Tampilkan postingan dengan label sunnah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sunnah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 April 2013

AGAMA DAN RASA AMAN



Pendahuluan
Tidak ada satu kegiatan yang dilakukan seseorang, kecuali tersirat di dalamnya keberaadannya kini dalam keadaan aman atau kebutuhannya akan rasa aman itu, kini atau masa datang. Manusia akan menetap di satu tempat atau berkonsenterasi dalam satu kegiatan bila ia merasa bahwa keamanannya terpenuhi. Karena kalau tidak, ia pasti akan hijrah ke tempat lain, atau memilih aktivitas yang melahirkan rasa aman.
Rasa aman yang merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia itu dinilai lebih dibutuhkan daripada kesehatan. Yang sakit dapat tertidur, tetapi yang takut, sirna darinya kantuk. Yang sakit tapi merasa aman, tidak merasakan penyakitnya, sedang yang tidak merasa aman, walau sehat, akan selalu merasa terganggu hidupnya. Karena itu dapat dimengerti jika Nabi Muhammad saw. bersabda:
"Siapa di antara kamu yang telah merasa aman hatinya, sehat badannya dan memiliki makanan sehari-harinya maka ia bagaikan telah dianugerahi dunia." (HR. at-Tirmidzi)
            Kata aman/keamanan terambil dari bahasa Arab. Dalam bahasa
Memang ada kaitan yang sangat erat antara ketiganya. Amanah diserahkan kepada satu pihak yang dipercaya bahwa apa yang diserahkan itu akan terpelihara dengan aman oleh yang diserahi.

Rasa Aman dan Aspek-aspeknya
Rasa aman adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan. Karena itu, tidak heran jika ditemukan sekian banyak firman Allah dan beraneka kosakata yang digunakan oleh al-Qur'an dan Sunnah untuk mengajak semua pihak agar menciptakan keamanan dan perdamaian di persada bumi ini. Kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf alif, mini, dan nun yang daripadanya terbentuk antara lain kata aman, iman, dan amdnah dalam berbagai bentuknya ditemukan mendekati angka seribu.
Bukanlah satu hal yang sulit untuk membuktikan pernyataan yang menyatakan bahwa Islam sangat mendambakan terciptanya rasa aman dan damai dalam segala aspeknya.
Penghormatan yang ditetapkannya atas hak-hak asasi manusia, kewajiban amar makruf dan nahi munkar, syura, dan lain-lain, demikian juga ajaran syariatnya seperti mewajibkan yang mampu membayar zakat kepada yang butuh sehingga terpenuhi kebutuhan mereka, atau anjurannya untuk sumbangan sukarela (sedekah) kecaman terhadap kekikiran, penolakannya terhadap segala bentuk tirani, seperti penumpukan harta pada satu kelompok, penggunaan harta secara batil, pengharaman riba dan eksploitasi, tuntunannya untuk berlaku adil walau terhadap keluarga dan diri sendiri, bahkan nama agama ini "Islam" dan sapaan yang dianjurkannya untuk diucapkan terhadap yang dikenal dan tidak dikenal "As salamu 'Alaikum" kesemuanya dan masih banyak lainnya membuktikan kebenaran pernyataan itu. Demikian juga tuntunannya menyangkut pembinaan keluarga yang didasari antara lain oleh penyaluran dorongan seksual secara suci, dan benar serta didasari oleh mawaddah dan rahmat, hingga ketentuan-ketentuannya menyangkut hubungan antarpribadi dan masyarakat umat manusia, Muslim atau
menekankan bahwa perbedaan jenis dan warna kulit atau kepercayaan dan agama bukanlah penghalang bagi terciptanya perdamaian dan rasa aman dalam masyarakat.
Bahkan, bukan hanya terhadap manusia, terhadap lingkungan pun hubungan mesra harus dipelihara. Salah satu prinsip dasar interaksi yang ditetapkan Islam adalah la dharar wa la dhirdr yang mengandung arti larangan melakukan perusakan terhadap diri dan juga pihak lain—baik langsung maupun tidak langsung—termasuk larangan perusakan lingkungan, karena perusakannya mengakibatkan kerusakan diri dan makhluk lain, bahkan Rasulullah saw. melukiskan bahwa hubungan tersebut hendaknya berdasar cinta dan kasih sayang serta persahabatan. Karena itu, beliau melukiskan Gunung Uhud yang berlokasi tidak jauh dari kota Madinah bahwa "Gunung Uhud mencintai kita dan kita pun mencintainya".
Sedemikian berharga rasa aman bagi manusia, sampai-sampai balasan di dunia yang dijanjikan Allah kepada mereka yang menyambut ajakan-Nya antara lain adalah rasa aman itu. Allah berfirman:
"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yangsaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh
untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik". (QS. an-Nur [24]:55)
Sebaliknya, Allah mengancam dengan kelaparan dan rasa takut yang dapat menimpa masyarakat akibat kekufuran mereka. Dalam konteks ini Allah berfirman:
"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat." (QS. an-Nahl [16]:112)
Dari kedua yang terbaca dengan jelas kaitan antara iman dan rasa aman. Seorang yang beriman/percaya akan merasa aman dengan siapa yang dipercayainya, sekaligus memberi keamanan kepada selainnya. Rasul saw. mengingatkan bahwa:
"Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak berirnan, derni Allah tidak beriman. Para sahabat bertanya: "Siapa wahai Rasulullah?" Nabi menjawab: "Yang tidak memberi rasa aman tetangganya dari gangguannya" (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Demikian sedikit dan banyak yang dapat dikemukakan …, Islam mendambakan lahirnya rasa aman dan keamanan dengan berbagai cara yang mencakup berbagai aspek, antara lain:
a.      Aspek sosial, yang antara lain mengandung perlindungan terhadap seseorang dan atau kelompok dari pelanggaran terhadap hak-haknya baik diri kehormatan maupun harta bendanya.
b.      Aspek ekonomi, yang mengandung tersedianya kebutuhan pokok, berupa sandang, pangan, dan papan, serta keterhindaran dari pemerasan, monopoli, pengangguran.
c.       Aspek politik, yang mengandung keharusan adanya demokrasi dan syura, serta kebebasan yang bertanggung jawab untuk mengemukakan pendapat/amar ma'ruf dan nahi munkar.
d.      Aspek keamanan nasional, yang mencakup rasa aman dari ancaman yang bersumber dari dalam maupun dari luar.
Keyakinan adalah unsur utama bagi terciptanya rasa aman. Agama melalui keyakinan tentang wujud Tuhan dan tuntunan-Nya mampu memberi bahkan menciptakan rasa aman itu.

Senin, 25 Maret 2013

Lebih dalam Memahami al-Quran dan as-Sunnah


Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariah Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya, terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariah. Keduanya merupakan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir. Diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks. Asy-Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang mendalam ilmunya (ar-rdsikhun fi al-'ilm),[1] sedangkan al-Qardhawi menyebutnya dengan manhaj wasathi (metode tengahan/ moderat).[2] Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur'an dan Hadits. Rasulullah saw. bersabda:

"Ilmu (al-Qur'an) akan selalu dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang yang moderat ('udul); mereka itu yang memelihara al-Qur'an dari penakwilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil, dan penyelewengan mereka yang berlebihan".

Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini disebut dalam al-Qur'an sebagai ash-Shirdth al-Mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub 'alayhim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan.

Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; 'kiri' dan 'kanan', berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhll) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan 'tengah'. Dalam sebuah Hadits Nabi, ummatan wasathan ditafsirkan dengan ummatan 'udulan.

Ciri sikap moderat dalam memahami teks:
1.        Memahami agama secara menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun), dan mendalam.
2.        Memahami realitas kehidupan secara baik.
3.        Memahami prinsip-prinsip syariah (maqdshid asy-syari'ah) dan tida-iTjumud jbada tataran lahir.
4.        Terbuka dan memahami etika berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama, dengan senantiasa "mengedepankan kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran pada hal-hal yang diperselisihkan".
5.        Menggabungkan antara "yang lama" (al-ashdlah) dan "yang baru" (al-mu 'dsharah).
6.        Menjaga keseimbangan antara tsawdbit dan mutaghayyirdt. Tsawdbit dalam Islam sangat terbatas, seperti prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun Islam), akhlak, hal-hal yang diharamkan secara qath'i (zina, qatl, riba, dan selainnya). Mutaghayyirdt; hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanni (tsubut atau dildlah).
7.        Cenderung memberikan kemudahan dalam beragama.

Pijakan dalam Memahami Teks
1.        Memadukan antara yang zhahir dan yang batin secara seimbang dan tidak memisahkan makna batin dengan zhahir nash.
2.        Memahami nash sesuai dengan bahasa, tradisi kebahasaan, dan pemahaman bangsa Arab (asy-Syari'ah Ummiyyah).
3.        Membedakan antara makna syar'i dan makna bahasa. Makna syar'i dimaksud adalah yang ditetapkan oleh agama, bukan makna yang berkembang kemudian. Kata as-Sd'ihun pada QS. at-Taubah [9]: 112 dalam al-Qur'an bermakna orang yang berpuasa atau berhijrah, bukan mereka yang berwisata.
4.        Memerhatikan hubungan (korelasi/mundsabah) antara satu ayat dan lainnya, sehingga tampak sebagai satu kesatuan.
5.        Membedakan antara makna haqiqi dan majdzi melalui proses takwil yang benar. Pada dasarnya, teks harus dipahami secara haqiqi. Suatu ungkapan (kalam) dimungkinkan untuk dipahami secara majdzi bila memenuhi tiga syarat berikut:
a.    Ada hubungan yang erat antara makna zhahir sebuah teks dengan makna lain yang dituju.
b.    Ada qarinah/konteks/dalil (maqdliyyah atau hdliyyah) yang menunjukkan penggunaan makna majdzi.
c.    Ada tujuan/hikmah di balik penggunaan makna majazi  yang ingin dicapai oleh pembicara (mutakallim).[3]

6.        Memerhatikan hak-hak al-Qur'an yang harus dipahami oleh setiap yang akan menafsirkannya, yaitu antara lain: pandangan komprehensif terhadap al-Qur'an, memahami makna ragam qira'at yang ada, memahami retorika dan konteks (siyaq) al-Qur'an, memerhatikan sabab nuzul dan tradisi bahasa al-Qur'an, mengerti ayat-ayat yang musykil atau terkesan kontradiktif.










[1] Al-Muwafaqat, 2/391                                   
[2] Dirasah fi Fiqh Maqashid alsy-Syari’ah, h. 135.
[3] Muhammad Salim Abu’Ashi, Maqalatani fi at-Ta’wil, (Kairo: Dar al-Basha’ir, 2003), h. 25-27.