Selasa, 26 Maret 2013

STIGMA DUNIA BARAT TERHADAP ISLAM


Sejak tiga dekade terakhir di penghujung milenium kedua, tepatnya pertengahan tahun tujuh puluhan, masyarakat internasional dikejutkan oleh berbagai tindakun kekerasan, khususnya aksi teror terhadap berbagai kepentingan Amerika Serikat[1] dan Israel. Aksi-aksi tersebut terus meluas seiring dengan datangnya milenium ketiga yang ditandai dengan serangan 11 September 2001 terhadap gedung WTC dan Pentagon. Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut dan yang sebelumnya, dan dianggap sebagai ancaman" bagi kehidupan masyarakat dunia. Berbagai stigma dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme, radikalisme, dan sebagainya. Stigmatisasi ini seakan membenarkan pandangan beberapa pemikir Barat yang berpandangan Islam sebagai ancaman pasca-runtuhnya Soviet, seperti Samuel Huntington dengan tesisnya "the clash of civilization".
Dengan menggalang kekuatan internasional, AS melancarkan kampanye anti-teror. Atas nama itu Afghanistan dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan gerakan keagamaan juga menjadi sasaran, terutama jaringan al-Qaeda internasional. Tuduhan tersebut menemukan relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang menyebutkan motivasi keagamaan dibalik aksi mereka, sehingga banyak pengamat mengaitkan gerakan Islam garis keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak faktor yang melatar belakanginya, seperti politik. ekonomi, sosial, psikologi, dan lainnya, tetapi faktor keyakinan dan pemahaman. Terhadap beberapa doktrin keagamaan agaknya yang paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan tertentu, yang notabene berbeda agama, ialam berbagai dimensi kehidupan mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nashshl), parsial (juz'i) dan ekstrem/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga, terkesan konflik bukan lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan meluas kepada konflik agama.
Fenomena meningkatnya gairah keagamaan, untuk tidak mengatakan kebangkitan Islam, di kalangan muda seperti disinyalir oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga telah diwarnai dengan sikap berlebihan (al-ghuluw) dan ekstremitas (at-tatharruf)[2] sehingga tuduhan banyak kalangan bahwa Islam menganjurkan kekerasan dan terorisme menjadi semakin melekat. Konsep menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran (amar makruf nahi munkar) bagi sebagian kalangan menjadi dalih berbagai aksi kekerasan. Islam dan umat Islam 'seakan' menjadi tidak ramah lagi terhadap penganut agama lain. Padahal, sekian banyak teks keagamaan dalam Islam mengecam keras segala bentuk kekerasan dan terorisme seperti dalam pandangan banyak kalangan Barat.
            Sejujurnya, kita dapat mengatakan, pandangan-pandangan seperti itu lahir disebabkan, setidaknya, oleh dua hal: 1) ketidaktahuan Barat tentang Islam yang sebenarnya, karena pengetahuan Barat tentang Islam diwarnai oleh buku-buku keislaman yang ditulis oleh orientalis pada masa penjajahan dahulu; 2) kerancuan dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam dan mempersamakannya dengan terorisme dalam pandangan mereka.
            Atas dasar itu, merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk memahami lebih jauh lagi ajaran Islam, sebelum kita memahamkan orang lain dan membuktikan dengan tindakan nyata bahwa Islam adalah agama kedamaian yang akan menebar kasih di muka bumi. Kami utus engkau (hai Muhammad) tidak lain untuk menebar rasa kasih bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya' [21]: 107)

Senin, 25 Maret 2013

Lebih dalam Memahami al-Quran dan as-Sunnah


Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariah Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya, terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariah. Keduanya merupakan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir. Diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks. Asy-Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang mendalam ilmunya (ar-rdsikhun fi al-'ilm),[1] sedangkan al-Qardhawi menyebutnya dengan manhaj wasathi (metode tengahan/ moderat).[2] Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur'an dan Hadits. Rasulullah saw. bersabda:

"Ilmu (al-Qur'an) akan selalu dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang yang moderat ('udul); mereka itu yang memelihara al-Qur'an dari penakwilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil, dan penyelewengan mereka yang berlebihan".

Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini disebut dalam al-Qur'an sebagai ash-Shirdth al-Mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub 'alayhim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan.

Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; 'kiri' dan 'kanan', berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhll) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan 'tengah'. Dalam sebuah Hadits Nabi, ummatan wasathan ditafsirkan dengan ummatan 'udulan.

Ciri sikap moderat dalam memahami teks:
1.        Memahami agama secara menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun), dan mendalam.
2.        Memahami realitas kehidupan secara baik.
3.        Memahami prinsip-prinsip syariah (maqdshid asy-syari'ah) dan tida-iTjumud jbada tataran lahir.
4.        Terbuka dan memahami etika berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama, dengan senantiasa "mengedepankan kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran pada hal-hal yang diperselisihkan".
5.        Menggabungkan antara "yang lama" (al-ashdlah) dan "yang baru" (al-mu 'dsharah).
6.        Menjaga keseimbangan antara tsawdbit dan mutaghayyirdt. Tsawdbit dalam Islam sangat terbatas, seperti prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun Islam), akhlak, hal-hal yang diharamkan secara qath'i (zina, qatl, riba, dan selainnya). Mutaghayyirdt; hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanni (tsubut atau dildlah).
7.        Cenderung memberikan kemudahan dalam beragama.

Pijakan dalam Memahami Teks
1.        Memadukan antara yang zhahir dan yang batin secara seimbang dan tidak memisahkan makna batin dengan zhahir nash.
2.        Memahami nash sesuai dengan bahasa, tradisi kebahasaan, dan pemahaman bangsa Arab (asy-Syari'ah Ummiyyah).
3.        Membedakan antara makna syar'i dan makna bahasa. Makna syar'i dimaksud adalah yang ditetapkan oleh agama, bukan makna yang berkembang kemudian. Kata as-Sd'ihun pada QS. at-Taubah [9]: 112 dalam al-Qur'an bermakna orang yang berpuasa atau berhijrah, bukan mereka yang berwisata.
4.        Memerhatikan hubungan (korelasi/mundsabah) antara satu ayat dan lainnya, sehingga tampak sebagai satu kesatuan.
5.        Membedakan antara makna haqiqi dan majdzi melalui proses takwil yang benar. Pada dasarnya, teks harus dipahami secara haqiqi. Suatu ungkapan (kalam) dimungkinkan untuk dipahami secara majdzi bila memenuhi tiga syarat berikut:
a.    Ada hubungan yang erat antara makna zhahir sebuah teks dengan makna lain yang dituju.
b.    Ada qarinah/konteks/dalil (maqdliyyah atau hdliyyah) yang menunjukkan penggunaan makna majdzi.
c.    Ada tujuan/hikmah di balik penggunaan makna majazi  yang ingin dicapai oleh pembicara (mutakallim).[3]

6.        Memerhatikan hak-hak al-Qur'an yang harus dipahami oleh setiap yang akan menafsirkannya, yaitu antara lain: pandangan komprehensif terhadap al-Qur'an, memahami makna ragam qira'at yang ada, memahami retorika dan konteks (siyaq) al-Qur'an, memerhatikan sabab nuzul dan tradisi bahasa al-Qur'an, mengerti ayat-ayat yang musykil atau terkesan kontradiktif.










[1] Al-Muwafaqat, 2/391                                   
[2] Dirasah fi Fiqh Maqashid alsy-Syari’ah, h. 135.
[3] Muhammad Salim Abu’Ashi, Maqalatani fi at-Ta’wil, (Kairo: Dar al-Basha’ir, 2003), h. 25-27.

Rabu, 20 Maret 2013

JIHAD: PERANG MELAWAN KAFIR ATAU KEMAKSIATAN?


Jihad merupakan salah satu istilah yang sering disalahpahami artinya. Sebagian orang memahami arti jihad dengan pemahaman yang sempit. Jika di sebut kata jihad, maka yang terbayang di dalam benak adalah peperangan, senjata, darah, dan kematian. Kewajiban berjihad dimaknai sebagai kewajiban memerangi orang-orang kafir dan munafik hingga mereka masuk Islam. Pemahaman itu tidak benar, karena jihad tidak hanya berarti berperang secara fisik dengan mengangkat senjata, tetapi memunyai arti yang luas. Perang hanyalah salah satu bentuk jihad yang di lakukan dalam kondisi tertentu.

     Secara lughawi, perkataan jihad (Arab: Jihad) berasal dari kata “jahd”, yang mengandung arti kesulitan atau kesukaran. Jihad adalah aktivitas yang mengandung kesulitan dan kesukaran. Ada pula yang berpendapat bahwa perkataan jihad berasal dari kata “juhd” yang berarti kemampuan. Jihad artinya mengerahkan segala kemampuan untuk melakukan perbuatan demi mencapai tujuan tertentu. Dari akar kata yang sama, lahir kata ijtihad dan mujahadah. Ijtihad merupakan istilah dalam ilmu fiqih yang berarti mencurahkan pikiran untuk menetapkan hukum agama tentang sesuatu kasus yang tidak terdapat hukumnya secara jelas di dalam al-Qur’an atau as-Sunnah. Sedangkan mujahadah merupakan istilah dalam ilmu akhlak/tasawuf yang berarti perjuangan melawan hawa nafsu (jihad al-nafs) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Jihad, ijtihad, dan mujahada, walaupun mempunyai konteks yang berbeda di dalam penggunaannya, tetapi semuanya mengandung arti mencurahkan kemampuan dan melakukan perbuatan yang mengandung kesulitan untuk mencapai tujuan tertentu.

     Syekh Raghib Al-Isfahani membedakan tiga macam jihad, yaitu: Pertama, jihad menghadapi musuh yang nyata (mujahadah al-‘aduww azr-zhahir). Kedua, jihad menghadapi setan (mujahadah asy-syaithan). Ketiga, jihad memerangi hawa nafsu (mujahadah an-nafs).

Jihad Menghadapi Musuh yang Nyata
Yang di maksud yang nyata ialah orang-orang yang memusuhi Islam, yaitu orang-orang kafir dan munafik. Perintah jihad kepada orang-orang kafir dan munafik di sebutkan di dalam al-Qur’an:
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.

Dalam surat an-Nisa’ [4]: 95-96, Allah menjelaskan keutamaan orang yang berjihad d jalan Allah:
“Tidaklah sama mukmin yang duduk, selain yang mempunyai uzur, dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan diri mereka atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing, Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk, dengan pahala yang besar; (yaitu) beberapa derajat darinya, dan ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.

     Pada ayat lain, Allah berfirman dengan menggunakan redaksi “qatilu” (artinya: “perangilah”), sebagaimana tersebut di dalam surah At-Taubah [9]: 123:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketehuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.

Perang dengan senjata adalah salah satu bentuk jihad yang di perintahkan dalam agama yang diperintahkan dalam kondisi tertentu. Menengok kepada sejarah, umat Islam menetap di Mekkah lebih dari sepuluh tahun lamanya dalam keadaan tertindas dan mengalami siksaan Karena memeluk agama Islam. Mereka terancam jiwanya dan harta bendanya. Kemudian mereka pindah ke Mekkah dan kejahatan orang musyrik terus berlangsung. Setiap kali umat Islam bermaksud  membalas kejahatan kaum musyrik, Rasullullah saw. Selalu mencegahnya  dan mengajak kepada kesabaran. Ketika kejahatan mereka sudah sampai puncaknya, maka turunlah ayat yang membolehkan berperang. Allah berfirman:
Telah diizinkan (berperang/ mengangkat senjata) bagi orang–orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. (yaitu orang – orang yang telah diusir dari kampong halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka  berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat , menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar dan kepada Allahlah kembali segala urusan.”(QS.Al-Hajj [22]:39-41)

Ayat tersebut di atas mengandung arti izin kepada kaum muslim untuk berperang, dengan menyebutkan alasan bahwa mereka dianiaya, diusir dari negrinya, tanpa alasan yang benar. Dengan turunnya ayat tersebut, umat Islam diizinkan memerangi orang kafir. Peperangan pertama, yaitu perang badar,terjadi di Madinah pada 17 Ramadhan tahun 2 Hijrah.

Dalam konteks tersebut, perlu dikemukakan bahwa tujuan berperang bukanlah untuk memaksa orang untuk masuk Islam. Tujuan berperang adalah untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kehidupan yang baik,sehingga tidak ada penindasan dalam kehidupan sesama manusia. Termasuk di dalamnya mewujudkan kemerdekaan bagi kaum Muslimin sehingga dapat menjalankan kepatuhan kepada Allah. Tidak ada satu ayat pun di dalam Al-qur’an yang menjelaskan bahwa berperang diperintahkan untuk memaksa orang memeluk Islam. “Perang tidak ada hubungannya dengan pemaksaan agama”, demikian M. Quraish Shihab di dalam tafsirnya.

Kata jihad di dalam Al-qur’an tidak selalu berarti perang. Dalam banyak tempat, kata jihad dipergunakan dalam arti perjuangan membela agama pada umumnya, tremasuk pula perjuangan mengamalkan ajaran agama dalam bentuk ketaatan dan takwa kepada Allah. Allah berfirman dalam (QS. Al-Ma’idah [5] : 35)

Sayyid quthub menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan wasilah ialah sarana menuju kepada sesuatu. Hakikat wasilah kepada Allah ialah menempuh kepatuhan kepada Allah dengan ilmu dan ibadah, memelihara ajaran agama yang mulia. Ilmu dan amal adalah sarana menuju takwa kepada Allah. Jadi, yang dimaksud dengan jihad pada ayat tersebut adalah muthlaqul jihad, yang meliputi jihad an-nafs dan jihad al-kuffar, karena dikaitkan dengan takwa kepada Allah, dan tidak ada keterangan apapun yang menyatakan kekhususan (takhshish) mengenai hal itu. Walaupun demikian boleh juga dipahami dalam arti qital, sebagai salah satu arti yang terlkandung di dalamnya, karena ayat ini di letakkan di dalam kelompok ayat yang mengandung perintah jihad dalam arti qital. Demikian Sayid Qhutub di dalam tafsirnya. [1]

Perlu dikemukakan bawa ayat-ayat yang mengandung perintah berjihad telah diturunkan di Mekah sebelum diturunkannya ayat yang memberikan izin kepada kaum Muslim memerangi orang kafir. Setidaknya terdapat 4 ayat al-Qur’an yang diturunkan pada periode Mekkah berisi perintah berjihad atau menggunakan kata “jihad” dalam redaksinya. Ayat – ayat tersebut adalah sebagai berikut:
     1)      Surah Al-Furqon [25] : 52:
Maka janganlah kamu menaati orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka -dengannya-dengan jihad yang besar.”
     2)      Surah an-Nahl [16]: 110:
“Kemudian sesungguhnya Tuhanmu bagi orang-orang yang berhijrah sesudah mereka dianiaya, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Penagmpun lagi Maha Penyayang”. (QS.an-Nahl [16]: 110)

            “Kata “jahadu” (berjihad) yang dimaksud dalam ayat ini bukan dalam arti mengangkat senjata, karena ayat ini turun di Mekkah sebelum adanya izin berperang.” Makna kata “jahadu” adalah mengerahkan semua tenaga dan pikiran untuk mencegah gangguan kaum musyrikin serta maksud buruk mereka. Makna kata berhijrah dalam ayat ini bukannya hijrah ke Madinah,tetapi hijrah ke Habsyah/Ethiopia yang terjadi peda tahun kelima dari  kenabian yakni sekitar delapan tahun sebelum Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah”.[2]
     3)      Surah al-Ankabut [29]:6:
Dan barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya dari semesta alam.”
      4)      Surah al-Ankabut [29]:69:
Dan orang–orang yang berjihad pada kami, pasti kami tunjuki mereka jalan-jalan Kami dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta al-muhsinin (orang-orang yang selalu berbuat kebajikan)”.

            Demikian kata jihad di dalam al-Qur’an tidak selalu berarti berperang dengan senjata. Jihad sering disalahpahami artinya mungkin disebabkan karena ia lazim diucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga diidentikkan dengan perlawan bersenjata. Kesalahpahaman itu disuburkan oleh pemahaman arti kata anfus yang sering kali dibatasi hanya dalam arti “jiwa”, bukan diri manusia dengan segala totalitasnya. Al-Qur’an menggunakan kata nafs dan anfus antara lain dalam arti totalitas manusia, dan dengan demikian kata anfusihim dapat mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu dan tempat, karena manusia tidak dapat memisahkan diri dai tempat dan waktu. Dengan demikian, mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban atau bersedia berkorban dengan apa sajayang berkaitan dengan dirinya sendiri”.[3]


[1] Tafsir al-Mizan, jilid V, h.335.
[2] Tafsir al-Mishbah, jilid VII, h. 364.
[3] Tafsir al_MIshbah, jilid II, h.536-537