Tampilkan postingan dengan label non-muslim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label non-muslim. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 April 2013

RELASI MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS



Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka.  Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 120)
                        
                Para mufasir sepakat bahwa keseluruhan ayat dalam surah al-Baqarah turun ketika Nabi Muhammad saw. telah berhijrah ke Madinah (madaniyyah).  Ayat di atas terletak di dalam kelompok ayat yang berbicara tentang komunitas Bani Israil, yang di dalam QS. al-Baqarah dimulai dari ayat 40-146.  Sementara mufasir, di antaranya Imam As-Suyuthi, mengutip dari sahabat Ibn ‘Abbas, menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan masalah pemindahan arah kibalat dalam shalat yang mengarah ke Ka’bah.  Kaum Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran menanggapi dengan sinis, karena mereka sangat mengharap agar kaum Muslim mengarahkan shalat kea rah kiblat mereka.1[1]

                Ayat tersebut seakan ingin menguatkan Rasulullah saw. Dalam menghadapi sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani.  Hal ini menjadi lebih jelas apabila diperhatikan ayat sebelumnya khususnya ayat 118 dan 119.  Dalam ayat 118 dijelaskan tentang keengganan Bani Israil khususnya dan orang kafir Mekkah umumnya (karena memang mereka sering bersikap setali tiga uang dalam menghadapi dakwah Nabi saw), untuk menerima dakwah Nabi saw. Dengan dalih yang bernada protes “mengapa Allah tidak berbicara kepada kami atau mendatangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami”.

                Sedangkan dalam ayat 119 Allah menegaskan bahwa salah satu tugas utama Nabi Muhammad saw. adalah untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan serta tidak eksklusif hanya untuk kelompok tertentu tapi kepada semua manusia.  Ternyata tidak setiap orang yang menerima kabar gembira atau peringatan tersebut menyambut dengan baik, namun ada juga yang menolak.  Ayat 120 inilah yang menggambarkan kelompok mana saja yang menolak sekaligus alasan penolakannya.

                Orang-orang Yahudi dan Nasrani baru akan rela menerima seruan Nabi Muhammad saw. apabila yang disampaikan adalah ajaran atau tata cara hidup mereka atau Rasulullah saw. terlebih dahulu masuk dan mengikuti ajaran atau millah mereka.  Susunan ayat tersebut tampaknya memberi kesan Nabi saw bersedih, karena keengganan mereka untuk meninggalkan agama sebelumnya untuk masuk Islam.2[2]  Sementara di sisi lain, Nabi Muhammad saw. tidak mungkin akan mengikuti keinginan mereka.  Kemudian, ayat tersebut memberi tuntunan bagaimana menyikapi hal tersebut dengan menyatakan “Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya.”
               
                Beberapa ayat lain menginformasikan tentang kesediaan Nabi saw. atas respons sementara orang yang tidak mau beriman, di antaranya QS. Al-Kahfi [18]: 6:


Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an).”

                Juga dalam QS. Fâthir [35]: 8:

“…Maka, janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka…”.

                Dalam beberapa ayat lainnya Nabi saw diingatkan oleh Allah swt. bahwa:

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Baqarah [2]: 272)

                Ada sementara kelompok yang memahami ayat di atas secara literal dengan berkesimpulan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selamanya tidak akan pernah rela terhadap kaum Muslim sampai kaum Muslim tunduk kepada mereka.  Bahkan, lebih jauh lagi ada yang berkeyakinan berdasarkan ayat tersebut dengan berpendapat bahwa dasar hubungan antara Muslim dan non-Muslim khususnya Yahudi dan Nasrani adalah jihad/perang bukan perdamaian, sehingga dengan pandangan seperti ini dikembangkanlah teori konspirasi; bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selalu melakukan konspirasi untuk memusuhi umat Islam.

                Pendapat tersebut jelas kurang tepat, berdasarkan paling tidak tiga alasan.  Pertama, ditinjau dari redaksi dan hubungan ayat; Kedua, para mufasir baik klasik maupun kontemporer tidak ada yang berkesimpulan demikian; Ketiga, karena tidak sejalan dengan pandangan al-Qur’an secara umum menyangkut sifat dan sikap orang Yahudi dan Nasrani.



1 As-Suyuti, Lubâb an-Nuzûl, dalam Hamisyah Tafsir Jalâlain, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 22.
2 Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, Mesir: Mushtafa al-Bab al-Halabi, 1974, jilid I, h. 273; juga dalam M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh, Jakarta: Lentera Hati, 2000, vol. I, h. 294

Rabu, 03 April 2013

Distorsi Penafsiran Ayat al-Qur’an



Sampai titik ini, semakin jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan memerangi seseorang atau negara non-Islam hanya semata-mata karena perbedaan agama. Tetapi,beberapa ayat mengenai perang memang sering mengalami distorsi makna akibat pemahaman parsial dan tidak utuh.  Misalnya, ayat-ayat tentang perang yang terdapat dalam surah at-Taubah [9] ayat 5, 14, 29, dan 36 yang diambil secara sepotong-sepotong tidak jarang menggiring ke pemahaman bahwa Islam memerintahkan untuk memerangi siapa saja yang berbeda agama.  Padahal, bila ayat tersebut dicermati dan dibaca secara utuh, pemahaman ekstrem seperti ini menjadi jelas penyimpangannya karena bertentangan dengan karakteristik dasar Islam yang rahmah dan penuh damai.
Dalam ayat 5 surah at-Taubah, misalnya, potongan ayat yang artinya, “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai”, harus dibaca dalam konteks yang utuh dan mengaitkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu tentang orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian damai dan yang tetap setia dengan perjanjian damai. Perintah Allah adalah memerangi orang-orang musyrik yang berkhianat dan melanggar perjanjian damai.  Dengan demikian, orang-orang musyrik yang tetap setia dengan perjanjian damai dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslim, maka tidak boleh diperangi.  Orang-orang musyrik ini dapat bebas tanpa gangguan dan dijamin keamanannya selama masa ikatan perjanjian (ayat 4 surah at-Taubah).  Dan, dalam ayat 6 sesudahnya, Allah memerintahkan kepada Nabi saw. Dan kaum Muslim untuk memberikan jaminan keamanan bagi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan.
Pada ayat 14 surah at-Taubah, orang-orang non-Muslim yang diperintahkan untuk diperangi adalah mereka yangmelanggar perjanjian damai dan berencana memerangi kaum Muslim, seperti yang dapat dibaca dengan jelas dari ayat sebelumnya (ayat 12 dan 13surah at-Taubah).  Demikian pula dengan ayat 29 dan 36 pada surah yang sama.  Dalam ayat 29, Allah memerintahkanuntuk memerangi orang-orang kafir (Ahlul-Kitab) karenaadanya niat permusuhan dalam dirimerekapada waktu itu untuk memerangi kaum Muslim.  Sementara dalam ayat 36, perintah perang kepadea kaum musyrik di bulan Haram, karena kaum musyrik itu telah berkhianat dan melanggar perjanjian dengan melakukan penyerangan di bulan Haram yang dalam tradisi Arab dilarang melakukan peperangan.[1]
Dalam konteks ini, ayat lain yang sering kali mengalami distorsi makna sehingga terkesan radikal adalah ayat 193 surah al-Baqarah dan ayat 39 surah al-Anfâl.  Dua ayat ini, yaitu firman-Nya, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada finah dan supaya kepatuhan seluruhnya semata-mata untuk Allah.
Ayat 193 surah al-Baqarah yang memerintahkan kaum Muslim untuk berperang di sini harus dibatasi untuk berperang melawan mereka yang lebih dahulu melakukan agresi, sebagaimana terbaca dalam ayat 190 sebelumnya:
                     

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menukai orang-orang yang melampaui batas”.
Kemudian, dalam ayat 192 selanjutnya, al-Qur’an menyatakan bahwa peperangan itu harus dihentikan bila pihak musih menghentikan serangan,”Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.”  Menurut pakar tafsir M. Quraish Shihab, bila ayat 190 berbicara tentang kapan peperangan diizikan (yaitu saat ada musuh yang lebih dulu menyerang), maka ayat 192 dan 193 menjelaskan kapan peperangan mesti dihentikan.
Tujuan dari aturan perang seperti ini tidak lain agar tidak timbul fitnah, yakni “agar kekuatan syirik kaum musyrik itu tidak menimbulkan fitnah yang dapat menyakiti kaum Muslim sebagaimana dulu mereka menyakiti kaum Muslim di Mekkah;”[2] dan agar “wa yakûna al-dînu Lillâh” (kepatuhan hanya semata-mata kepada Allah), yakni bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus ditaati, antara lain member kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan mengamalkan agama dan kepercayaannya karena masing-masing akan mempertanggungjawabakannya, sesuai firman-Nya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kâfîrun [109]: 6).[3] sengaja disebarkan untuk memperburuk citra Islam.  Sebaliknya, Islam adalah agama damai yang penuh rahmat.  Bahkan, jika dicermati lebih teliti dari aspek kata Islam itu sendiri, secara kebahasaan, sebenarnya ada kesesuaian antara lafal Islam (îslâm) dengan kedamaian (salâm).  Dua lafal itu islâm dan salâm merupakan derivat yang berasal dari akar kata yang sama, yakni dari gabungan huruf sîn, lâm, dan mîm, yang berarti “selamat”dan “damai”.
Demikian pula, didalam al-Qur’an, Allah menyifati zat-Nya sebagai as-Salâm (Mahadamai).  Ucapan penghormatan umat Islam disebut ucapan salâm (kedamaian) untuk mengingatkan pengucapannya bahwa salâm atau kedamaian itu merupakan tujuan utama yang harus disebarkan dan tidak boleh sedikit pun lepas dari ingatan.  Lebih dari itu, setiap hari seorang Muslim diwajibkan paling kurang lima kali mengucapkan penghormatan Islam salâm di akhir setiap shalat; salâm kedamaian untuk sisi kanan dan kiri yang meliputi dua belahan bola bumi.
Demikianlah, jelas kiranya karakteristik Islam sebagai Agama yang damai dan penuh rahmat.  Dari itu,tak ada tempat dalam agama ini  bagi kekerasan dan radikalisme, atau fanatisme dan terorisme, serta berbagai bentuk kelaliman yang merusak dan menghancurkan kehidupan dan/ atau hak milik orang lain.  Terlebih lagi bila kita menyadari bahwa tujuan pokok dari ajaran Islam (maqâshid syari’ah) adalah menjaga danmemelihara hak-hak manusia yang paling mendasar, khususnya hak hidup,hak beragama, hakmemlihara akal, keluarga dan kepemilikan.  Tidaklah aneh karenanya bila Islam mengharamkan berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman kepada orang/golongan lain, sampai-sampai Islam menganggap kelaliman yang dilakukan kepada seorang manusia, sama artinya melakukan kelaliman kepada umat manusia secara keseluruhan, sebagai dinyatakan dalam Kitab Suci Islam:


Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.  Dan, barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 32)




[1] Tinjauan lebih lanjut tentang ayat-ayat ini dapat dilihat dalam: Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), cet. II h. 197 dan seterusnya.
[2] Muhammad Imârah (ed), al-A’mâl al-Kâmilah li Muhammad ‘Abduh, h. 4, 490, 491, 492.  Bandingkan M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, 9/552. Menarik untuk dicermati di sini bahwa al-Qur’an menggunakan kata wa qâtilûhum hattâ lâ takûna fitnah (“perangilah mereka agar tidak ada fitnah lagi”), bukan wa qâtilûhum hattâ yuslimû (“perangilah mereka sampai mereka masuk Islam”) yang menunjukkan bahwa tujuan peperangan ini bukanlah karena alasan perbedaan agama dan keyakinan (Lihat: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lâ Dzimmyyûn, h. 256).
[3] M. Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 62.