Selasa, 02 April 2013

Basis Etika Perang dalam Islam


Berdasarkan penjelasan di atas, tidak diragukan lagi bahwa dalam islam terdapat hukum yang menjamin keselamatan dan perlindungan warga sipil dan non-kombatan serta fasilitas atau objek sipil yang tidak boleh dijadikan sasaran perang. Jaminan ini dalam islam  berlandaskan di atas beberapa prinsip dasar dalam islam, yaitu:
            Pertama, tujuan poko dari ajaran islam (maqoshid syari’ah) adalah menjaga dan memelihara  hak-hak manusia  yang paling mendasar, khususnya hak hidup, hak beragama, hak memelihara akal, keluarga dan kepemilikan. Tidaklah aneh karenanya bila islam mengecam berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman yang dilakukan kepada orang/kelompok lain, sampai-sampai islam menganggap kelaliman yang dilakukan kepada seorang manusia secara keseluruhan. Sesungguhnya islam memandang kehidupan dan nyawa manusia sebagai sesuatu yang suci yang menjadi tanda komitmen yang teguh untuk menjamin hak asasi manusia, sesuai firman Allah swt:
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”.(QS. Al-Maidah [5]:32)
            Tambahan lagi, dalam pandangan islam, setiap individu manusia merupakan personifikasi dari kemanusiaan yang dimuliakan oleh Allah.[1]Dan, kemanusiaan yang sangat dihormati dan dijaga oleh islam ini terefleksi dari bagaimana setiap manusia diperintahkan untuk menghormati manusia  yang lain: kebebasannya, kehormatannya, dan hak-hak kemanusiaan lainnya.[2]
            Kedua, prinsip pembedaan (principle of distintion)antara warga sipil dan pejuang (militer) sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Prinsip ini dengan singkat dan padat ditegaskan dalam Al-Quran  bahwa sasaran peramg bagi pasukan Muslim adalah, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melamapui batas.”[3]
            Ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa kendatipun peperangan diizinkan dalam islam untuk tujuan-tujuan yang legal, akan tetapi di dalamnya terkandung ancaman untuk tidak melampaui batas-batas diperbolehkan peperangan, termasuk di antaranya membunuh warga sipil yang tak berdosa dan memorak-morandakan fasilitas-fasilitas mereka, seperti rumah sakit, sekolah, dan sejenisnya. Karena itulah Allah swt. Menegaskan kembali di surah yang lain:
“Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang denagn serangannya terhadapmu”. (QS.al-Baqoroh [2]: 194)
“Dan jika kamu memberikan balsan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. (QS.an-Nahl [16]: 126)
Ketiga, prinsip fithrah dasar manusia adaalh keadaan tidak bersalah secara moral (moral innocence), yakni bebas dari dosa. Dengan kata lain, islam tidak mengenal istilah “dosa bawaan” atau “dosa turunan”. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan tidak dapat membebaninya ke pundak orang lain, sesuai firman Allah swt:
“(Yaitu) bahwasannya seorang yang berdosa  tidak akan memikul dosa orang lain”. (QS. Al-Najm [53]:38)
            Karenanya, membunuh warga sipil yang tidak berdosa adalah termasuk suatu tindakan yang tidak direstui dalam islam. Oleh karena itu pula, Yusuf Qaradhawi dan beberapa fatwa lembaga islam internasional[4] sepakat mengutuk berbagai tindakan terror yang menjadikan warga sipil sebagai sasaran penyerangan, seperti pembajakan pesawat sipil, pengeboman objek-objek wisata dan gedung sipil, dan aksi-aksi terror serupa.[5]


[1] QS.al-Isra’ [17]: 70; al-hijr [15]: 29.
[2] Lihat M.H> Zaqzuq, Haqo’iq Islamiyyah fi Muwahajat Hamalat at-Tasykik,(Kairo: Maktabah Asy-syuruk al-Dawliyyah ,2004), h. 51-52.
[3] QS.al-Baqoroh [2]:190.
[4] Tentang fatwa-fatwa Lembaga Islam Internasional, lihat “Lampiran Pengecamaan Agama Islam Terhadap Peristiwa Bom Bali dan Aksi Teroris Serupa “ dalam M.H. Hasssan, Terroris membajak Islam , h. 235 dan seterusnya.
[5] Yusuf al-Qaradhawi, al-islam wa al-‘Unf: nazharat Ta’shiliyyah,( Kairo:Dar al-Syuruq, 2005) h. 27-29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar