diusir dari Mekkah saja, dipenjarakan agar tidak dapat melakukan kegiatannya lagi, atau dibunuh saja. Dengan memerhatikan segala pertimbangan, akhirnya disepakati untuk mengeksekusi Nabi saw. Kisah ini dicantumkan dalam al-Qur'an untuk mengingatkan kaum Muslim tentang upaya kaum kafir untuk menghancurkan Islam yang tidak pernah berhenti. Ayat yang mengisyaratkan hal ini yaitu:


“Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk rnenangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya” (QS. al-Anfal [8]: 30)
Pelaksanaan hasil musyawarah adalah dengan mengirim para pemuda dari setiap suku untuk melaksanakan eksekusi ini. Ketetapan ini segera dijalankan, dan setiap kabilah mengirim utusannya untuk berpartisipasi. Montgomery Watt menulis dalam bukunya yang berjudul Muhammad's Mecca: History in the Qur'an bahwa konspirasi ini pada akhirnya gagal,[2] karena ketika itu para pelaksana tertidur dan tidak mengetahui bahwa Nabi saw. telah keluar dari rumahnya. Informasi tentang kegagalan ini juga diungkap dalam al-Qur'an, yaitu seperti yang tercantum dalam QS. Yasin [36]: 9, yaitu:

“Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), serta Kami tutup (matq) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat:” (QS. Yasin [36]: 9)
Konspirasi kedua yang menonjol dalam sejarah Islam adalah kesepakatan penduduk Mekkah dengan berbagai suku di Jazirah Arab untuk menghancurkan umat Islam di Madinah. Kerja sama ini diprakarsai oleh kelompok Yahudi dari Bani Nadhir yang telah diusir dari Madinah karena berkomplot untuk membunuh Rasulullah saw.[3] Untuk mewujudkan keinginan tersebut, suku ini kemudian mengirimkan utusan ke kaum Quraisy di Mekkah, kaum Ghathafan, dan kabilah lainnya dengan satu misi, yaitu mengajak mereka secara bersama menyerang Nabi saw. dan kaum Muslim di Madinah.[4] Pada waktu yang telah ditetapkan, pasukan-pasukan dari berbagai kabilah ini berangkat menuju Madinah dengan satu tujuan, yaitu menghancurkan Islam dan umatnya. Untuk menghadapi jumlah yang sangat besar ini, umat Islam membuat parit di sekeliling kota yang diharapkan dapat menghambat laju mereka. Setelah melalui perjuangan yang gigih, kaum Muslim dapat memenangkan peperangan ini. Bala tentara sekutu kembali dengan tangan hampa setelah dilanda angin topan yang memorak-porandakan perkemahan mereka.
Pada abad pertengahan, konspirasi semacam ini terjadi lagi, yaitu dengan terjadinya Perang Salib di Palestina. Perang ini disebabkan oleh munculnya kekhawatiran umat Nasrani terhadap kelancaran ziarah mereka ke Palestina yang ketika itu dikuasai Dinasti Saljuq. Paus Urbanus pada 26 November 1095 menyampaikan khotbah di Clermont, Perancis selatan yang isinya mendesak umat Kristen Eropa agar b.ersatu menyerang Palestina untuk membebaskan Yerusalem. Pada musim semi tahun 1097, berangkatlah sekitar 150.000 pasukan Kristen menuju Palestira.[5] Selanjutnya, terjadilah pertempuran yang berkepanjangan ant ira keduanya. Inilah perang besar yang terjadi antara umat Islam can umat Kristen dari seluruh daratan Eropa.
Memerhatikan paparan di atas, tidak aneh bila sebagian umat Islam berpendapat bahwa setiap saat konspirasi orang-orang kafir untuk menghancurkan Islam akan selalu terjadi. Fakta sejarah memang menunjukkan peristiwa-peristiwa seperti yang digambarkan. Namun, tampaknya perlu juga diperhatikan apakah teori ini memang terjadi secara umum, atau disebabkan oleh adanya kasus-kasus tertentu.  Penilaian demikian diperlukan, agar dalam menganalisis, umat Islam tidak terjebak pada sikap permusuhan yang belum tentu akan memberi manfaat. Lebih lanjut, introspeksi diri tampaknya juga diperlukan, agar mereka tidak menganggap bahwa mereka itu memang selalu berada di pihak yang benar.
Bila dilihat kembali kasus yang terjadi di Afghanistan, tampaknya memang diperlukan analisis yang cermat tentang penyebab dari munculnya ide untuk menyerang negara ini. Alasan yang dikemukakan untuk melegitimasi penyerangan adalah karena Afghanistan dinilai melindungi teroris, Usamah bin Laden, yang telah menyerang kepentingan Amerika di beberapa negara. Kenyataan ini tentu diketahui bersama, walaupun masyarakat dunia juga mengetahui bahwa aksi Usamah ini dipicu oleh sikap Amerika, yang menurut pendapat berbagai 1 alangan  menerapkan standar ganda dalam menggariskan beber..pa isu politik dan sosial, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan masalah lain. Banyak yang menilai ketika Amerika mendesak pelaksanaan isu-isu tersebut di suatu negara, namun di negara lain yang menjadi sekutunya, hal itu tidak diharuskan. Akibatnya, banyak kebijakan negara adidaya dinilai merugikan suatu negara dan menguntungkan negara lain. Inilah sebenarnya pokok masalah yang sering kali menyebabkan beberapa pihak merasa kesal pada kebijakan-kebijakan yang dilakukan negara tersebut.
Analisis di atas memang ada benarnya. Namun, dalam menelusuri persoalan ini dengan lebih mendalam, tampak bahwa yang dilakukan Amerika dan sekutunya itu lebih ditujukan kepada negara yang dinilai memiliki potensi yang mengancam kepentingan mereka. Ini tentu menjadi persoalan yang relatif, sebab ancaman atau bukan tentunya akan bergantung pada sikap dan respons dari setiap pihak. Terhadap negara Islam yang tidak dianggap sebagai ancaman, ternyata mereka tidak menerapkan sikap keras tersebut. Dengan fakta ini, ada pula yang menilai bahwa apa yang terjadi di Dunia Islam bukan merupakan konspirasi untuk menghancurkan umat Islam. Fakta yang tidak dapat dibantah adalah bahwa saat ini terdapat puluhan negara Islam, namun hanya beberapa saja yang dinilai membahayakan karena dipimpin oleh tokoh yang memang bersikap militan. Negara-negara Islam lain yang dinilai tidak beraliran keras tidak mengalami gangguan. Peristiwa-peristiwa penyerangan itu merupakan kasus yang mengemuka karena dipicu oleh adanya kekhawatiran terhadap potensi yang mengancam kepentingan mereka. Kendati demikian, umat Islam tentu wajib pula mengingat negara adidaya dan sekutunya bahwa tindak kekerasan yang mereka tunjukkan justeru akan semakin memicu munculnya perlawanan. Hal yang sedemikian ini tentu tidak diinginkan.
Persoalan lain yang dinilai lebih urgen adalah akibat dari reaksi yang mungkin timbul dari masalah konspirasi ini. Ketika isu ini diembuskan, dan umat Islam memercayainya, maka dipastikan akan muncul sikap antipati dan permusuhan terhadap pihak-pihak yang dinilai telah berkonspirasi. Bila suasana demikian yang muncul ke permukaan, akibatnya akan timbul rasa saling curiga di antara masyarakat dunia. Keadaan demikian tentu bukan merupakan hal yang kondusif bagi setiap pihak. Pada saat semua negara sedang giat mencanangkan pembangunan bagi rakyatnya, maka kerja sama antarnegara sangat diperlukan. Kondisi seperti ini hanya tercipta dengan baik bila tumbuh keinginan untuk saling menghargai dan memercayai pihak lain. Sebaliknya, bila yang ada adalah perasaan saling curiga dan antipati, maka kerja sama yang diinginkan akan sulit diwujudkan. Kerugian pada setiap pihak jelas tidak akan terelakkan lagi. Suasana demikian tentu tidak diinginkan.
Islam adalah agama yang ditetapkan sebagai rahmatan lil’amin, yaitu yang dapat membcikan kesejukan, ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian bagi masyarakat dunia. Hal ini mengisyaratkan bahwa mestinya para pemeluknya berupaya untuk

mewujudkan kondisi yang kondusif bagi sesama. Untuk menuju keadaan demikian diperlukan kearifan dalam segala hal, baik yang menyangkut kehidupan individu, sosial, hubungan dengan masyarakat non-Muslim, dan sebagainya. Bila ini yang diagendakan, maka dapat dipastikan umat Islam justeru akan berperan besar dalam menyelenggarakan kehidupan yang baik bagi semuanya.
Paparan di atas bukan berarti sebagai sikap lemah dari umat Islam. Sesuai dengan ajaran agama ini, kaum Muslim dianjurkan untuk berbuat baik, bersikap adil, menghargai pihak lain, kerja sama yang saling menguntungkan dengan siapa saja dalam kebaikan, dan mewujudkan kehidupan yang tenang, sejahtera, dan penuh kedamaian. Namun, bila muncul gangguan yang mengancam eksistensinya, mereka tidak dilarang untuk membela diri dan bersiaga agar mereka tidak terprovokasi oleh keinginan-keinginan buruk yang diembuskan pihak lain.
Kesimpulan dari paparan ini adalah bahwa umat Islam jangan mudah terpancing isu-isu yang dapat mengakibatkan munculnya sikap yang dapat merugikan. Konspirasi untuk menghancurkan Islam memang pernah ada dan akan muncul pula di lain saat. Namun, hal ini hendaknya dikaji lebih dulu secara saksama dan dengan kearifan yang dapat meredam emosi sesaat. Sebelum menentukan sikap, mesti dipertimbangkan lebih dulu aspek positif dan negatifnya, sehingga bukan kerugian dan penyesalan yang akan didapatkan dalam kehidupan antarbangsa.


1 Qamaruddin Shaleh et al, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 1974) h 68.

[2] W. Montgomery Watt, Muhammad`s Mecca : History in the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1988) h. 105
[3] Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, terjemah oleh Rahmat, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 418
[4] Lihat Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terjemah oleh Ali Audah, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992), h. 342.
[5] Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The MacMillan Press Ltd, 1974), h. 636.