Tampilkan postingan dengan label syariat islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label syariat islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Mei 2013

1. Dampak Buruk Pengafiran


a. Kerugian-Kerugian Akibat Pengafiran
Sesungguhnya orang memvonis kafir terhadap sesama muslim secara tidak benar akan terseret ke dalam kerugian-kerugian seperti di bawah ini.
1. Terjatuh ke dalam ancaman keras yang ditetapkan syariat bagi orang yang mengafirkan seorang muslim lain. Banyak riwayat Hadis yang menunjukkan haramnya mencela muslim, dengan ucapan, “Wahai orang kafir.” Terlebih lagi dengan vonis kafir.
 Ibnu Umar Ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda,
مَنْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.
“Barangsiapa yang berkata kepada sesama saudaranya, wahai orang kafir, maka tuduhan ini kembali kepada salah satunya. Jika apa yang dikatakan benar, tidak apa-apa dan jika yang dikatakan tidak benar, tuduhan itu kembali kepada dirinya.”[1]
Tsabit bin Dhahhak Ra meriwayatkan bahwa beliau bersabda,
وَمَنْ رَمَى مُؤْمِناً بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ.
“Barangsiapa yang menuduh orang mukmin dengan kafir, dia seperti membunuhnya.”[2]
Imam Nawawi mengatakan, “Hadis ini ditakwil dengan beberapa takwil. Pertama, ancaman Hadis tadi untuk orang yang menganggapnya halal. Kedua, penghinaan dan maksiat pengkafiran kembali kepada dirinya. Ketiga, maksud Hadis tadi, orang-orang Khawarij yang mengkafirkan orang-orang mukmin. Takwil ini dhaif. Keempat, maknanya, pengkafiran akan berujung kepada kekafiran, karena maksiat adalah jendela kekafiran. Orang yang banyak melakukannya dikhawatirkan berujung pada kekafiran. Kelima, maknanya, pengkafirannya kembali kepada dirinya. Jadi, yang kembali bukan kafirnya, tetapi pengkafirannya karena ia telah menganggap saudaranya kafair, maka seolah ia mengkafirkan dirinya sendiri. Adakalanya ia mengkafirkan orang sepertinya atau mengkafirkan orang yang memang meyakini batalnya agama Islam.”[3]
Orang yang menuduh kafir kepada orang muslim berhak mendapat hukuman di dunia. Bahkan ada yang menganggap tuduhannya lebih buruk daripada tuduhan zina. Para ulama telah membahas hukumannya, sebagaimana yang kami jelaskan di bawah ini.
Penulis Ad-Durrul Mukhtar mengatakan, “Orang yang mencela dengan ucapan, ‘Wahai orang kafir,’ dikenai hukuman takzir. Apakah orang yang menuduh orang Islam sebagai kafir menjadi kafir? Ada yang mengatakan iya dan ada yang mengatakan tidak. Dalam Tatarkhaniyah disebutkan, “Ada yang berpendapat, dia tidak ditakzir selama tidak mengatakan, “Wahai orang kafir dengan Allah.” Karena ada kemungkinan dia kafir dengan thaghut.”[4]
Ibnu Abidin mengatakan, “Di dalam An-Nahr dan Adz-Dzakhîrah disebutkan, “Fatwa yang terpilih, jika dia bermaksud mencela tanpa meyakininya orang kafir, tidak kafir dan jika meyakininya kafir, lalu dia mengatakan perkataan tadi berdasarkan keyakinannya, maka dia kafir, karena dia telah meyakini orang muslim sebagai orang kafir.”[5]
2. Vonis kafir terhadap seorang muslim adalah perkara yang berbahaya. Hal ini karena vonis kafir berakibat penghalalan darah dan hartanya, perceraian dengan istrinya, putusnya hubungan dengan kaum muslimin sehingga tidak punya hak waris-mewarisi, tidak boleh menjadi wali, jika meninggal tidak dimandikan, tidak dikafankan, tidak dishalatkan dan tidak dikubur bersama kaum muslimin.
4. Menyebarnya vonis kafir terhadap kaum muslimin di kalangan orang-orang yang tidak berilmu akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat muslim. Orang yang memiliki otoritas dalam hal ini adalah para ulama yang merupakan para pewaris Nabi Saw.
5. Vonis kafir terhadap orang mukmin karena berbuat maksiat berarti menutup pintu harap bagi orang-orang mukmin yang berbuat maksiat dan membuka pintu putus asa dari rahmat Allah. Bisa jadi, orang yang berbuat maksiat tidak segera bertaubat dan meminta ampunan, bahkan cenderung meneruskan maksiatnya.
Apa yang kami sampaikan tadi merupakan sedikit dari bahaya-bahaya vonis pengkafiran terhadap kaum muslimin tanpa dasar. Kita melihat Rasulullah Saw telah menjadikan vonis kafir ini seperti pembunuhan. Hal ini menunjukkan bahaya besar yang ditimbulkannya yang bisa merusak kepribadian seseroang, bahkan merusak tatanan masyarakat muslim.


[1] HR. Bukhari, nomor 5753 dan Muslim, nomor 60 dari Abdullah bin Umar Ra.
[2] HR. Bukhari, nomor 5754 dari  Dhahhak bin Tsabit Ra.
[3] Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/50.
[4] Ad-Durrul Mukhtar Syarah Tanwirul Abshâr, 3/69.
[5] Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/69.

Selasa, 21 Mei 2013

Kacamata Syariat dalam Amar Makruf Nahi Mungkar




Kedua penulis menyajikan beberapa tingkatan yang harus diperhatikan dalam melakukan amar makruf nahi mungkar, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Tingkatan tersebut sebagai berikut:
  1. Memberi tahu atau mengajari. Harus dipastikan dahulu bahwa pelaku kemungkaran yang menjadi objek penegakan amar makruf nahi mungkar adalah orang yang tidak mengetahui hukum sebenarnya dari kemungkaran tersebut. Kalaupun tahu bahwa kelakuannya merupakan kemungkaran maka ia segera meninggalkan kelakuan tersebut. Pegiat amar makruf nahi mungkar harus menjelaskan hukum kemungkaran tersebut kepada pelakunya secara lembut, penuh kasih sayang, dan sabar.
  2. Nahi mungkar harus dilakukan secara bijak, penuh nasihat, dan jika harus ditakut-takuti maka arahkan agar takut kepada Allah.
  3. Dengan menggunakan kata-kata yang lebih keras agar mau meninggalkan kemungkaran. Kata-kata yang lebih keras mungkin diperlukan, tetapi tetap harus dalam koridor kebenaran dan kejujuran serta tidak boleh menggunakan kebohongan. Penggunaan kata-kata kotor atau keji tidak diperkenankan. Demikian pula melayangkan tuduhan, seperti tuduhan zina tanpa saksi yang cukup, juga tidak diperbolehkan.
  4. Ketika tiga cara itu masih belum mempan, maka baru diperkenankan menggunakan tangan (kekuatan) untuk menanggulangi kemungkaran. Namun, para ulama juga tidak gegabah, terbukti dengan adanya tiga tingkatan dalam penggunaan tangan dalam nahi mungkar ini, yaitu sebagai berikut.
a.      Berlaku keras terhadap barang-barang tertentu, tidak langsung mengenai pelaku kemungkaran. Misalnya membanting gelas yang berisi khamar atau barang-barang pecah belah lainnya.
b.      Mengancam akan memukul.
c.       Jika kedua cara kekerasan sebelumnya masih tidak manjur, maka diperbolehkan memukul langsung pelaku kemungkaran.
Kedua penulis juga mewanti-wanti bahwa pegiat amar makruf nahi mungkar harus memosisikan diri sebagai seorang penolong. Sebagai penolong, seseorang tidak boleh semena-mena menyakiti pelaku kemungkaran, apalagi sampai menjatuhkan hukuman sesuai hudud karena kewenangan vonis dan pelaksanaan hudud hanya dimiliki oleh hakim(pemerintah).
  1. Mengangkat senjata dalam memerangi kemungkaran. Cara terakhir ini tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama karena merupakan domain pemerintah atau lembaga yang mendapatkan wewenang dari negara.

Selasa, 14 Mei 2013

Jangan Menyamakan Orang Lain dengan Mazhab Sendiri




Sejak munculnya ilmu fikih (hukum Islam), para ulama sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Untuk itu, para pelaku amar makruf nahi mungkar harus mengetahui perbedaan para ulama ini agar tidak mudah menyalahkan orang lain. (hal. 86)

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin mengatakan, “Syarat dari nahi mungkar adalah bahwa kemungkaran tersebut sudah jelas diketahui dan disepakati. Adapun kemungkaran yang sifatnya masih debatable, sebagian ulama menganggap haram dan sebagian yang lain menganggap halal atau mubah maka tidak perlu melakukan amar makruf nahi mungkar. Karena itu, para pemeluk mazhab Hanafi tidak boleh menyalahkan para pemeluk mazhab Syafi’i yang tengah makan daging kadal. Demikian pula para pemeluk mazhab Syafi’i tidak boleh menyalahkan para pemeluk mazhab Hanafi yang tengah minum anggur yang tak memabukkan atau memberi hak waris kepada dzawil arham (hubungan kekerabatan). Demikian pula dengan permasalahan-permasalahan lain yang masih dalam lingkup ijtihad atau perbedaan pendapat di antara para ulama.

Al-Izz bin Abdussalam menyebutkan tiga batasan penting mengenai hal ini, yaitu sebagai berikut.
  1. Seseorang yang meyakini sesuatu yang debatable itu haram maka ia cukup menggunakannya untuk diri sendiri (mengharamkan untuk diri sendiri).
  2. Seseorang yang meyakini sesuatu yang debatable itu halal maka ia cukup menggunakannya untuk diri sendiri (menghalalkan untuk diri sendiri) dan tidak boleh memaksa orang lain untuk menghalalkannya.
  3. Orang yang tidak yakin bahwa sesuatu yang debatable itu halal atau haram maka ia bisa memberi pengertian kepada orang lain, tetapi tidak boleh memaksakanya.
Kedua penulis juga mengutip pernyataan Abu Ya’la mengenai hal ini, “Adapun permasalahan-permasalahan yang masih menjadi perdebatan di antara para ulama tentang halal-haramnya maka tidak bisa dijadikan objek amar makruf nahi mungkar secara mutlak. Kecuali jika perdebatan dalam permasalahan itu lemah dan mayoritas ulama mengharamkannya maka bisa dijadikan objek amar makruf nahi mungkar, misalnya mengenai riba naqd (uang) dan nikah mut’ah.”

Kedua penulis lalu mengungkapkan bahwa jika perdebatan para ulama lemah, tetapi tidak menjurus pada mudharat maka hal itu bisa dijadikan objek amar makruf nahi mungkar. (hal. 90)

Menutup bab ini, kedua penulis menyimpulkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
  1. Hal-hal yang masih debatable tidak perlu dijadikan objek amar makruf nahi mungkar.
  2. Amar makruf nahi mungkar boleh dilakukan atas perkara yang debatable, asalkan perdebatannya lemah.
  3. Perkara muamalah yang masih debatable secara lemah tidak boleh dijadikan objek amar makruf nahi mungkar kecuali perkara tersebut menjurus pada transaksi yang diharamkan secara mutlak. Namun, Imam Syafi’i menyebutkan ada dua alternatif, salah satunya adalah cukup mengimbaunya untuk melakukan transaksi yang lebih jauh dari keharaman sehingga tidak menimbulkan perdebatan lagi.
Sebagai pemungkas, ada baiknya kita mendengar nasihat Imam Ahmad bin Hanbal kepada setiap pelaku amar makruf nahi mungkar, “Jangan paksa orang lain memiliki pandangan yang sama dengan dirimu.”