Tampilkan postingan dengan label negara islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label negara islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Maret 2013

Negara Islam, Syariat Islam



Menerapkan hukum Allah adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk mengambil hukum lain sepanjang telah diterangkan oleh Allah dan rasul-nya.persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana hukum seseorang/Negara yang tidak memberlakukan hukum Allah,sementara dalam QS. Al ma’idah[5]: 44, 45 dan 47 Allah menyatakan secara berturut-turut.
      Ketiga ayat di atas memang menimbulkan dua penafsiran ekstrem yang berbeda-jika tidak saling bertentangan-antara satu dan yang lain.mereka yang cenderung radikal memaknai ketiga ayat tersebut sebagai beentuk justifikasi pengafiran orang/kelompok/Negara/muslim yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah.bagi mereka hanya ada dua pilihan: Menjadi muslim dengan memberlakukan semua hukum-hukum Allah, atau menjadi kafir karena telah melanggar semua /sebagian hukum tersebut.
      Di sisi ekstrem yang lain, kelompok sekularis mengatakan bahwa ketiga ayat diatas tidak ada hubungannya dengan kaum muslim, karena ketiga ayat tersebut diturunkan khusus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, bukan kepada kelompok Muslim. Pendapat kedua ini banyak di pengaruhi oleh pra-asumsi bahwa Islam hanyalah agama spiritual yang tidak ada hubungannya dengan sistem hukum dan pemerintahan, sebagaimana yang di yakini oleh Ali Abdul Raziq dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm. Pendapat Ali Abdul Raziq ini memang menimbulkan banyak penolakan dari para cendekiawan Muslim terkemuka, sebagaimana direkam secara baik oleh Muhammad Imarah dalam bukunya Ma’rakat al-Islam wa Ushul al-Hukm. Di antara cendekiawan Muslim yang cukup keras menolak pendapat Ali Abdul Raziq adalah Muhammad Dhiya’uddin ar-Reis dalam bukunya “al-Islam wa al-Khalifah”. Menurut ar-Reis, penafsiran bahwa ketiga ayat di atas hanya diperuntukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani dan tidak ada sangkut pautnya dengan kaum Muslim merupakan penafsiran yang sama sekali tidak tepat. Sebab, kata “man” (siapa saja/barang siapa) dalam ketiga ayat itu adalah suatu lafal yang bersifat umum. Oleh karenanya, penggalan akhir dari ketiga ayat tersebut menyuguhkan kepada kita redaksi yang bersifat umum, yang tentu mencangkup di dalamnya kaum Muslim. Kecuali itu, menurut ar-Reis, pengkhususan perintah penerapan hukum Allah sebagaimana tertuang dalam ketiga ayat itu hanya kepada umat Yahudi dan Nasrani-dua agama samawi yang relative lebih sedikit memuat aturan-aturan hukum dibandingkan aturan-aturan dalam Islam yang lengkap-merupakan pengkhususan yang out of contexs. Sebab, Islam sebagai agama yang lebih banyak memuat aturan-aturan hukum lebih layak dituntut untuk menerapkan aturan-aturan hukumnya ketimbang umat Yahudi dan Nasrani.
Tentu saja, penolakan yang keras atas interpretasi kelompok sekularis itu muncul dari kelompok radikal yang sayangnya, justru melahirkan suatu sikap ekstrim lain karna begitu mudah mengafirkan mereka yang dianggap tidak menerapkan hukum Allah. Bahkan, kelompok radikal yang sering disebut sebagai Hakimiyatullan yang kerap mengatribusi umat Islam dewasa ini sebagai masyarakat jahiliyah (sebagaimana di tuturkan oleh al-Maududi dan Sayyid Quthb), lebih jauh menganggap sistem demokrasi yang di anut oleh hampir seluruh Negara dunia Islam dewasa ini, sebagai salah satu bentuk penerapan hukum selain hukum Allah, dan karenanya di anggap komunitas-negara kafir. Tentu saja, sikap ekstrim-radikal ini tidak dapat di benarkan, sebagaimana penafsiran kaum sekularis liberalis atas ketiga ayat di atas untuk memisahkan Islam dari sistem hukum juga tidak dapat dibenarkan.
     Oleh karena itu, mari kita melihat ketiga ayat di atas dengan lebih cermat, sehingga kita dapat mendapatkan suatu penfasiran yang tepat dan proporsional pertama-tama sekali, dalam pandangan mayoritas umat Islam, masalah hukum merupakan persoalan furu (fiqih-syariah) dan bukan ushul (akidah/sistem keimanan). Jika perbedaan pendapat dalam masalah furu hanya dapat dikatakan “benar” atau “salah”, maka dalam masalah ushul, seseorang bisa terjerumus dalam kekufuran. Oleh karenanya, mereka yang tidak menjalankan hukum Islam karena melanggar-bukan lahir dari pengingkaran dan penentangan-tidak dapat di anggap telah keluar dari Islam (kafir). Lebih dari itu, sebagaimana perbedaan iman dan Islam yang telah di jelaskan diawal tulisan ini, persoalan hukum lebih merupakan aspek amaliyyah yang bersifat lahir (Islam), bukan termasuk aspek akidah (iman), yang membuat seseorang bisa menjadi kufur bila melanggarnya. Alhasil, mereka yang melanggar hukum-dari keimanan dan keIslaman (kafir), kecuali perbuatan maksiat yang di lakukan adalah suatu perbuatan yang menunjukkan kekufuran (seperti bersujud kepada selain Allah untuk maksud penyembahan dan penuhanan).
Demikianlah, melanggar perintah-perintah Allah dengan melakukan kemaksiatan, tidaklah membuat seseorang menjadi kufur, kecuali kemaksiatan yang di lakukannya di dorong oleh peningkaran dan ketidakpercayaan ataskewajiban-kewajiban agama.Dari titik ini dapat dikatakan bahwa pelanggaran dan pengingkaran adalah dua hal yang bebeda.Jika pelanggaran atas hukum-hukum agama akan membuat seorang Muslimmenjadi pendosa yang fasiq, maka pengingkaran akan kebenaran hukum Allah akan mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Dengan demikian, jika yang terjadi di Negara-negara Muslim adalah pelanggaran atas hukum-hukum Allah dengan tetap meyakini kebenaran ajaran-Nya, maka yang terjadi adalah kezaliman dan kefasiqan, bukan kekufuran.
     Menurut Fahmi Huwaidi, paling tidak ada dua sebab mengapa realitas penerapan suatu hukum yang Alllah turunkan bukanlah suatu bentuk kekufuran. Pertama, nash-nash agama tidak menganggap “pelanggaran” terhadap hukum Allah sebagai bentuk kekufuran. Karenanya, tak aneh ketika banyak khalifah di masa-masa awal Islam –saat beberapa Sahabat Nabi dan Ulama Tabi’in masih hidup– memaksa rakyat untuk membait  putra-putra mahkota mereka, suatu bentuk pelanggaran hukum atas syura yang ditetapkan Allah, namun tak seorang pun saat itu –kecuali Khawarij– yang mengafirkan para khalifah itu. Dan kedua, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menerapkan hukum selain hukum Allah bukanlah persoalan akidah dan keimanan, melainkan pelakunya termasuk dalam golongan pendosa (ashi) dan fasiq, bukan kafir.
     Pernyataan di atas sebenarnya akan semakin jelas bila kita melihat sebab turunya ayat 44,45 dan 47 dari QS. Al- Maidah seperti disebut di atas. Dalam berbagai kitab tafsir dikatakan bahwa ketiga ayat ini diturunkan kepada orang-orang Yahudi yang menolak pemberlakuan hukum rajam yang Allah tetapkan bagi penzina yang telah kawin (muhsan). Mereka berusaha mengganti hukum raja mini dengan hukum cambuk. Penolakan orang-orang Yahudi ini lahir dari keyakinan mereka bahwa hukum rajam yang Allah tetapkan itu tidak lagi sesuai dengan kondisi mereka. Penolakan yang dibarengi pelecehan ini tentu telah merusak akidah dan keimanan mereka akan kesempurnaan hukum yang Allah turunkan. Lebih jauh, orang-orang Yahudi ini kemudian mencari hukum lain yang mereka anggap lebih baik dari hukum Allah, yaitu hukum cambuk. Lengkaplah sudah bila penolakan, penghinaan, dan penyelewengan hukum Allah ini membuat mereka pantas menerima label kufur.
Oleh karena itu, menukil dari Tarjamun al-Qur’an, Ibnu Abbas ra, ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat-ayat di atas sebagai berikut , “Sesungguhnya orang yang menentang (jahada) apa yang Allah turunkan, maka ia telah kafir.tetapi,orang Yang mengakui hukum Allah tetapi tidak menerapkannya,ia adalah orang yang zalim dan fasiq.
     Sementara al-Qurthibi dalam tafsiranya mengatakan,”firman Allah ta’ala “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itu adalah orang orang yang kafir,orang orang yang zalim,otrang orang yang fasiq”.ayat-ayat ini dituruknkan kepada orang orang kafir sebagaimana diriwayatkan oleh imam muslim… adapun seorang muslim yang melakukan pelanggaran dosa besar,ia bukanlah kafir.dikatakan juga bahwa ayat tersebut ada yang tidak disebut tersurat,yakni bahwa mereka yagn tidak menerapkan hukum yang Allah turunkan karena mengingkari al-Qu’ran dan menentang Rasul-Nya,maka ia adalah seorang kafir… menurut ibnu ma’sud dan al-hasan, ayat tersebut berlaku umum bagi siapa saja yang tidak menerapkan hukum yang Allah turunkan karena menentang Allah dan hukum-hukumnya, baik kaum muslim, yahudi, nasrani atau musyrik.adapun yang melakukan kemaksiatan karena tidak yakin bahwa ia sebenarnya telah melakukan pelanggaran,maka ia termasuk orang muslim yang fasiq yagn perkaranya ada di tangan Allah,yakni diazab atau diampuni sesuai dengan kehendak-Nya.a”
     Penjelasan serupa juga kita dapatkan dalam tafsir ar-razi saat ia menjelaskan makna ayat 44 surah al-Ma’idah: “Ikrimah mengatakan bahwa firman Allah: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir”, hanya berlaku bagi mereka yang hati dan lidahnya mengingkari dan menentang hukum-hukum Allah. Adapun mereka yang hati dan lidahnya mengakui (hukum-hukum Allah), tetapi kemudian ia melanggar apa yang ada dalam hatinya, maka sebenarnya ia adalah orang yang meyakini kebenaran hukum Allah namun meninggalkannya dalam tindakan. Orang seperti ini tidak dapat dikatagorikan sebagai kafir sebagaimana dalam ayat di atas.’’
     Dari beberapa penafsiran di atas, menjadi jelas bahwa titik persoalannya memang berkisar pada ketidaktepatan beberapa kalangan dalam memahami kata kafir dalam ayat 44 QS. Al-Ma’idah. Oleh karenanya, dalam madarij as-salikin, Ibnu al-Qayyim membedakan dua macam kekufuran: Kufur-besar (al-kufr al-akbar) dan kufur-kecil (al-kufr al-ashghar). Kufur besar adalah kekufuran yang menyebabkan seseorang keluar dari agama sehingga kekal di neraka; sementara kufur-kecil menyebabkan pelakunya diancam siksa neraka namun tidak kekal di dalamnya. Kufur-besar membuat pelakunya keluar dari agama, sementara kufur-kecil tidak samapi membuat pelakunya keluar dari agama. Istilah kufur-kecil dapat didapati dari beberapa redaksi hadits Nabi, misalnya, sabda beliau: “Dua hal pada umatku yang meraka menjadi kafir (kecil) karenanya: Merusak nasab dan meratapi mayit (niyahah).” Demikian pula sabda beliau: “ Jangan kembali sepeninggalanku kepada kekufuran, (yaitu) sebagian kalian saling memukul leher sebagian yang lain (berperang/saling membunuh).”
     Menurut ibnu al-Qayyim, contoh lebih dari kufur-kecil yang tidak membuat pelakunya menjadi keluar dari agama adalah firman Allah swt dalam QS. Al-Ma’idah [5] 44. Pendapatnya menyatakan,” Inilah penafsiran Ibnu abbas ra. Mayoritas sahabat atas ayat “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang–orang yang kafir”, di mana Ibnu abbas mengomentari ayat ini,” Sesungguhnya ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari Islam… bukan pula seperti kekufuran kepada Allah dan Hari Akhirat.” Demikian juga komentar Thawus atas ayat di atas,” Itu adalah kekufuran (kecil) yang bukan dan berada dibawah kekufuran (besar)…”
     Setelah memamparkan beberapa penafsiran ulama tentang makna kufur, Ibnu al-Qayyim samapi pada kesimpulan,” Yang benar adalah bahwa menerapkan hukum selain yang diturunkan Allah dapat mengantarkan pelakunya kepada dua jenis kekufuran: Kufur-besar dan kufur-kecil, tergantung kondisi pelakunya. Jika ia meyakini kewajiban hukum Allah dalam suatu perkara, tetapi ia melanggar dengan tetap meyakini bahwa pelanggarannya dalah suatu dosa, maka ia telah melakukan kufur-kecil. Tetapi, jika ia meyakini hukum Allah sebagai perkara yang tidak wajib, dan ia merasa bebas (tidak bersalah) saat mengabaikannya, maka ia telah terjerumus ke dalam kufur-besar. Sementara, bila ia melakukan akibat kebodohan dan kesalahan-penafsiran, maka ia termasuk orang yang bersalah… simpulnya adalah bahwa semua bentuk kemaksiatan (pelanggaran-pelanggaran atas hukum Allah) termasuk dalam jenis kufur-kecil, suatu jenis kekufuran yang merupakan lawan dari syukur yang menuntut ketaatan, (bukan lawan dari iman yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama).”
     Apa yang dikemukakan oleh para ulama klasik terkemuka sebagai dipaparkan di atas, juga menjadi pendapat beberapa cendekiawan Muslim kontemporer semisal Yusuf al-Qaradhawi. Dalam beberapa karyanya, al-Qaradhawi –mengutip pendapat Rasyid Ridha– menulis; “ Tepatlah senyalemen Allah dalam ketiga ayat surat al-Ma’idah itu ketika menyifati orang kafir, orang zalim, dan orang fasik, masing-masing sesuai dengan keadaannya. Bila seseorang menolak melaksanakan hukum Allah yang qath’i karena menganggapnya buruk dan lebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia, maka ia telah terjerumus dalam kekafiran. Sedangkan orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu karena alasan lain yang mengakibatkan terjadinya pengabaian hak dan keadilan, maka dia adalah zalim; dan yang tidak mengakibatkan pengabaian hak dan keadilan sebagai fasiq saja. Sebab, kata fasiq lebih umum ketimbang lainnya. Setiap orang yang kafir dan zalim adalah fasiq; tidak sebaliknya.;
     Demikian pula khawatir  (kesan) yang diperoleh pakar tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab, saat mengupas ayat 44 surah Al-Mai’dah berpendapat; “(ayat ini) dipahami dalam arti kecaman yang amat keras terhadap mereka yang menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Tetapi ini oleh mayoritas ulama.. adalah bagi yang melecehkan Hukum Allah dan mengingkarinya Memang satu kekufuran dapat berbeda dengan kekufuran yang lain, demukian pula kefadiqan dan kezaliman non-Muslim. (sebab), kekufuran seorang muslim bias diartikan pengingkaran nikmat… Betapapun, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini menegaskan bahwa siapa saja-tanpa kecuali-jika melecehkan hukum-hukum Allah atau enggan menerapkannya karena tidak mengakuinya, maka dia adalah kafir, yakni telah keluar dari agama Islam”.

Rabu, 06 Maret 2013

Labelisasi Negara-kafir


Persoalannya kemudian adalah bahwa kelompok-kelompok radikal yang muncul di Dunia Islam ini tampaknya cenderung simplistic dalam memahami ayat 44 surah al-ma’idah ini. Mereka kerap melabelkan para penguasa di Negara-negara  mayoritas Muslim yang,dalam pangdangan mereka, tidak menerapkan hukum Allah, sebagai kafir, sehingga berhak “diperangi”. Adalah suatu hal yang sangat disayangkan bila dalam pandangan simplistic kelompok radikalis ini hamper seluruh Negara Arab-Islam dewasa terkena lebel sebagai Negara kafir.

     Dalam analisis M. S Ramadhan al-Buthi, ulama terkemuka asal Suriah, pandangan simplistik ini sesungguhnya mengandung dua kesalahan fatal dalam pandangan semua aliran pemikiran Islam, kecuali Khawarij. Pertama, pandangan simplistik itu akan mengakibatkan terjadinya pengafiran missal tanpa melihat individu-individu muslim secara perorangan; dan Kedua, munculnya asumsi bahwa setiap pelanggaran hukum Allah sebagai kafir,tanpa melihat lebih jauh motivasi dan alasan-alasan yang melatarbelakangi terjadinya pelanggaran itu.

     Sebab,boleh jadi seorang Muslim tidak melaksanakan syariah Islam bukan karena pengingkaran dan pelecehan atas hukum Allah, melainkan kerena alas an kemalasan, dorongan hawa nafsu,interes-interes keduniaan, atau alas an lain yang bukan yang bukan pengingkaran dan pelecehan. Secara demikian, sebelum vonis kafir dijatuhkan,seseorang harus memverifikasi alas an orang per orang mengapa mereka tidak melaksanakan Hukum Islam. Bila alasan-alasan dibalik itu belum ditemukan, maka keIslaman seseorang tidak boleh diganggu gugat berdasarka kaidah “Suatu prinsip adalah tetapnya sesuatu sebagaimana” (al-ashlu baqa’u ma kana’ala ma kana).  
 
     Yang perlu ditegaskan kembali adalah bahwa, sesuai dengan pendapat seluruh aliran kalam dan fiqih Islam-kesuali aliran khawarij yang radikal dan menyimpang-pengafiran (takfir) adalah persoalan akidah. Bila perkataan dan perbuatan seseorang Muslim telah secara jelas dan menyakinkan bertentengan dengan prinsip-prinsip akidah Islam, diantaranya melecehkan dan mengingkari hukum-hukum Allah, maka ia dapat disebut sebagai telah keluar dari Islam (kafir). Namun, bila tidak terdapat bukti yang jelas dan menyakinkan bahwa ia telah menghina dan melecehkan hukum Allah karena adanya kemungkinan-kemungkinan atau alas an lain, maka pelanggaran yang dilakukan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan kafir, paling jauh sebagai pendosa yang fasik. Adapun hakikat yang ada di dalam hatinya, kita serahkan kepada Allah yang Mahatau,nahkumu bi al-zhawahir wa-llah yatawalla al-sara’ir.

Sampai titik ini, ada baiknya kita mengutip perkataan Imam Ahmad, seorang ulama yang dikenal dangat tegas dalam menjalankan hukum-hukum Allah, untuk mendukung kesepakatan seluruh aliran kalam dan fiqih Islam-terkecuali khawarij-tentang persoalan takfir sebagaimana dijelaskan di atas. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Qudamah, Iman Ahmad pernah berkata:
Barang siapa yang mengatakan khamar adalah halal,maka ia telah kafir yang diminta untuk bertobat. Bila bertobat, maka ia kembali menjadi muslim; bila tidak, ia boleh dibunuh. Tetapi pengafiran ini harus dibatasi bagi mereka yang sengaja menghalalkan apa yang telah pasti pengaharamannya, atau meminum khamar, mereka tidak bisa divonis fafir (murtad) begitu saja, baik mereka melakukannnya dia Darul Harb atau di Darul Isalm. Sebab, boleh jadi mereka melakukan hal-hal itu dengan tetap menyakini keharamannya. Demikian pula halnya bentuk-bentuk pelanggaran lainnya.”

Selasa, 05 Maret 2013

DAR AL-ISLAM DAN DAR AL-HARB


Istilah dar al-Islam dan dar al-harb/al kufr begitu sangat popular dalam buku-buku fiqih dan sejarah Islam klasik. bahkan, tidak sedikit ulama kontemporer yang masih menggunakan istilah tersebut dengan mengklasifikasi masyarakat berdasarkan keyakinan/akidah; Muslim atau non-Muslim. Al-Maududi, ulama besar Pakistan, misalnya, menyatakan Negara/masyarakat yang tidak menerapkan hukum Allah (hakimiyyatullah) adalah masyarakat jahiliah dan dianggap telah kafir (wilayah/dar al-kufr). Mereka yang menerima prinsip-prinsip Negara Islam disebut muslim,dan yang tidak menerima disebut non-muslim. atas dasar itulah masyarakat sebuah Negara Islam dibatasi. senada dengan itu,pakar hukum Islam dari irak, Abdul Karim Zaidan, menulis: ”syariah Islam mengelompokan masyarakat berdasarkan sikap mereka terhadap Islam; menolak atau menerima”. berangkat dari pemahaman ini, tidak sedikit kelompok muslim yang melancarkan serangan terhadap pemerintah Negara yang tidak menerapkan hokum Islam sepenuhnya, meskipun pemimpinnya seorang muslim.    

     Menurut mereka, menegakkan hukum Allah adalah sebuah keharusan, dan itu hanya dapat dicapai dengan mendirikan Negara Islam. Wilayah atau Negara yang menerapkan hukum Allah itu disebut.dar al-Islam.sebuah dar al-Islam  berubah statusnya menjadi dar al-kufr/al-harb bila terdapat tiga hal: 1)berlaku hukum-hukum orang kafir; 2) tidak ada rasa aman bagi umat Islam di negeri tersebut; dan 3)berdampingan dengan wilayah kafir yang mengancam ketenangan umat Islam.mengingat hampir seluruh Negara berpenduduk muslim tidak menerapkan hukum Allah,tetapi menggunakan undang-undang atau hukum yang dibuat oleh non-muslim,maka pemerintahan Negara tersebut adalah kafir dan harus diperangi. Bagi mereka, sikap mengesampingakan hukum Allah dan menggantinya dengan hukum buatan manusia  merupakan tindakan yang dikecam oleh al-Qur’an seperti dalam firman nya:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs.al-Ma’idah [5]: 50).

     Pembagian wilayah /Negara atau masyarakat seperti di atas tidak di temukan dalam al-Qur’an ataupun hadits, tidak ada di bagian manapun dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara eksplisit klasifikasi seperti itu, begitu pula dalam sunnah Rasul. Pembagian tersebut merupakan ijtihad atau pandangan para ulama masa lalu dalam menggambarkan pola hubungan antara muslim dan non-muslim, yang di pengaruhi oleh situasi atau realitas saat mereka hidup dulu. Oleh karna itu, tidak patut untuk di pandang sebagai ajaran atau ketentuan agama. Pandangan tersebut dikemukakan dalam rangka merespons realitas yang sudah sangat berbeda dengan relitas saat ini.

     Thariq Ramadhan, cucu pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, menulis dalam bukunya, To Be a European Muslim:
“Dar al-Islam dan Dar al-harb adalah dua konsep yang tidak biasa di temukan dalam al-Qur’an maupun sunnah. Keduanya sebenarnya tidak berakar pada sumber dasar Islam yang prinsip-prinsipnya di persembahkan untuk seluruh dunia (lil ‘alamin), menembus batas waktu dan segala batasan geografis bahkan, hal itu adalah usaha manusia yang pengaruhi oleh sejarah dengan tujuan untuk mendeskripsikan dunia dan untuk memberi umat Islam suatu standar bagi mengukur dunia dan menyesuaikan diri dengan realitas mereka.”
Besarnya tantangan yang di hadapi dakwah Islam sejak perjalanannya, baik di jazirah Arab maupun di luarnya, membentuk pola pikir tersendiri di kalangan penganutnya dalam menghadapi pihak-pihak di luar Islam. Siksaan dan tekanan yang di lakukan kaum musyrik mekkah, konspirasi yahudi Khaibar, Bani Nadhir, dan Bani Qaynuqa’ serta serangan Persia dari timur dan Romawi Byzantium dari barat adalah sekedar menyebut contoh permusuhan terhadap Islam. Karena itu, sangat wajar kalau kemudian upaya mengamankan misi dakwah menjadi prioritas perhatian para aktivis dakwah pada periode awal. Dan menjadi sangat logis kalau para ahli fiqih dalam mengklasifikasi masyarakat pada waktu itu di pengaruhi oleh suasana psikologis seperti itu yang kemudian melahirkan kategori pembagian wilayah menjadi dar al-Islam (Negara/Islam) dan dar al-harb (Negara/wilayah perang). Istilah dar al-Islam pertama di sematkan kepada kota Madinah, tempat Rasulullah berhijrah. Selanjutnya, setelah perluasan wilayah, satu per satu wilayah tersebut dinamakan dar al-Islam. Sebaliknya, kota/wilayah selain Madinah pada masa awal di sebut wilayah perang dan perjuangan. Istilah lain untuk dar al-harb adalah dar al-kufr (wilayah kufur) atau dar al-syirk (wilayah syirik).

     Dalam fiqih Islam, klasifikasi masyarakat tidak selalu demikian, yaitu berdasarkan keyakinan/akidah. Para ulama sendiri berbeda pendapat mengenai definisi dar al-Islam dan dar al-harb. Para pengikut Mazhab Hanafi dan Zaidiyah berpandangan yang menentukan adalah terpenuhinya rasa aman bagi penduduknya. Jika di tempat tersebut seorang muslim secara penuh merasa aman, maka itulah dar al-Islam; dan jika tidak ada rasa aman, maka itulah dar al-harb (wilayah perang). Sebagian ulama berpendapat, jika umat Islam merasa aman di suatu wilayah dan dapat melaksanakan ritual keagamaan dengan baik, maka wilayah tersebut adalah dar al-Islam, meskipun dipimpin oleh seorang non-Muslim/kafir. Berdasarkan pandangan ini, klasifikasi wilayah tidak berdasarkan Islam atau tidak, tetapi terpenuhi rasa aman atau tidak. Maka, keliru jika ada yang beranggapan, yang di sebut warga Negara/penduduk dalam sebuah Negara Islam adalah yang menganut Islam, sementara non-muslim disebut warga Negara asing/pendatang.

     Selain itu, adanya dar al-harb tidak menandakan keadaan perang di antara kedua golongan. Klasifikasi itu tidak berarti harus membuat permusuhan terhadap non-muslim. Dua orang ulama paling terkenal dari Mazhab Hanafi, Abu Yusuf dan asy-Syaibani, memandang bahwa status dar al-harb boleh diberikan kepada tanah di bawah kekuasaan Muslim dan diisi oleh penduduk muslim jika berlaku hukum bukan Islam. Mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa suatu negeri non-muslim yang tidak berada dalam keadaan perang dengan muslim tidak dinamakan dar al-harb. Pandangan ini menepis anggapan bahwa umat Islam di perintahkan untuk senantiasa berperang tanpa henti dengan non-muslim.

     Pola hubungan antara umat Islam dan lainnya sangat jelas digambarkan oleh Rasulullah ketika membuat perjanjian dengan “pihak lain” (kabilah-kabilah Arab dan Yahudi), yang dapat di anggap sebagai naskah konstitusi Negara yang pertama dalam Islam. Di situ disebutkan, “Yahudi dari Bani Auf adalah bersama umat Islam”. Dalam kesepakatan itu, wilayah non-muslim tidak di kelompokkan sebagai dar al-harb, tetapi mereka adalah bagian dari umat Islam selama menunjukkan loyalitasnya.

     Prinsip hubungan muslim dan non-muslim adalah kedamaian dan keharmonisan. Walaupun berbeda dalam akidah, seorang muslim tidak diperkenankan menyerang mereka yang berbeda agama dan keyakinan hanya karena perbedaan itu. Selama mereka tidak menunjukkan permusuhan dan tidak melakukan ancaman perang, maka tidak boleh memerangi mereka. Prinsip hubungan tersebut di atur dalam firman Allah berikut:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Qs.al-Mumtahanah  [60]: 8-9)

     Klasifikasi itu dibuat di saat dunia belum mengenal hukum internasional dan organisasi-organisasi internasional yang mengatur pola hubungan antara masyarakat dunia. Konsep dar al-harb saat ini hanya ada dalam buku-buku sejarah masa lalu, dan sulit ditemukan bentuknya dalam masyarakat modern. Negara atau wilayah yang di huni umat Islam saat ini terbagi dalam banyak Negara yang terhubung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Hanya empat Negara yang dengan tegas menyebut sebagai Negara Islam, yaitu Pakistan, Iran, Komoros, dan Mauritania. Lainnya berbau nasionalisme, atau menyandang nama keluarga besar. Satu hal yang ironis, jika kita lihat realitas saat ini, wilayah perang (dar al-harb) tidak lagi di wilayah non-muslim, tetapi perang saat ini banyak terjadi antara Negara-negara yang di huni umat Islam. Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat saat ini sudah berubah, sehingga klasifikasi yang pernah dibuat oleh ulama masa lalu tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Para ulama sepakat bahwa sebuah fatwa hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan waktudan tempat.

     Selain itu,saat ini setiap Negara muslim yang merupakan anggota dari perserikatan bangsa-bangsa(PBB) secara otomatis mempunyai perjanjian damai dengan semua anggota PBB lain sesuai dengan aturan piagam PBB. Ketika suatu Negara menandatangani perjanjian untuk menjadi anggota PBB sebenarnya negara tersebut mendatangani kontrak. Islam mewajibkan muslim untuk memenuhi semua kontrak yang telah disepakati,tanpa membadakan kontrak tersebut ditandatangani sesama muslim ataupun dengan iman non-muslim. (QS. Al-Ma’idah [5]: 1)
     Lalu, bagaimana kita menyikapi Negara dan penguasa yang tidak menerapkan hukum Allah? Dan, apakah Negara-negara berpenduduk muslim saat ini, termasuk Indonesia, tidak menerapkan hukum Allah sehingga harus diperangi? urainnya terdapat pada tulisan berikut.