Tampilkan postingan dengan label perang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perang. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Mei 2013

Akar Pengkafiran


Pembicaraan mengenai pengkafiran mengharuskan kita untuk membahas asal-usulnya demi mengetahui sebab penyakit ini. Asal mula pengkafiran terjadi pada zaman fitnah besar ketika sekelompok kaum muslimin yang dikenal dengan Khawarij melakukan pengkafiran tanpa keahlian yang dimilikinya.
Syahrastani mengatakan, “Ketahuilah, orang yang pertama kali memberontak kaum Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Ra adalah kelompok yang dulu bersamanya dalam perang Shiffin. Orang yang paling keras menentangnya adalah Asy’ats bin Qais Al-Kindi, Mas’ar bin Madzki At-Tamimi, dan Zaid bin Hushain Ath-Thai`i ketika mereka mengatakan, “Kaum (kelompok Muawiyah) mengajak kita untuk kembali kepada Kitabulah dan kamu mengajak kami untuk kembali kepada pedang.” Ali menjawab mereka hingga berkata, “Aku orang yang paling tahu tentang Kitabullah. Pergilah dan bergabunglah dengan pasukan. Pergilah kepada orang yang berkata, “Allah dan Rasul-Nya berdusta, sedang kalian mengatakan, “Allah dan Rasul-Na benar. Mereka tidak rela dengan ini. Mereka mengatakan, “Itu hanya dari dirimu sendiri.” Mereka memaksa Ali untuk mengutus Abu Musa Al-Asy’ari untuk berhukum dengan Kitabullah. Ali tidak rela dengan apa yang sudah terjadi. Akhirnya mereka berontak kepadanya dan berkata, “Kenapa kamu berhukum kepada orang-orang? Tidak ada hukum kecuali kepada Allah.” Mereka kaum pemberontak yang berkumpul di Nahrawan. Pecahan-pecahan mereka yang terbesar adalah Muhakkimah, Azariqah, Najdad, Baihasiyah, Ajaridah, Tsa’alibah, Ibadhiyah, dan Shafariyah. Adapun yang lain adalah pecahan-pecahan kelompok ini. Mereka bersatu dalam semangat melepaskan diri dari Utsman Ra dan Ali Ra. Mereka mengutamakan hal ini di atas semua ketaatan. Mereka tidak mengesahkan pernikahan kecuali atas hal ini. Mereka mengkafirkan semua pelaku dosa besar dan memberontak penguasa apabila dianggap menyalahi Sunnah.”[1]
Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Inilah yang terjadi pada kaum Khawarij di awal Islam. Mereka orang yang paling rajin beribadah puasa, shalat, dan membaca Al-Quran. Akan tetapi, kerusakan mereka ada dalam pemikiran, bukan dalam hati mereka. Mereka menganggap amal buruk mereka sebagai amal yang baik. Perilaku mereka tersesat dalam kehidupan dunia, namun mereka menyangka berbuat kebaikan.”



[1] Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, 1/114-115, Cet.  Al-Halabi, Mesir.

Jumat, 26 April 2013

Jihad Bernama Terorisme



Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah jihad. Konsep ini sering disalahpahami tidak hanya oleh kalangan non-Muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam yang tidak memahaminya secara baik, benar, dan utuh. Secara bahasa, menurut pakar al-Qur'an, ar-Raghib al-Ashfahani, dalam kamus kosakata al-Qur'an-nya (al-Mufraddt), jihad adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta, dan pikiran untuk mengalahkan musuh. Seperti diketahui, dalam jiwa setiap manusia kebajikan dar keburukan sama-sama bersanding. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang terdiri atas banyak individu. Dari sinilah lahir perjuangan (jihad) baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Karena itu al-Ashfahani membagi jihad kepada tiga macam: 1) menghadapi musuh yang nyata; 2) menghadapi setan; dan 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Di antara ketiga macam jihad ini yang terberat adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah saw. ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran; "Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.[1]
Memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur'an membuktikan bahwa Rasulullah saw. telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Mekkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijriah, tepatnya 17 Ramadhan, dengan meletusnya Perang Badar, yaitu setelah turun ayat yang mengizinkan perang mengangkat senjata seperti pada QS. al-Hajj [22]: 39-40. Allah berfirman:
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa".
Ayat ini menunjukkan bahwa perang yang diperkenankan adalah dalam rangka mempertahankan diri, agama, dan tanah air. Fithrah manusia cenderung tidak menyukai perang atau kekerasan, dan lebih mendambakan kedamaian. (QS. al-Baqarah [2]: 216) menyatakan demikian. Karena itu, hubungan Islam dengan dunia luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tetapi dalam kondisi tertentu, seperti jika ada pihak yang memusuhi Islam atau mengumumkan perang terhadap Islam dan umat Islam, Islam mengizinkan perang.
Perang membela agama tidak hanya dibolehkan oleh Islam. Agama Kristen yang sangat toleran sekalipun seperti tergambar dalam ungkapan Yesus dalam Injil Matius [5], 39: Jika ada yang menampar pipi kanan Anda maka putarlah dan berilah dia pipi kiri, juga membolehkan perang dalam situasi manakala dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22], 35-38; Lukas [12], 49-52).
Mayoritas ulama Islam berpandangan tidak boleh memulai peperangan kecuali jika orang kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam lebih bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan serangan. Para ahli hukum Islam (fuqahd) dari kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan, sebab perang dalam Islam adalah karena ada permusuhan atau penyerangan dari orang kafir, bukan karena kakafiran mereka. Kalau mereka menyerang umat Islam maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas serangan. Jadi, bukan karena kekafiran atau perbedaan agama. Karena itu tidak boleh menyerang seseorang lantaran berbeda agama atau kafir, tetapi hanya boleh jika ia menyerang lebih dahulu.[2]
Dari sini amat keliru pandangan sementara intelektual Barat yang menyatakan "Islam jaya di atas pedang", "Islam tersebar dengan jalan perang". Sejarah membuktikan sebaliknya. Di banyak belahan dunia, seperti di Melayu, Islam tersebar dengan cara damai. Inilah yang membuat pemikir Barat lain seperti Thomas Carlel, Gustav Le Bon, sejarawan terkenal asal Prancis, mengkritik tesis para koleganya dengan menafikan tesis Islam tersebar dengan pedang.[3] Apalagi kalau kita pahami izin kebolehan berperang baru diperoleh dari Tuhan setelah 15 tahun Rasulullah mengembangkan dakwah Islam.
Jihad dengan pengertian di atas tentunya sangat bertolak belakang dengan terorisme }'ang secara bahasa berarti 'menimbulkan kengerian pada orang lain yang biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu'. Jihad dengan pengertian perang bertujuan untuk melindungi kepentingan dakwah Islam, termasuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat manusia, sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama. (QS. al-Baqarah [2]:  256 dan (QS. al-Kahfi [18]: 29) Karena itu, ketika berhasil menaklukkan Yerussalem, Khalifah Kedua, Umar ra., memberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk kota yang beragama Kristen. Beliau mengatakan, "Gereja-gereja mereka tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka. Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka, dan juga tidak boleh disakiti......."[4]
Kendati dalam kondisi tertentu menggunakan kekerasan melalui jihad diperbolehkan tetapi Islam memberikan aturan yang ketat dan sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, misalnya dalam sebuah peperangan Islam melarang untuk membunuh agamawan yang mengkhususkan diri dengan beribadah, wanita, anak kecil, orang tua lanjut usia, dan penduduk sipil lainnya yang tidak ikut perang. Demikian pula Islam melarang perusakan lingkungan seperti menebang pohon, membakar rumah, merusak tanaman, dan menyiksa binatang.[5] Mufti Besar Mesir, Prof. Dr. Syekh Ali Jumu'ah, menyebutkan 6 syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yaitu:
1.        Cara dan tujuannya jelas dan mulia;
2.        Perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil;
3.        Perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai;
4.        Melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi;
5.        Memelihara lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, merusak rumah/bangunan;
6.        Menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.[6]
Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihad dengan pengertian perang dan terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma' al-Fiqh al-Islami no. 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional poin kelima menyatakan, "Perlu diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihad, terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai dengan pengertian yang sebenarnya".[7]


Senin, 22 April 2013

PERBEDAAN JIHAD DENGAN TERORISME


Selama ini terdapat anggapan yang salah di dalam masyarakat yang menyamakan jihad dengan terorisme. Bahkan, oleh kalangan yang tidak mengerti ajaran Islam yang luhur, Islam dicap sebagai agama teroris. Kekeliruan pemahaman ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat mengenai Islam, tetapi tidak tertutup kemungkinan karena sebagian muslim justru melakukan jihad melalui aksi-aksi terorisme. Padahal antara jihad terorisme jelas terdapat perbedaan yang sangat mendasar.

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), terorisme adalah “tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well-organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang tidak membedakan sasaran (indiscriminative)”.

Menurut Konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Dalam kamus Webster’s New School and Office Dictionary dijelaskan: “terrorism is the used of violence, intimidation, etc to gain to end; especially a system of government ruling by terror,….”(Terorisme adalah penggunaan kekerasan, intimidasi, dsb untuk merebut atau menghancurkan, terutama, sistem pemerintahan yang berkuasa melalui terror…). Dari ketiga definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan (crime) yang mengancam kedaulatan negara (against state/nation), melawan kemanusiaan (against humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan kekerasan.

RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di AS, melalui sejumlah penelitian dan pengkajiannya, menyimpulkan bahwa setiap tindakan kriminal. Definisi lain menyatakan bahwa: (1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal, termasuk juga dalam situasi diberlakukannya hukum perang; (2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan demikian penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikatergorikan sebagai tindakan terorisme; (3) meskipun seringkali dilakukan untuk menyampaikan tuntutan politik, aksi terorisme tidak dapat disebut sebagai aksi politik.

Dan uraian tersebut di atas, jelas sekali perbedaan antara terorisme dengan Jihad. Pertama, terorisme bersifat merusak (ifsad) dan anarkis/ chaos (faudha). Kedua, terorisme bertujuan untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain. Ketiga, terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sebaliknya, jihad bersifat perbaikan (islah), sekalipun sebagian dilakukan dengan berperang. Jihad bertujuan untuk menegakan agama Allah dan atau membela hak pihak yang terdzalimi. Jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh Syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas.

Karena itulah, menurut MUI, hukum melakukan terror secara qath’ie adalah haram, dengan alasan apapun, apalagi jika dilakukan di negeri yang damai (dar al-shulh) dan Negara muslim seperti Indonesia. Hukum jihad adalah wajib bagi yang mampu dengan beberapa syarat. Pertama, untuk membela agama dan menahan agresi musuh yang menyerang terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga kemaslahatan atau perbaikan, menegakan agama Allah dan membela hak-hak yang teraniaya. Ketiga, terikat dengan aturan seperti musuh yang jelas, tidak boleh membunuh orang-orang tua renta, perempuan, dan anak-anak yang tidak ikut berperang.

Jumat, 19 April 2013

Bentuk Jihad Modern



Jihad sebagai salah satu wujud pengamalan ajaran agama Islam dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam. Dalam situasi kaum muslimin mengalami penindasan, jihad dapat dilakukan dalam bentuk peperangan untuk membela diri. Tetapi, dalam situasi damai jihad dapat dilakukan dalam bentuk amal shalih seperti menunaikan ibadah haji, membantu fakir-miskin, berbakti kepada orang tua, rajin belajar dan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar.
                                                 
1.     Perang

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak pernah gentar  berperang di jalan Allah.  Apabila kaum Muslim di zalimi, fardhu kifayah bagi kaum muslim untuk berjihad dengan harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk peperangan diijinkan oleh Allah dengan beberapa syarat: untuk membela Diri, dan melindungi dakwah. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:

 “Mengapa  kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan kami, Keluarkanlah Kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-mu.” (Qs. An-Nisa[4]: 75)


“Diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (Qs.al-Hajj[22]:39).

                Dalam Berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui batas, membunuh perempuan,anak-anak dan orang-orang tua renta yang tidak ikut berperang. Islam juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti persediaan makanan, minuman dan pemukiman. Perang juga tidak boleh dilakukan apabila negosiasi dan proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan. Peperangan harus segera dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan gencatan senjata atau menekan perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Quran, peperangan dilakukan untuk menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan kezaliman), dan karena itu, apabila telah tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk melakukan peperangan. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Quran Surat al-Baqarah, ayat 193:

 “Perangilah mereka sampai batas berakhirnya fitnah, dan agama itu hanya bagi Allah semata. Jika mereka telah berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)

Demikian ajaran Islam mengenai perang. Singkatnya, perang diijinkan dalam situasi dan kondisi yang sangat terpaksa. Apabila perang terpaksa dilakukan, peperangan tersebut harus dilakukan untuk tujuan damai, bukan untuk permusuhan dan membuat kerusakan di muka bumi.


2.    Haji Mabrur

Haji yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan jihad. Bahkan, bagi perempuan, haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal ini ditegaskan dalam beberapa Hadis, diantaranya :

Aisyah ra berkata : Aku menyatakan kepada Rasulullah SAW : tidakkah kamu keluar berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada amalan yang lebih baik dari pada jihad, Rasulullah SAW menyatakan : tidak ada, tetapi untukmu jihad yang lebih baik dan lebih indah adalah melaksanakan haji menuju haji yang mabrur.


Pada riwayat al- Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda :

“Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad beliau menjawab sebaik-baiknya jihad adalah haji.”


3.    Menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad melawan penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang menimbulkan penderitaan kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian melakukan perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh cara-cara damai melalui organisasi yang memajukan pendidikan dan mengembangkan kebudayaan yang membawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad melawan penguasa yang zalim disebutkan, antara lain, dalam  hadist riwayat at- Tirmizi:

Abu Said al Khurdi menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim.

                Kata  A’ dzam pada hadist di atas, menunjukan bahwa upaya menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim sangat besar. Sebab, hal itu sangat mungkin mengandung resiko yang cukup besar pula.


4.    Berbakti  kepada orang tua

Jihad yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua, tidak hanya ketika mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat. Seorang anak tetap harus menghormati orangtuanya, meskipun seorang anak tidak wajib taat terhadap orangtua yang memaksanya untuk berbuat musyrik (Qs.Luqman,[31]:14)

Jihad dalam  berbakti kepada orang tua juga dijelaskan dalam Hadis.


Seseorang datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya Kemudian Nabi SAW bertanya: apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: masih, Nabi SAW bersabda: terhadap keduanya maka berjihadlah kamu.

Berjihad untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbingan, dan kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti memperlakukan orangtua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan orangtua, menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan melemah dengan kekurangannya serta berperilaku dengan tutur kata  dan perbuatan yang mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Isra[17] ayat 23:

 “ Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyerah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut, dalam peliharaanmu maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak  mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

5.    Menuntut  Ilmu dan Mengembangkan Pendidikan

Bentuk Jihad yang lainnya adalah menuntut ilmu, memajukan pendidikan masyarakat. Di dalam sebuah Hadis diriwayatkan Imam Ibnu Madjah disebutkan :

Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka ia sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang melihat kesenangan orang lain. (riwayat Ibnu Majah)


Orang yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu sebagaimana disebutkan pada hadis di atas, diposisikan seperti orang berjihad di jalan Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam bisa memajukan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.


6.    Membantu Fakir-Miskin.

Jihad yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin, peduli kepada sesama, menyantuni kaum duafa. Bantuan pemberdayaan dapat diberikan dalam bentuk perhatian dan perlindungan atau bantuan material.
Hadis yang diriwayatkan Bukhori berikut ini menjelaskan:

 Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang menolong dan memberikan perlindungan kepada janda dan orang miskin sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhori)

Memberikan bantuan financial dan perlindungan kepada orang miskin dan janda, merupakan amalan yang sama nilainya dengan jihad di jalan Allah.

Sebab, jihad dan perhatian atau kepedulian kepada orang yang membutuhkan bantuan, keduanya sama-sama membutuhkan pengorbanan. Dengan membantu dan memperhatikan orang-orang lemah, kita dituntut untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan harta untuk kepentingan orang lain. Dan inipun, sangat sesuai dengan pengertian jihad yang sesungguhnya.                           
Pemahaman jihad yang baik dan berimplikasi positif terhadap umat Islam. Hasilnya setiap muslim memiliki sense of crisis, suka menolong terhadap orang lain, tidak mengorbankan permusuhan, menjauhi kekerasan, serta mengedepankan perdamain. Jihad, juga dapat meningkatkan etos kerja umat Islam, yaitu semangat dan kesungguhan melakukan tugas dan tanggung jawab dalam berbagai bidang kehidupan. Jihad dapat mengalahkan kemalasan dan ketakutan. Dengan semangat jihad, dapat mengggunakan semua potensi maksimal yang dimilikinya untuk mengaktualisasikan diri dan meningkatkan sumber dayanya, sehingga dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Di tengah, banyaknya bencana dan musibah yang merenggut ribuan nyawa, jihad dalam bentuk kepedulian dan kepekaan kepada sesama, sangat diperlukan.