Tampilkan postingan dengan label kemungkaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kemungkaran. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Mei 2013

Kacamata Syariat dalam Amar Makruf Nahi Mungkar




Kedua penulis menyajikan beberapa tingkatan yang harus diperhatikan dalam melakukan amar makruf nahi mungkar, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Tingkatan tersebut sebagai berikut:
  1. Memberi tahu atau mengajari. Harus dipastikan dahulu bahwa pelaku kemungkaran yang menjadi objek penegakan amar makruf nahi mungkar adalah orang yang tidak mengetahui hukum sebenarnya dari kemungkaran tersebut. Kalaupun tahu bahwa kelakuannya merupakan kemungkaran maka ia segera meninggalkan kelakuan tersebut. Pegiat amar makruf nahi mungkar harus menjelaskan hukum kemungkaran tersebut kepada pelakunya secara lembut, penuh kasih sayang, dan sabar.
  2. Nahi mungkar harus dilakukan secara bijak, penuh nasihat, dan jika harus ditakut-takuti maka arahkan agar takut kepada Allah.
  3. Dengan menggunakan kata-kata yang lebih keras agar mau meninggalkan kemungkaran. Kata-kata yang lebih keras mungkin diperlukan, tetapi tetap harus dalam koridor kebenaran dan kejujuran serta tidak boleh menggunakan kebohongan. Penggunaan kata-kata kotor atau keji tidak diperkenankan. Demikian pula melayangkan tuduhan, seperti tuduhan zina tanpa saksi yang cukup, juga tidak diperbolehkan.
  4. Ketika tiga cara itu masih belum mempan, maka baru diperkenankan menggunakan tangan (kekuatan) untuk menanggulangi kemungkaran. Namun, para ulama juga tidak gegabah, terbukti dengan adanya tiga tingkatan dalam penggunaan tangan dalam nahi mungkar ini, yaitu sebagai berikut.
a.      Berlaku keras terhadap barang-barang tertentu, tidak langsung mengenai pelaku kemungkaran. Misalnya membanting gelas yang berisi khamar atau barang-barang pecah belah lainnya.
b.      Mengancam akan memukul.
c.       Jika kedua cara kekerasan sebelumnya masih tidak manjur, maka diperbolehkan memukul langsung pelaku kemungkaran.
Kedua penulis juga mewanti-wanti bahwa pegiat amar makruf nahi mungkar harus memosisikan diri sebagai seorang penolong. Sebagai penolong, seseorang tidak boleh semena-mena menyakiti pelaku kemungkaran, apalagi sampai menjatuhkan hukuman sesuai hudud karena kewenangan vonis dan pelaksanaan hudud hanya dimiliki oleh hakim(pemerintah).
  1. Mengangkat senjata dalam memerangi kemungkaran. Cara terakhir ini tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama karena merupakan domain pemerintah atau lembaga yang mendapatkan wewenang dari negara.

Jumat, 01 Maret 2013

Menegakkan Amar Makruf Nahi Munkar

Amar makruf nahi munkar dengan pengertian menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran adalah salah satu sendi terbesar dalam setiap agama. Para nabi: pun di utus untuk itu, sebab tanpa prinsip tersebut kerusakan di bumi akan merajalela. Di dalam al-Qur'an perintah untuk itu sangat jelas. Allah berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung".

Dalam Haditsnya Rasulullah bersabda:
Barangsiapa di antara 1 tlian mendapatkan kemungkaran maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatan), bila tidak bisa maka dengan lisannya, dan kalau itu pun tidak bisa maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.[1]

Dalam riwayat lain Rasulullah saw. berasabda:
Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma'ruf nahi munkar, atau (kalau tidak) Allah akan mengirimkan azab dari sisi-Nya dalam waktu dekat, kemudian kalian berdoa dan doa kalian tidak akan dikabulkan.[2]

Demikian prinsip-prinsip agama menyangkut amar ma'ruf nahi munkar. Dalam tradisi keilmuan Islam, prinsip ini dikenal dengan hisbah yang bertujuan menjaga stabilitas internal masyarakat Muslim dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan terhadap nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dilihat dari tujuannya sangatlah mulia, dan bukan sebuah tugas yang ringan, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa syarat dan perangkat kelengkapan yang memadai. Karena itu, seperti pada ayat di atas, yang diharapkan dapat melaksanakannya adalah Vnereka yang mencukupi syarat, tidak semua orang berkewajiban hisbah. Kata minkum mengesankan arti sebagian di antara kalian, tidak semua.

Namun dalam kenyataan, prinsip hisbah ini banyak dilakukan melalui cara-cara kekerasan. Tidak sedikit aksi kekerasan dan teror dilakukan dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar. Ayat-ayat dan Hadits seperti di atas dipahami apa adanya, secara literal, tanpa mempertimbangkan dan menghubungkannya dengan sekian ayat atau hadits lainnya sebagai sebuah kesatuan nilai-nilai agama. Dalam sejarah Islam klasik, cara-cara seperti ini pernah dilakukan oleh Khawarij  yang di kenal begitu bersemangat dalam keagamaan tetapi dengan pemahaman sempit sehingga berlebihan. Fenomena ini telah di prediksi sebelumnya oleh Rasulullah dalam sebuah sabdanya:
Pada akhir zaman nanti akan dating sekelompok orang dari kalangan muda, dengan pemikiran yang sempit. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an, tetapi mereka keluar dari kebenaran seperti panah lepas dari busurnya. Iman mereka hanya sampai di tenggorokan (tidak sampai ke hati sehingga dapat memahaminya dengan baik).

     Karna kecewa dengan perkembangan politik pasca penetapan Imam Ali sebagai Khalifah, kalangan Khawarij mengafirkan lawan-lawan politik mereka, dan menyerukan pembangkangan dengan dalih pernyataan, hukum hanya bersumber dari Allah (la hukma illa lillah). Beberapa aksi kekerasan di mesir di tahun Sembilan puluhan seperti penyerangan terhadap seniman yang dianggap mengumbar aurat, tempat-tempat maksiat, sarana-sarana dan fasilitas milik non muslim juga terjadi atas nama amar makruf nahi munkar. Penyerangan dan pengeboman gereja menjelang atau di malam natal yang sering terjadi di tanah air kita juga dilatarbelakangi itu. Jika demikian, tujuan mulia seperti apa yang ingin di capai jika cara yang di tempuh tidak mulia? Yang terjadi, upaya memberantas kemungkaran dilakukan dengan menimbulkan kemungkaran baru.

     Agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaan konsep hisbah, para ulama-berdasarkan kajian mendalam terhadap teks-teks keagamaan-menyimpulkan beberapa ketentuan bagi pelaku hiabah. Ulama besar ibnu Taimiyah mengatakan, “Amr ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang terberat. Sesuatu yang di wajibkan atau di anjurkan harus mendatangkan kemaslahatan, bukan kemudharatan, karna para Rasul di utus untuk membawa kemaslahatan, dan Allah tidak menyukai kerusakan. Karna itu, amar makruf nahi munkar tidak boleh  melahirkan kemunkaran baru. Sesuatu yang banyak mengandung mudarat tidak akan di perintahkan oleh Allah”. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat utama seseorang yang akan melakukan amar makruf nahi munkar yaitu memiliki ilmu pengetahuan, bersikap lemah lembut, berjiwa sabar dan menempuh cara-cara yang baik. Ilmu pengetahuan mengharuskan seseorang untuk melakukan perhitungan terhadap hasil yang akan di peroleh dari amar makruf nahi munkar. Kalau menurut dugaan upayanya itu tidak akan menghasilkan apa-apa (tidak membawa perubahan), bahkan justru mendatangkan bahaya maka gugur sudah kewajiban tersebut. Bahaya di maksud, menurut Imam al-Ghazali, dapat berupa penyiksaan secara fisik, kerugian secara moril atau materil (harta,kedudukan,harga diri). Al-Ghazali mencontohkan, jika dengan hisbah seseorang akan dipukul/dihukum di depan umum hingga membuatnya malu, atau harta dan rumahnya terampas, maka tidak berlaku baginya hisbah. Segala perintah dalam agama di laksanakan berdasarkan kemampuan (Qs.ath-Thalaq [65]: 7; Qs.at-Taghabun [64]: 16). Tanpa kemampuan kewajiban gugur. Pakar tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah [5]: 105 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu mendapatkan petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

     Berkata,”Seseorang muhtasib (pelaku hisbah) hendaknya berdiam, jika di rasa tindakannya memberantas kemungkaran akan mendatangkan bahaya bagi dirinya, keluarganya, atau umat Islam secara umum”. Di tempat lain ia mengatakan, “Hadits-hadits Rasul tentang amar ma’ruf nahi munkar banyak sekali, tetapi selalu di kaitkan dengan kemampuan. Hisbah ditunjukan kepada seorang mukmin yang di harapkan sadar, atau orang yang tidak tahu tapi ada keinginan untuk belajar tahu. Adapun orang yang keras kepala dengan kemungkarannya dan membela diri dengan kekuatan sehingga jika di hadapi akan timbul bahaya sedangkan kemungkaran itu akan tetap ada, maka tidak ada kewajiban untuk memberantasnya dengan kekuatan”.

     Aksi-aksi kekerasan yang belakangan ini banyak di lancarkan sebagian umat Islam, apa pun motif di balik itu, termasuk menegakan kebenaran dan memberantas kemungkaran, secara nyata telah memojokkan Islam dan umat Islam di mata dunia. Islam dan segala yang berkaitan dengannya dicitrakan sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Banyak kemaslahatan umat Islam yang terganggu akibat pencitraan seperti itu. Maka, sudah saatnya kita menampilkan wajah baru Islam yang moderat, toleran, damai, dan kasih sayang untuk kemanusiaan.