Tampilkan postingan dengan label radikal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label radikal. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 April 2013

JIHAD YANG KAFFAH



Kata syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah ayat al-Qur’an. Diantaranya firman Allah yang menyatakan:
                                    
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itu teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa [4]:69).

                Menurut Tafsir al- Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang memberi  kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik dengan argument atau penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang terbunuh di jalan Allah disebut dengan syahid. Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela agama Allah dan jiwanya demi membela agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama Allah itu yang benar. Lain dari itu adalah batil( ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180). Dalam ungkapan yang lain, penulis at- Tafsir al-Wadhih menerangkan, bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan kebenaran dengan alasan dan bukti serta berperang di jalan Allah dengan pedang dan tombak hingga ia terbunuh (Hijazi, 1969: juz 5, h.32). Dalam pandangan kedua musafir itu, senjata yang  digunakan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang digunakan pada masa al-Qur’an diturunkan.

                Menurut penulis Tafsir Majma’ al-Bayan, syuhada adalah orang-orang terbunuh di jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang muslim sangat dianjurkan untuk mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh mendambakan dibunuh orang kafir sebab pebuatan itu adalah maksiat, yang terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam menegakan kebenaran karena Allah, mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh karena itu Syuhada adalah predikat terpuji. Orang boleh mendambakan predikat itu, tetapi orang tidak boleh mendambakan dibunuh oleh orang kafir,sebab perbuatan itu adalah maksiat (ath-Thabari,1994: jilid 3, h. 121).

                Penegasan yang hampir sama dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar mati terbunuh di tangan orang kafir tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu adalah suatu bentuk kekafiran (Lihat ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180).

                Berkaitan dengan itu, Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan :

Barang siapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya sampai pada derajat kesyahidan, meskipun ia mati di atas tempat tidurnya(an-Nawawi, 2005 :245)

                Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang lainnya Rasulullah SA, mengatakan:

Barang siapa mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur sebagai syahid” (an-Nawawi, 2005:245).

                Berdasarkan kedua hadis di atas, dapat dipahami bahwa kesyahidan dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang dimaksud harus dengan jalan yang benar. Selain itu derajat kesyahidan dapat di peroleh meskipun orang yang bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain, derajat kesyahidan terletak pada nilai perbuatan seorang muslim yang telah turut serta berperang di jalan Allah.

                Menurut al- Jurjawi, Allah SWT,  memberi keutamaan kepada orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: “ Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh” (Qs. At-Taubah[9]: 111). Itu tidaklah dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian.

                Namun, maksudnya adalah mereka berperang baik mereka terbunuh atau tidak terbunuh. Jika mereka terbunuh, maka  hal itu adalah sesuatu yang jelas dan dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti keluarga,harta benda dan anak-anak (al-Jurjawi,1997: jilid 2, h. 221-222).

Syuhada dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang Badar. Ketika itu tentara muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy dari kaum muslimin gugur sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70 orang. Tentara muslim yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan oleh pihak kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan keberhasilan mereka menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan menghalau pasukan musuh.

                Perang Badar terjadi pada tahun kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW. Bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah untuk menghindari gangguan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin pada periode Mekkah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi pada periode Madinnah, maka perang antar kedua belah pihak tak dapat dielakan. Fakta sejarah tersebut, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan:

Janganlah kalian mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah keadaan yang sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan mereka, maka tegarlah. Muttafaqun ‘alaih (an-Nawawi, 2005: 248).

                Tentara muslim yang mengikuti peperangan di jalan  Allah terikat dengan sejumlah ketentuan. Syarat-syarat utuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2) Islam, 3)  Sehat jasmani dan rohani, dan 4) Keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang peperangan, terampil menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak pengecut (Khattab, 1989: 56).

                Hampir senada dengan penjelasan di atas, ulama fiqih menyebutkan bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas beberapa ketentuan, yakni: muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki bekal yang cukup baginya dan keluarganya hingga jihad selesai (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 32). Ulama fiqih merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang mencerminkan belas kasih (rahmah) yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan bahwa kalaupun Islam membolehkan perang sebagai salah satu tuntutan darurat, maka Islam memberinya batasan tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah peperangan tidak boleh dibunuh, orang sakit, orang tua jompo, rahib, al-ubbad (ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga mengharamkan al-mutslah (penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air, mencemari sumur dan menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang terluka, mengejar orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan karena perang itu laksana tindakan operasi bedah, tidak boleh melampaui tempat penyakit itu berada v(Sabiq, 1983 : jilid 3, h. 60).

Diriwayatkan dari Anas ra., bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: “ Berangkatlah kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah, sesuai tuntutan agama(yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh orang tua jompo, anak yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian, dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (H.R. Abu Daud) (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47).

                Orang jompo dan wanita yang dikecualikan untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi pertimbangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan akhirat., Istilah syahid akhirat digunakan terhadap : a) orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad, et.al., 2004: jilid 2, h. 200). Pembagian syahid semacam ini  dikemukakan pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as Sunnah(Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).
                Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang memuji orang-orang yang mati syahid, diantaranya:

 “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”(Qs. Al-Baqarah [2]: 154).

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Merka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh untuk terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan besar.” (Qs. At-Taubah [9]: 111).

Rabu, 24 April 2013

Contoh kasus dalam menjalankan Syariat Islam


Satu hal yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks keagamaan, melainkan juga pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurniaan teks al-Qur’an dan Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syariat Islam.
            Lebih problematis lagi ketika teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi, juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang tidak berimpilasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Dia antara ulama yang mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atas  adalah  al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur, Mufti Tunis dan pengarang tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.
            Contoh khasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari pohon korma agar produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma, sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab penjelasan (syarah) Shahih Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma qalahu syar’an, duna ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi ad-dunya ‘ala sabil al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syariat agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).
            Pada bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar, bahkan liberal.

Rabu, 17 April 2013

Islam dan Perang


Harus diakui bahwa Islam membenarkan peperangan dalam rangka membela diri dan membela kebenaran, serta mengelakkan penganiayaan, atau dengan kata lain untuk meraih rasa aman dan damai bagi semua pihak. Tetapi, yang pertama perlu digarisbawahi adalah bahwa sifat dasar kaum beriman adalah tidak menyukai perang. Ini ditegaskan oleh al-Qur'an ketika berbicara tentang kewajiban berperang, demi tegaknya keadilan dan perdamaian, Allah berfirman:
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu tidak senangi. (Tapi) boleh jadi kamu menyenangi sesuatu, padahal ia baik bagi kamu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padchal ia buruk bagi kamu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Sekali lagi, peperangan dibenarkan bila tidak ada lagi jalan lain untuk menghindarkan penganiayaan dan memantapkan keamanan kecuali dengan perang. Karena itu, bila peperangan terjadi maka semua yang tidak terlibat hams dipelihara. Anak-anak dan perempuan harus dilindungi, pepohonan jangan ditebang, lingkungan jangan dirusak.
Perang juga harus dihentikan begitu penganiayaan terhenti.
"Dan perangilah mereka itu, (yang sehingga tidak ada lagifitnah dan (sehingga) ketaatan hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yangzalim (QS. al-Baqarah [2]: 193)
Yang dimaksud dengan "ketaatan hanya semata-mata untuk Allah" adalah bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus ditaati, antara lain memberi kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan mengamalkan agama dan kepercayaannya karena masing-masing akan mempertanggungjawabkannya sesuai firman-Nya lakum dinukum wa liya dm (QS. al-Kafirun [109]: 6)
Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim dalam ayat ini mencakup orang-orang kafir yang terus melakukan agresi, dan juga kaum Muslim yang melanggar tuntunan penghentian permusuhan itu. Dan jika itu terjadi, maka Allah akan membiarkan mereka dilanda agresi dan permusuhan melalui apa atau siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Al-Qur'an juga mengingatkan bahwa jika ada ajakan damai, dari siapa pun maka ajakan itu harus disambut:
"Dan jika merek i condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah YangMaha Mendengar lagiMaha Mengetahui". (QS. al-Anfal [8]: 61)
Ayat ini menunjukkan bahwa kaum kafir pun memperoleh rasa aman, namun tentu saja rasa aman yang sempurna dirasakan oleh orang-orang Mukmin.
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. al-An'am [6]: 82)
Sejalan dengan ini, seeorang yang meneladani sifat Allah, as-salam, paling tidak, bila tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya, maka jangan sampai dia mencelakakannya, kalau dia tidak dapat memasukkan rasa gembira ke dalam hatinya, maka paling tidak jangan ia meresahkannya, kalau dia tidak dapat memujinya, maka paling tidak dia jangan mencelanya.
Jangankan terhadap yang tidak berbuat baik, terhadap vang yang berbuat jahil pun al-Qur'an menganjurkan agar diberikan kepadanya "saldm" karena demikian itulah sifat hamba-hamba Allah yang Rahman:
Hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih ialah mereka. yang berjalan dibumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa (memperlakukan mereka dengan kejahilan) mereka berkata saldma (yaknibersikap damaidan mencarikeselamatan bersama)". (QS. al-Furqan [25]: 63)
Sikap itu yang diambilnya karena al-salam/keselamatan adalah batas antara keharmonisan/kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan. Inilah yang paling wajar atau batas mainimal yang diterima seorang jahil dari hamba Allah yang Rahman, atau si penjahat dari seorang yang Muslim, atau yang meneladani Allah yang memiliki sifat al-Mu'min (Pemberi rasa aman). Itu dilakukannya dalam rangka menghindari kejahilan yang lebih besar atau menanti waktu untuk lahirnya kemampuan mencegahnya.

Rabu, 27 Maret 2013

Negara Islam, Syariat Islam



Menerapkan hukum Allah adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk mengambil hukum lain sepanjang telah diterangkan oleh Allah dan rasul-nya.persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana hukum seseorang/Negara yang tidak memberlakukan hukum Allah,sementara dalam QS. Al ma’idah[5]: 44, 45 dan 47 Allah menyatakan secara berturut-turut.
      Ketiga ayat di atas memang menimbulkan dua penafsiran ekstrem yang berbeda-jika tidak saling bertentangan-antara satu dan yang lain.mereka yang cenderung radikal memaknai ketiga ayat tersebut sebagai beentuk justifikasi pengafiran orang/kelompok/Negara/muslim yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah.bagi mereka hanya ada dua pilihan: Menjadi muslim dengan memberlakukan semua hukum-hukum Allah, atau menjadi kafir karena telah melanggar semua /sebagian hukum tersebut.
      Di sisi ekstrem yang lain, kelompok sekularis mengatakan bahwa ketiga ayat diatas tidak ada hubungannya dengan kaum muslim, karena ketiga ayat tersebut diturunkan khusus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, bukan kepada kelompok Muslim. Pendapat kedua ini banyak di pengaruhi oleh pra-asumsi bahwa Islam hanyalah agama spiritual yang tidak ada hubungannya dengan sistem hukum dan pemerintahan, sebagaimana yang di yakini oleh Ali Abdul Raziq dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm. Pendapat Ali Abdul Raziq ini memang menimbulkan banyak penolakan dari para cendekiawan Muslim terkemuka, sebagaimana direkam secara baik oleh Muhammad Imarah dalam bukunya Ma’rakat al-Islam wa Ushul al-Hukm. Di antara cendekiawan Muslim yang cukup keras menolak pendapat Ali Abdul Raziq adalah Muhammad Dhiya’uddin ar-Reis dalam bukunya “al-Islam wa al-Khalifah”. Menurut ar-Reis, penafsiran bahwa ketiga ayat di atas hanya diperuntukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani dan tidak ada sangkut pautnya dengan kaum Muslim merupakan penafsiran yang sama sekali tidak tepat. Sebab, kata “man” (siapa saja/barang siapa) dalam ketiga ayat itu adalah suatu lafal yang bersifat umum. Oleh karenanya, penggalan akhir dari ketiga ayat tersebut menyuguhkan kepada kita redaksi yang bersifat umum, yang tentu mencangkup di dalamnya kaum Muslim. Kecuali itu, menurut ar-Reis, pengkhususan perintah penerapan hukum Allah sebagaimana tertuang dalam ketiga ayat itu hanya kepada umat Yahudi dan Nasrani-dua agama samawi yang relative lebih sedikit memuat aturan-aturan hukum dibandingkan aturan-aturan dalam Islam yang lengkap-merupakan pengkhususan yang out of contexs. Sebab, Islam sebagai agama yang lebih banyak memuat aturan-aturan hukum lebih layak dituntut untuk menerapkan aturan-aturan hukumnya ketimbang umat Yahudi dan Nasrani.
Tentu saja, penolakan yang keras atas interpretasi kelompok sekularis itu muncul dari kelompok radikal yang sayangnya, justru melahirkan suatu sikap ekstrim lain karna begitu mudah mengafirkan mereka yang dianggap tidak menerapkan hukum Allah. Bahkan, kelompok radikal yang sering disebut sebagai Hakimiyatullan yang kerap mengatribusi umat Islam dewasa ini sebagai masyarakat jahiliyah (sebagaimana di tuturkan oleh al-Maududi dan Sayyid Quthb), lebih jauh menganggap sistem demokrasi yang di anut oleh hampir seluruh Negara dunia Islam dewasa ini, sebagai salah satu bentuk penerapan hukum selain hukum Allah, dan karenanya di anggap komunitas-negara kafir. Tentu saja, sikap ekstrim-radikal ini tidak dapat di benarkan, sebagaimana penafsiran kaum sekularis liberalis atas ketiga ayat di atas untuk memisahkan Islam dari sistem hukum juga tidak dapat dibenarkan.
     Oleh karena itu, mari kita melihat ketiga ayat di atas dengan lebih cermat, sehingga kita dapat mendapatkan suatu penfasiran yang tepat dan proporsional pertama-tama sekali, dalam pandangan mayoritas umat Islam, masalah hukum merupakan persoalan furu (fiqih-syariah) dan bukan ushul (akidah/sistem keimanan). Jika perbedaan pendapat dalam masalah furu hanya dapat dikatakan “benar” atau “salah”, maka dalam masalah ushul, seseorang bisa terjerumus dalam kekufuran. Oleh karenanya, mereka yang tidak menjalankan hukum Islam karena melanggar-bukan lahir dari pengingkaran dan penentangan-tidak dapat di anggap telah keluar dari Islam (kafir). Lebih dari itu, sebagaimana perbedaan iman dan Islam yang telah di jelaskan diawal tulisan ini, persoalan hukum lebih merupakan aspek amaliyyah yang bersifat lahir (Islam), bukan termasuk aspek akidah (iman), yang membuat seseorang bisa menjadi kufur bila melanggarnya. Alhasil, mereka yang melanggar hukum-dari keimanan dan keIslaman (kafir), kecuali perbuatan maksiat yang di lakukan adalah suatu perbuatan yang menunjukkan kekufuran (seperti bersujud kepada selain Allah untuk maksud penyembahan dan penuhanan).
Demikianlah, melanggar perintah-perintah Allah dengan melakukan kemaksiatan, tidaklah membuat seseorang menjadi kufur, kecuali kemaksiatan yang di lakukannya di dorong oleh peningkaran dan ketidakpercayaan ataskewajiban-kewajiban agama.Dari titik ini dapat dikatakan bahwa pelanggaran dan pengingkaran adalah dua hal yang bebeda.Jika pelanggaran atas hukum-hukum agama akan membuat seorang Muslimmenjadi pendosa yang fasiq, maka pengingkaran akan kebenaran hukum Allah akan mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Dengan demikian, jika yang terjadi di Negara-negara Muslim adalah pelanggaran atas hukum-hukum Allah dengan tetap meyakini kebenaran ajaran-Nya, maka yang terjadi adalah kezaliman dan kefasiqan, bukan kekufuran.
     Menurut Fahmi Huwaidi, paling tidak ada dua sebab mengapa realitas penerapan suatu hukum yang Alllah turunkan bukanlah suatu bentuk kekufuran. Pertama, nash-nash agama tidak menganggap “pelanggaran” terhadap hukum Allah sebagai bentuk kekufuran. Karenanya, tak aneh ketika banyak khalifah di masa-masa awal Islam –saat beberapa Sahabat Nabi dan Ulama Tabi’in masih hidup– memaksa rakyat untuk membait  putra-putra mahkota mereka, suatu bentuk pelanggaran hukum atas syura yang ditetapkan Allah, namun tak seorang pun saat itu –kecuali Khawarij– yang mengafirkan para khalifah itu. Dan kedua, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menerapkan hukum selain hukum Allah bukanlah persoalan akidah dan keimanan, melainkan pelakunya termasuk dalam golongan pendosa (ashi) dan fasiq, bukan kafir.
     Pernyataan di atas sebenarnya akan semakin jelas bila kita melihat sebab turunya ayat 44,45 dan 47 dari QS. Al- Maidah seperti disebut di atas. Dalam berbagai kitab tafsir dikatakan bahwa ketiga ayat ini diturunkan kepada orang-orang Yahudi yang menolak pemberlakuan hukum rajam yang Allah tetapkan bagi penzina yang telah kawin (muhsan). Mereka berusaha mengganti hukum raja mini dengan hukum cambuk. Penolakan orang-orang Yahudi ini lahir dari keyakinan mereka bahwa hukum rajam yang Allah tetapkan itu tidak lagi sesuai dengan kondisi mereka. Penolakan yang dibarengi pelecehan ini tentu telah merusak akidah dan keimanan mereka akan kesempurnaan hukum yang Allah turunkan. Lebih jauh, orang-orang Yahudi ini kemudian mencari hukum lain yang mereka anggap lebih baik dari hukum Allah, yaitu hukum cambuk. Lengkaplah sudah bila penolakan, penghinaan, dan penyelewengan hukum Allah ini membuat mereka pantas menerima label kufur.
Oleh karena itu, menukil dari Tarjamun al-Qur’an, Ibnu Abbas ra, ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat-ayat di atas sebagai berikut , “Sesungguhnya orang yang menentang (jahada) apa yang Allah turunkan, maka ia telah kafir.tetapi,orang Yang mengakui hukum Allah tetapi tidak menerapkannya,ia adalah orang yang zalim dan fasiq.
     Sementara al-Qurthibi dalam tafsiranya mengatakan,”firman Allah ta’ala “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itu adalah orang orang yang kafir,orang orang yang zalim,otrang orang yang fasiq”.ayat-ayat ini dituruknkan kepada orang orang kafir sebagaimana diriwayatkan oleh imam muslim… adapun seorang muslim yang melakukan pelanggaran dosa besar,ia bukanlah kafir.dikatakan juga bahwa ayat tersebut ada yang tidak disebut tersurat,yakni bahwa mereka yagn tidak menerapkan hukum yang Allah turunkan karena mengingkari al-Qu’ran dan menentang Rasul-Nya,maka ia adalah seorang kafir… menurut ibnu ma’sud dan al-hasan, ayat tersebut berlaku umum bagi siapa saja yang tidak menerapkan hukum yang Allah turunkan karena menentang Allah dan hukum-hukumnya, baik kaum muslim, yahudi, nasrani atau musyrik.adapun yang melakukan kemaksiatan karena tidak yakin bahwa ia sebenarnya telah melakukan pelanggaran,maka ia termasuk orang muslim yang fasiq yagn perkaranya ada di tangan Allah,yakni diazab atau diampuni sesuai dengan kehendak-Nya.a”
     Penjelasan serupa juga kita dapatkan dalam tafsir ar-razi saat ia menjelaskan makna ayat 44 surah al-Ma’idah: “Ikrimah mengatakan bahwa firman Allah: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir”, hanya berlaku bagi mereka yang hati dan lidahnya mengingkari dan menentang hukum-hukum Allah. Adapun mereka yang hati dan lidahnya mengakui (hukum-hukum Allah), tetapi kemudian ia melanggar apa yang ada dalam hatinya, maka sebenarnya ia adalah orang yang meyakini kebenaran hukum Allah namun meninggalkannya dalam tindakan. Orang seperti ini tidak dapat dikatagorikan sebagai kafir sebagaimana dalam ayat di atas.’’
     Dari beberapa penafsiran di atas, menjadi jelas bahwa titik persoalannya memang berkisar pada ketidaktepatan beberapa kalangan dalam memahami kata kafir dalam ayat 44 QS. Al-Ma’idah. Oleh karenanya, dalam madarij as-salikin, Ibnu al-Qayyim membedakan dua macam kekufuran: Kufur-besar (al-kufr al-akbar) dan kufur-kecil (al-kufr al-ashghar). Kufur besar adalah kekufuran yang menyebabkan seseorang keluar dari agama sehingga kekal di neraka; sementara kufur-kecil menyebabkan pelakunya diancam siksa neraka namun tidak kekal di dalamnya. Kufur-besar membuat pelakunya keluar dari agama, sementara kufur-kecil tidak samapi membuat pelakunya keluar dari agama. Istilah kufur-kecil dapat didapati dari beberapa redaksi hadits Nabi, misalnya, sabda beliau: “Dua hal pada umatku yang meraka menjadi kafir (kecil) karenanya: Merusak nasab dan meratapi mayit (niyahah).” Demikian pula sabda beliau: “ Jangan kembali sepeninggalanku kepada kekufuran, (yaitu) sebagian kalian saling memukul leher sebagian yang lain (berperang/saling membunuh).”
     Menurut ibnu al-Qayyim, contoh lebih dari kufur-kecil yang tidak membuat pelakunya menjadi keluar dari agama adalah firman Allah swt dalam QS. Al-Ma’idah [5] 44. Pendapatnya menyatakan,” Inilah penafsiran Ibnu abbas ra. Mayoritas sahabat atas ayat “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang–orang yang kafir”, di mana Ibnu abbas mengomentari ayat ini,” Sesungguhnya ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari Islam… bukan pula seperti kekufuran kepada Allah dan Hari Akhirat.” Demikian juga komentar Thawus atas ayat di atas,” Itu adalah kekufuran (kecil) yang bukan dan berada dibawah kekufuran (besar)…”
     Setelah memamparkan beberapa penafsiran ulama tentang makna kufur, Ibnu al-Qayyim samapi pada kesimpulan,” Yang benar adalah bahwa menerapkan hukum selain yang diturunkan Allah dapat mengantarkan pelakunya kepada dua jenis kekufuran: Kufur-besar dan kufur-kecil, tergantung kondisi pelakunya. Jika ia meyakini kewajiban hukum Allah dalam suatu perkara, tetapi ia melanggar dengan tetap meyakini bahwa pelanggarannya dalah suatu dosa, maka ia telah melakukan kufur-kecil. Tetapi, jika ia meyakini hukum Allah sebagai perkara yang tidak wajib, dan ia merasa bebas (tidak bersalah) saat mengabaikannya, maka ia telah terjerumus ke dalam kufur-besar. Sementara, bila ia melakukan akibat kebodohan dan kesalahan-penafsiran, maka ia termasuk orang yang bersalah… simpulnya adalah bahwa semua bentuk kemaksiatan (pelanggaran-pelanggaran atas hukum Allah) termasuk dalam jenis kufur-kecil, suatu jenis kekufuran yang merupakan lawan dari syukur yang menuntut ketaatan, (bukan lawan dari iman yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama).”
     Apa yang dikemukakan oleh para ulama klasik terkemuka sebagai dipaparkan di atas, juga menjadi pendapat beberapa cendekiawan Muslim kontemporer semisal Yusuf al-Qaradhawi. Dalam beberapa karyanya, al-Qaradhawi –mengutip pendapat Rasyid Ridha– menulis; “ Tepatlah senyalemen Allah dalam ketiga ayat surat al-Ma’idah itu ketika menyifati orang kafir, orang zalim, dan orang fasik, masing-masing sesuai dengan keadaannya. Bila seseorang menolak melaksanakan hukum Allah yang qath’i karena menganggapnya buruk dan lebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia, maka ia telah terjerumus dalam kekafiran. Sedangkan orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu karena alasan lain yang mengakibatkan terjadinya pengabaian hak dan keadilan, maka dia adalah zalim; dan yang tidak mengakibatkan pengabaian hak dan keadilan sebagai fasiq saja. Sebab, kata fasiq lebih umum ketimbang lainnya. Setiap orang yang kafir dan zalim adalah fasiq; tidak sebaliknya.;
     Demikian pula khawatir  (kesan) yang diperoleh pakar tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab, saat mengupas ayat 44 surah Al-Mai’dah berpendapat; “(ayat ini) dipahami dalam arti kecaman yang amat keras terhadap mereka yang menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Tetapi ini oleh mayoritas ulama.. adalah bagi yang melecehkan Hukum Allah dan mengingkarinya Memang satu kekufuran dapat berbeda dengan kekufuran yang lain, demukian pula kefadiqan dan kezaliman non-Muslim. (sebab), kekufuran seorang muslim bias diartikan pengingkaran nikmat… Betapapun, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini menegaskan bahwa siapa saja-tanpa kecuali-jika melecehkan hukum-hukum Allah atau enggan menerapkannya karena tidak mengakuinya, maka dia adalah kafir, yakni telah keluar dari agama Islam”.