Kamis, 11 April 2013

Dalil Menegakkan Syariat Islam




Menerapkan hukum Allah adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk mengambil hukum lain sepanjang telah diterangkan oleh Allah dan rasul-nya.persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana hukum seseorang/Negara yang tidak memberlakukan hukum Allah,sementara dalam QS. Al ma’idah[5]: 44, 45 dan 47 Allah menyatakan secara berturut-turut.

      Ketiga ayat di atas memang menimbulkan dua penafsiran ekstrem yang berbeda-jika tidak saling bertentangan-antara satu dan yang lain.mereka yang cenderung radikal memaknai ketiga ayat tersebut sebagai beentuk justifikasi pengafiran orang/kelompok/Negara/muslim yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah.bagi mereka hanya ada dua pilihan: Menjadi muslim dengan memberlakukan semua hukum-hukum Allah, atau menjadi kafir karena telah melanggar semua /sebagian hukum tersebut.

      Di sisi ekstrem yang lain, kelompok sekularis mengatakan bahwa ketiga ayat diatas tidak ada hubungannya dengan kaum muslim, karena ketiga ayat tersebut diturunkan khusus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, bukan kepada kelompok Muslim. Pendapat kedua ini banyak di pengaruhi oleh pra-asumsi bahwa Islam hanyalah agama spiritual yang tidak ada hubungannya dengan sistem hukum dan pemerintahan, sebagaimana yang di yakini oleh Ali Abdul Raziq dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm. Pendapat Ali Abdul Raziq ini memang menimbulkan banyak penolakan dari para cendekiawan Muslim terkemuka, sebagaimana direkam secara baik oleh Muhammad Imarah dalam bukunya Ma’rakat al-Islam wa Ushul al-Hukm. Di antara cendekiawan Muslim yang cukup keras menolak pendapat Ali Abdul Raziq adalah Muhammad Dhiya’uddin ar-Reis dalam bukunya “al-Islam wa al-Khalifah”. Menurut ar-Reis, penafsiran bahwa ketiga ayat di atas hanya diperuntukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani dan tidak ada sangkut pautnya dengan kaum Muslim merupakan penafsiran yang sama sekali tidak tepat. Sebab, kata “man” (siapa saja/barang siapa) dalam ketiga ayat itu adalah suatu lafal yang bersifat umum. Oleh karenanya, penggalan akhir dari ketiga ayat tersebut menyuguhkan kepada kita redaksi yang bersifat umum, yang tentu mencangkup di dalamnya kaum Muslim. Kecuali itu, menurut ar-Reis, pengkhususan perintah penerapan hukum Allah sebagaimana tertuang dalam ketiga ayat itu hanya kepada umat Yahudi dan Nasrani-dua agama samawi yang relative lebih sedikit memuat aturan-aturan hukum dibandingkan aturan-aturan dalam Islam yang lengkap-merupakan pengkhususan yang out of contexs. Sebab, Islam sebagai agama yang lebih banyak memuat aturan-aturan hukum lebih layak dituntut untuk menerapkan aturan-aturan hukumnya ketimbang umat Yahudi dan Nasrani.
Tentu saja, penolakan yang keras atas interpretasi kelompok sekularis itu muncul dari kelompok radikal yang sayangnya, justru melahirkan suatu sikap ekstrim lain karna begitu mudah mengafirkan mereka yang dianggap tidak menerapkan hukum Allah. Bahkan, kelompok radikal yang sering disebut sebagai Hakimiyatullan yang kerap mengatribusi umat Islam dewasa ini sebagai masyarakat jahiliyah (sebagaimana di tuturkan oleh al-Maududi dan Sayyid Quthb), lebih jauh menganggap sistem demokrasi yang di anut oleh hampir seluruh Negara dunia Islam dewasa ini, sebagai salah satu bentuk penerapan hukum selain hukum Allah, dan karenanya di anggap komunitas-negara kafir. Tentu saja, sikap ekstrim-radikal ini tidak dapat di benarkan, sebagaimana penafsiran kaum sekularis liberalis atas ketiga ayat di atas untuk memisahkan Islam dari sistem hukum juga tidak dapat dibenarkan.
     Oleh karena itu, mari kita melihat ketiga ayat di atas dengan lebih cermat, sehingga kita dapat mendapatkan suatu penfasiran yang tepat dan proporsional pertama-tama sekali, dalam pandangan mayoritas umat Islam, masalah hukum merupakan persoalan furu (fiqih-syariah) dan bukan ushul (akidah/sistem keimanan). Jika perbedaan pendapat dalam masalah furu hanya dapat dikatakan “benar” atau “salah”, maka dalam masalah ushul, seseorang bisa terjerumus dalam kekufuran. Oleh karenanya, mereka yang tidak menjalankan hukum Islam karena melanggar-bukan lahir dari pengingkaran dan penentangan-tidak dapat di anggap telah keluar dari Islam (kafir). Lebih dari itu, sebagaimana perbedaan iman dan Islam yang telah di jelaskan diawal tulisan ini, persoalan hukum lebih merupakan aspek amaliyyah yang bersifat lahir (Islam), bukan termasuk aspek akidah (iman), yang membuat seseorang bisa menjadi kufur bila melanggarnya. Alhasil, mereka yang melanggar hukum-dari keimanan dan keIslaman (kafir), kecuali perbuatan maksiat yang di lakukan adalah suatu perbuatan yang menunjukkan kekufuran (seperti bersujud kepada selain Allah untuk maksud penyembahan dan penuhanan).
Demikianlah, melanggar perintah-perintah Allah dengan melakukan kemaksiatan, tidaklah membuat seseorang menjadi kufur, kecuali kemaksiatan yang di lakukannya di dorong oleh peningkaran dan ketidakpercayaan ataskewajiban-kewajiban agama.Dari titik ini dapat dikatakan bahwa pelanggaran dan pengingkaran adalah dua hal yang bebeda.Jika pelanggaran atas hukum-hukum agama akan membuat seorang Muslimmenjadi pendosa yang fasiq, maka pengingkaran akan kebenaran hukum Allah akan mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Dengan demikian, jika yang terjadi di Negara-negara Muslim adalah pelanggaran atas hukum-hukum Allah dengan tetap meyakini kebenaran ajaran-Nya, maka yang terjadi adalah kezaliman dan kefasiqan, bukan kekufuran.

Rabu, 10 April 2013

RELASI MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS



Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka.  Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 120)
                        
                Para mufasir sepakat bahwa keseluruhan ayat dalam surah al-Baqarah turun ketika Nabi Muhammad saw. telah berhijrah ke Madinah (madaniyyah).  Ayat di atas terletak di dalam kelompok ayat yang berbicara tentang komunitas Bani Israil, yang di dalam QS. al-Baqarah dimulai dari ayat 40-146.  Sementara mufasir, di antaranya Imam As-Suyuthi, mengutip dari sahabat Ibn ‘Abbas, menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan masalah pemindahan arah kibalat dalam shalat yang mengarah ke Ka’bah.  Kaum Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran menanggapi dengan sinis, karena mereka sangat mengharap agar kaum Muslim mengarahkan shalat kea rah kiblat mereka.1[1]

                Ayat tersebut seakan ingin menguatkan Rasulullah saw. Dalam menghadapi sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani.  Hal ini menjadi lebih jelas apabila diperhatikan ayat sebelumnya khususnya ayat 118 dan 119.  Dalam ayat 118 dijelaskan tentang keengganan Bani Israil khususnya dan orang kafir Mekkah umumnya (karena memang mereka sering bersikap setali tiga uang dalam menghadapi dakwah Nabi saw), untuk menerima dakwah Nabi saw. Dengan dalih yang bernada protes “mengapa Allah tidak berbicara kepada kami atau mendatangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami”.

                Sedangkan dalam ayat 119 Allah menegaskan bahwa salah satu tugas utama Nabi Muhammad saw. adalah untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan serta tidak eksklusif hanya untuk kelompok tertentu tapi kepada semua manusia.  Ternyata tidak setiap orang yang menerima kabar gembira atau peringatan tersebut menyambut dengan baik, namun ada juga yang menolak.  Ayat 120 inilah yang menggambarkan kelompok mana saja yang menolak sekaligus alasan penolakannya.

                Orang-orang Yahudi dan Nasrani baru akan rela menerima seruan Nabi Muhammad saw. apabila yang disampaikan adalah ajaran atau tata cara hidup mereka atau Rasulullah saw. terlebih dahulu masuk dan mengikuti ajaran atau millah mereka.  Susunan ayat tersebut tampaknya memberi kesan Nabi saw bersedih, karena keengganan mereka untuk meninggalkan agama sebelumnya untuk masuk Islam.2[2]  Sementara di sisi lain, Nabi Muhammad saw. tidak mungkin akan mengikuti keinginan mereka.  Kemudian, ayat tersebut memberi tuntunan bagaimana menyikapi hal tersebut dengan menyatakan “Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya.”
               
                Beberapa ayat lain menginformasikan tentang kesediaan Nabi saw. atas respons sementara orang yang tidak mau beriman, di antaranya QS. Al-Kahfi [18]: 6:


Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an).”

                Juga dalam QS. Fâthir [35]: 8:

“…Maka, janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka…”.

                Dalam beberapa ayat lainnya Nabi saw diingatkan oleh Allah swt. bahwa:

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Baqarah [2]: 272)

                Ada sementara kelompok yang memahami ayat di atas secara literal dengan berkesimpulan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selamanya tidak akan pernah rela terhadap kaum Muslim sampai kaum Muslim tunduk kepada mereka.  Bahkan, lebih jauh lagi ada yang berkeyakinan berdasarkan ayat tersebut dengan berpendapat bahwa dasar hubungan antara Muslim dan non-Muslim khususnya Yahudi dan Nasrani adalah jihad/perang bukan perdamaian, sehingga dengan pandangan seperti ini dikembangkanlah teori konspirasi; bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selalu melakukan konspirasi untuk memusuhi umat Islam.

                Pendapat tersebut jelas kurang tepat, berdasarkan paling tidak tiga alasan.  Pertama, ditinjau dari redaksi dan hubungan ayat; Kedua, para mufasir baik klasik maupun kontemporer tidak ada yang berkesimpulan demikian; Ketiga, karena tidak sejalan dengan pandangan al-Qur’an secara umum menyangkut sifat dan sikap orang Yahudi dan Nasrani.



1 As-Suyuti, Lubâb an-Nuzûl, dalam Hamisyah Tafsir Jalâlain, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 22.
2 Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, Mesir: Mushtafa al-Bab al-Halabi, 1974, jilid I, h. 273; juga dalam M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh, Jakarta: Lentera Hati, 2000, vol. I, h. 294

Selasa, 09 April 2013

FASILITAS NEGARA KAFIR SAMA DENGAN FAY` (HARTA RAMPASAN)?



Sejak awal disebarkan, agama Islam selalu menghadapi tantangan yang datang dari orang-orang kafir. Ketika umat Islam sudah merasa kuat secara fisik, mereka mulai diizinkan untuk menghadapi gangguan itu dengan sikap keras, yaitu perang. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masa tersebut, mereka yang memenangkan pertempuran memunyai hak untuk merampas harta benda musuh yang dikalahkan. Demikian pula halnya yang terjadi dalam peperangan antara pasukan Islam dan tentara kafir. Pada saat kaum Muslim memenangkan pertempuran, harta musuh yang berhasil dirampas segera dibagikan kepada semua yang ikut berjuang.
Harta rampasan perang yang diperoleh umat Islam ada dua macam, yaitu harta yang didapatkan dengan mengalahkan musuh dalam pertempuran dan yang diperoleh dari musuh tanpa melalui peperangan. Yang pertama disebut al-ghanimah, sedang yang kedua dinamakan al-fay'. Karena hakikat perolehannya berbeda, pembagiannya juga tidak sama. Pembagian ghammah diatur dengan ketetapan Allah yang terdapat dalam(surah al-Anfal [8]: 41) sedang peruntukkan al-fay' diatur dengan petunjuK-Nya yang tercantum dalam sural} al-Hasyr [59]: 6-7. inilah informasi sejarah yang berkaitan dengan harta orang kafir.
Hakikat al-Fay'
Istilah al-fay' merupakan bentuk mashdar dari kata kerja fa'a-yaf'u yang artinya kembali atau mengambil harta musuh. Kata ini dengan segala derivasinya disebut dalam al-Qur'an sebanyak tujuh kali, yaitu pada surah al-Baqarah [21: 226; (al-Hujurat [49]: 9 disebut dua kali, al-Ahzab [33:50;, af-Hasyr [59]: 6-7, dan pada an-Nahl [16]: 48. Dari tujuh ayat ini, yang bermakna pengambilan harta rampasan hanya tiga, yaitu yang terdapat pada surah al-Ahzab [33]: 50 dan surah al-Hasyr [59]: 6 & 7) Berikut ini dikutipkan dua ayat yang terakhir disebut, yaitu:

“Dan harta rampasan fay' dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, kamu tidak memerlukan kuda atau unta untuk mendapatkannya, tetapi Allah rnemberikan kekuasaan kepada rasul-rasul-Nya terhadap siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta rampasan (fay') dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul kerabat (rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan antara orang-orcng yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya berada di antara orang-orang yang kaya di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepada maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukumannya.” QS. al-Hasyr [59]: 6-7)

Dua ayat di atas diturunkan berkaitan dengan harta yang diperoleh kaum Muslim dari Bani Nadhir yang menyerah dan mengaku kalah sebelum terjadi perang. Harta yang mereka tinggalkan setelah diusir dari Madinah disebut dengan istilah al-fay'. Dalam persoalan yang berkaitan dengan perolehan, ayat 6 menyebutkan bahwa harta ini diperoleh tanpa melalui perang, yang diungkapkan dengan redaksi bahwa dalam memperolehnya para sahabat tidak memerlukan kuda atau unta. Pada saat tersebut, musuh yang pada awalnya hendak melawan ternyata kemudian menyerah dan mau meninggalkan daerahnya dengan hanya membawa harta sesuai dengan kemampuan mereka. Harta lain yang tidak terbawa kemudian dijadikan sebagai rampasan. Cara memperoleh al-fay' adalah tidak disertai dengan perang secara fisik yang melibatkan pasukan. Karena itu, harta ini tidak dibagikan sebagaimana yang terjadi pada ghammah. Peristiwa semacam ini terjadi beberapa kali dalam sejarah perang yang dipimpin Rasulullah saw., yaitu pada perang dengan Bani Quraizhah, perang dengan Bani Nadhir, perang dengan penduduk Fadak, dan perang dengan penduduk Khaibar.
Sementara itu, petunjuk Allah yang terkait dengan pembagian al-fay' disebutkan dalam ayat 7, yaitu bahwa harta al-fay' itu menjadi hak Rasulullah saw., yang kemudian dibagi untuk beliau dan para kerabatnya, anak inak yatim, orang-orang miskin, dan para musafir yang kehabisan perbekalan sebelum mereka sampai pada tujuan yang dikehendakinya. Sehubungan dengan distribusi al-fay' ini, Bukhari dan Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan yang lainnya meriwayatkan dari Umar bin Khaththab yang mengatakan bahwa semua harta Bani Nadhir yang diserahkan Allah pada Rasul-Nya menjadi hak Rasulullah saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw. mengambil untuk keperluan nafkahnya dan nafkah keluarganya selama setahun, sedang selebihnya digunakan membeli senjata untuk keperluan perjuangan di jalan Allah.[1]
Hamka, sebagaimana yang tertulis dalam Tafsir al-Azhar yang diterbitkan oleh Pustaka Panjimas, mengatakan bahwa distribusi al-fay' ini dibagi menjadi lima bagian, yang empat perlima (80%) untuk Rasulullah saw., dan yang seperlima bagian dibagi lima lagi. 20% (seperlima) pertama untuk Rasulullah saw., dan yang 80% (empat perlima) dibagikan kepada para kerabat Rasulullah, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan para musafir yang kehabisan dana.2
Sesudah wafat Rasululah saw., bagian dari al-fay' ini jelas tidak lagi didistribuskan kepada beliau. Karena itu para ulama, dengan persetujuan para penguasa, menetapkan bahwa bagian Rasululah saw. itu dipergunakan untuk keperluan membiayai orang-orang yang melanjutkan tugas-tugas kerasulan, seperti para pejuang di jalan Allah dalam menegakkan agama, dan para mubaligh yang berdakwah atau menyeru umat ke jalan Allah. Sementara itu, sebagian pengikut Syafi'i berpendapat lain. Mereka mengemukakan fatwa yang agak berbeda, yaitu bagian Rasulullah saw. Itu diserahkan kepada lembaga-lembaga yang kegiatannya untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim dan dipergunakan bagi mereka yang bekerja untuk menegakkan agama Islam.[2]
Pembagian al-fay' yang ditetapkan dalam surah al-Hasyr ayat 7 ini didasarkan pada alasan bahwa pasukan Islam tidak melakukan pertempuran dalam memperolehnya. Selain itu, sesuai dengan kandungannya, kebijakan ini juga dimaksudkan agar harta itu tidak hanya terkumpul di antara orang-orang kaya saja. Maksudnya, para tentara yang senantiasa ikut perang itu telah mendapatkan bagian yang cukup'banyak dari berbagai pertempuran yang diikuti, sehingga mereka telah memiliki banyak harta yang berasal dari ghanbnah. Bila harta dari al-fay' juga diberikan untuk mereka, niscaya harta itu hanya akan berputar atau dimiliki oleh mereka yang telah berkecukupan. Di sisi lain, masih banyak anak yatim dan fakir miskin yang perlu diperhatikan karena mereka tidak berharta. Sementara Rasululah saw. sendiri selalu membagikan ghammah yang menjadi haknya kepada mereka yang memerlukan, sehingga ketika beliau sampai di rumah, hanya tinggal secukupnya untuk keperluan nafkah para istrinya.
Fenomena di Masyarakat
Masalah harta rampasan perang mengisyaratkan adanya kebiasaan yang secara umum berlaku di antara komunitas manusia yang bertempur, yaitu pemenang perang berhak mengambil harta dari musuh yang dikalahkan. Kebiasaan demikian memang merupakan fenomena yang terjadi secara umum pada semua bangsa pada saat tersebut. Ketika dua kelompok tentara berhadapan, maka yang akan menang akan mengambil harta yang ditinggalkan musuhnya, baik ketika itu terjadi pertempuran antara keduanya maupun tidak. Dalam sejarah kemanusiaan, terekam adanya aturan yang tidak tertulis mengenai masalah ini. Sebagai akibatnya, setiap suku bangsa selalu merasa berkewajiban untuk memperkuat pertahanan dirinya dengan pasukan yang tangguh. Perasaan demikian muncul karena anggapan bahwa mereka berada dalam situasi perang terus-menerus dengan pihak lain. Penaklukan dan penyerangan terhadap pihak yang dinilai lemah sudah merupakan bagian dari kebiasaan dari berbagai bangsa dan kerajaan yang kuat. Pertempuran semacam ini akan diakhiri dengan perampasan harta milik musuh yang dikalahkan. Dengan demikian, ketika umat Islam berperang dengan mereka yang memusuhinya, maka kebiasaan ini juga dilakukan.
Ajaran Islam, walaupun tampak mengakomodir kebiasaan yang telah ada dan berlaku secara umum, namun juga memberikan tuntunan yang baru yang mengarah pada keadilan dan kemaslahatan yang lebih baik bagi umat manusia secara keseluruhan. Dalam kaitan dengan harta rampasan dari suatu pertempuran, ketetapan Islam mengatur bahwa yang berhak mendapatkannya bukan hanya mereka yang berhasil membunuh musuh, tetapi juga semua yang ikut dalam perang memunyai hak untuk mendapat bagian, walau mereka tidak membunuh musuhnya. Bahkan, mereka yang tidak ikut maju perang, tetapi memiliki peran dalam pertempuran juga memperoleh bagian. Hal yang sedemikian ini karena peran mereka juga dinilai penting, sehingga mereka dapat mengalahkan musuh.
Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Islam hanya membolehkan pengambilan harta musuh, atau orang kafir, adalah terbatas pada mereka yang diperangi saja. Sedang harta orang-orang kafir yang tidak memerangi atau memusuhi umat Islam tidak diperlakukan sebagai ghammah atau fay'. Karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan untuk mengambil atau merampasnya. Bahkan, dalam kaitan dengan masalah harta rampasan Rasulullah saw., pernah pula ditetapkan bahwa ghammah yang dapat dibagikan hanya yang berupa harta bergerak, sedang yang tidak bergerak, yaitu tanah tidak dibagikan. Harta semacam ini diserahkan kembali kepada pemiliknya untuk digarap, sehingga tanah tersebut tidak menjadi lahan tidur saja, tetapi dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.  Kebijakan demikian diambil berdasarkan pada pertimbangan' bahwa ketika itu umat Islam sedang disibukkan dengan kegiatan untuk berdakwah dan mempertahankan diri dari rongrongan musuh. Selain itu, mereka juga kurang berpengalaman dalam menggarap lahan pertanian, sehingga ada kemungkinan mereka tidak dapat memaksimalkan lahan tersebut. Sebagai imbalannya, umat Islam menerima bagian dari hasil penggarapan tanah tersebut. Kebijakan Rasulullah saw. seperti ini ditetapkan pada Perang-Khaibar yang terjadi pada bulan Muharram tahun 7 H.[3]
Peristiwa semacam ini, tidak membagikan tanah musuh yang berhasil dikalahkan, juga terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, yaitu ketika pasukan Islam berhasil menaklukkan Persia. Pada saat itu, para tentara menuntut agar tanah di daerah tersebut dibagikan kepada mereka yang ikut dalam perang tersebut. Tetapi, Umar menolak permintaan itu dengan alasan bahwa tanah tersebut pasti akan terbengkalai karena ditinggal pemiliknya pergi berperang ke daerah lain, sesuai dengan perintah yang diberikan Khalifah. Ketimbang tidak memberikan hasil, Khalifah lebih memilih untuk menyerahkannya kepada pemilik semula, yaitu orang Persia untuk diolah dan ditanami sebagaimana biasanya. Hasi! pertanian dari tanah tersebut kemudian dibagi dua, sebagian untuk penggarap yang mengolah lahan dan sebagian yang lain disetor ke kas negara. Sebagai kompensasi dari tidak diterimanya tanah sebagai harta rampasan, semua tentara yang berperang diberi gaji sesuai dengan peran atau posisinya oleh pemerintah.
Dalam Islam, perintah perang adalah dalam rangka mempertahankan diri, melindungi kaum lemah agar terbebas dari penindasan, atau untuk menghilangkan kekuatan yang berpotensi sebagai ancaman terhadap keberadaan Islam.[4] Oleh karena itu, perang yang ditujukan untuk meriguasai, membanggakan diri, memperbudak, menghina, atau menguasai hasil suatu negara adalah terlarang.[5] Dengan dasar ini, Rasulullah saw. selalu berpesan agar pasukannya tidak melakukan pembuhnan terhadap orang-orang tua, anak-anak, para perempuan, dan orang-orang yang sedang beribadah di gereja. Selain itu, mereka juga dilarang untuk menebang pohon yang sedang berbuah, membunuh binatang selain yang diperlukan untuk makan, menghar curkan bangunan, dan merampas harta penduduk yang tidak ikut berperang. Kebijakan demikian ditetapkan untuk menghindarkan terjadinya pembantaian, perampasan harta, atau pemusnahan yang memang dilarang.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa harta orang kafir dapat diambil hanya bila mereka memusuhi dan memerangi umat Islam. Sedang mereka yang tidak memerangi dan bersedia tunduk pada pemerintahan Islam diberi dua alternatif, yaitu masuk Islam dan harta mereka akan dijamin keamanannya, atau tetap dalam agama semula dengan membayar pajak keamanan, yang disebut jizyah. Pajak ini diambil sebagai bentuk partisipasi penduduk non-Muslim untuk membiayai pasukan yang menjaga keamanan mereka. Kewajiban demikian menjadi logis, karena keamanan jiwa dan harta benda mereka dijamin oleh pemerintahan Islam. Penjagaaan keamanan memerlukan dana untuk menggaji mereka yang melaksanakannya. Karena itu, yang menikmati keamanan sudah sewajarnya bila ikut menanggung dana tersebut. Hal seperti ini bukan berarti bahwa mereka dianaktirikan, ketika warga Muslim tidak diwajibkan membayar izyah. Pertimbangan ini didasarkan pada ajaran adanya kewajibai membayar zakat bagi yang Muslim, sedang bagi non-Muslim tidak ada keharusan tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya ketatapan tersebut merupakan kewajiban yang sesuai dengan asas keadilan.
Dalam kaitan dengan pemungutan jizyah, pemerintah Islam diwajibkan menjaga keamanan penduduk non-Muslim tersebut. Bila ternyata pasukan Islam tidak mampu menjaga keamanan penduduk yang tunduk pada pemerintahan Islam, maka jizyah ini wajib dikembalikan. Kasus demikian pernah terjadi pada penduduk Horns, suatu daerah di sekitar Syam (antara Palestina dan Suriah). Pada saat itu, mereka dikalahkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Panglima Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Penduduk daerah ini bersedia tunduk dengan tetap memeluk agama mereka semula. Karena itulah, mereka ditetapkan untuk membayar pajak keamanan atau jizyah. Tetapi, beberapa saat kemudian pasukan Islam mengalami kekalahan dalam peperangan melawan pasukan Romawi Timur. Akibatnya, Abu Ubaidah dan pasukannya terpaksa meninggalkan daerah tersebut. Sebelum pergi, beliau mengumpulkan penduduk dan mengembalikan jizyah yang telah dipungutnya. Ketika ditanya tentang pengembalian tersebut, Panglima itu rnenjawab bahwa pemungutan pajak dimaksudkan sebagai biaya keamanan Ketika ternyata keamanan penduduk tidak dapat dijamin lagi akibat kalah perang, maka pajak itu dikembalikan lagi.[6]


[1] Universitas Islam Indonesia, al-Qur'an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990), Jilid x, h. 61.
[2] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Jilid XXVII, h. 27
[3] Shafiyyu ar-Rahman at-Mubarakfuri, Sir oh an-Nabawiyah, terjemah oleh Rahmat, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 559.
[4] Lihat Sayyid Sabiq, Anashir al-Quwwah flal-lslam, terjemah oleh Muhammad Abdai Rathomy, (Surabaya Toko Kitab Ahmad Nabhana, 1981), h. 272-274.
[5] Muhammad as-Syyid Ahmad al-Wakil, Hadza ad-Din baina Jahli Abna'ihi wa Kaidi A'da'ihi, terjemah oleh Burhan Jamaluddin, (Bandung: al-Ma'arif, 1988), h. 57.

[6] AAuhamad al-Sayyid Ahmad al-Wakil, Hadza al-Din baina Jahli Abnd'ihi wa Kaidi A'da'ihi, h. 52.

Senin, 08 April 2013

ORANG KAFIR TIDAK AKAN BERHENTI MEMUSUHI ISLAM?/



Ketika terjadi penyerbuan pasukan gabungan yang dipimpin Amerika Serikat ke Afghanistan dengan mengatasnamakan sebagai pasukan PBB untuk perdamaian, muncul berbagai penilaian dari berbagai pihak yang beragam. Ada di antaranya yang menyatakan bahwa peristiwa ini merupakan upaya menumpas terorisme yang dilakukan oleh organisasi yang dipimpin Osamah bin Laden yang ketika itu bermaskas di Afghanistan. Negara ini diserang karena dianggap melindungi teroris yang mengganggu ketenteraman dunia. Inilah alasan utama yang mereka ungkapkan ketika memulai penyerbuannya. Namun, selain penilaian tersebut, ada pula yang berpendapat bahwa ini merupakan bentuk konspirasi untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Mereka menganggap bahwa Islam merupakan ancaman baru bagi bangsa Barat setelah tumbangnya komunisme. Penilaian yang awalnya diungkapkan oleh Samuel Huntington ini ternyata sangat berpengaruh pada sikap masyarakat Barat. Saat ini, bila mereka mendengar sesuatu tentang Islam, banyak di antara mereka yang menilai bahwa agama ini identik dengan terorisme atau kekerasan. Stigma demikian telah mendorong sebagian dari mereka untuk berpendapat bahwa agama ini dan pemeluknya harus dihancurkan. Karena itu, dengan beragam alasan yang dicari-cari mereka berupaya keras untuk menghancurkan Islam dan penganutnya.
Penilaian yang kedua ini menjadi semakin meluas ketika terbukti bahwa alasan penyerbuan ke Irak yang juga dilakukan oleh tentara gabungan pimpinan Amerika tersebut tidak benar. Pabrik senjata kimia pemusnah massal yang menjadi alasan utama dan dituduhkan oleh mereka dimiliki Irak ternyata tidak ditemukan. Alasan ini dengan sendirinya menjadi batal, karena memang tidak dapat dibuktikan. Karena itu, semua yang mereka lakukan tidak lain hanya merupakan konspirasi untuk penghancuran Islam atau negara Islam yang dinilai membahayakan. Tampaknya, para musuh itu selalu tidak senang melihat Islam yang berkeinbang dan negara Islam menjadi kuat dan mandiri, demikian pendapat yang memunyai penilaian tentang konspirasi. Karena itu, mereka selalu mengupayakan agar negara Islam tidak menjadi kuat, baik dari segi politik, budaya, maupun ekonomi. Sebelum menjadi kekuatan yang mengkhawatirkan, Islam mesti dikebiri dan ditundukkan, sehingga selalu bergantung pada mereka dan tidak meresahkan bagi kehidupan internasional.
Dari kesan seperti yang digambarkan itu, muncul pertanyaan betulkah selalu muncul konspirasi untuk memusuhi Islam. Bila benar teori ini, maka apa penyebab utama yang mendorong mereka yang memusuhi Islam untuk menghancurkan agama ini. Bila tidak benar, apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya aliansi berbagai negara yang bertujuan menyerang umat Islam atau negara Islam tertentu. Mungkinkah pendapat tentang konspirasi ini merupakan suatu pemikiran yang agak berlebihan atau sikap yang over reacted, ketika menghadapi kekuatan musuh. Pertanyaan-pertanyaan ini sudah menyebar dan menjadi persoalan penting bagi umat Islam. Karena itu, penjelasan tuntas tentang masalah ini sangat diperlukan, agar kaum Muslim dapat merespons persoalan tersebut dengan benar dan tidak gegabah dalam bersikap.
Munculnya kesan tentang teori konspirasi ini tidak dapat disalahkan. Upaya penghancuran Islam memang sering terjadi sejak awal kemunculannya. Dari waktu ke waktu, perilaku mereka yang tidak senang pada Islam selalu sama. Beberapa peristiwa sejarah yang berkaitan dengan berbagai penyerangan terhadap Islam dan umatnya telah membuktikan kebenaran asumsi ini. Mereka yang mengemukakan pendapat ini tampaknya merasa semakin yakin dengan adanya informasi dari al-Qur'an tentang masalah ini, dan mereka menunjuk firman Allah yang mengisyaratkan hal tersebut, yaitu:

Ayat ini sebenarnya merupakan jawaban atas kritikan sebagian orang Arab yang menuduh umat Islam melakukan peperangan pada bulan haram. Karena itulah ayat ini turun untuk menjelaskan bahwa melaksanakan perang pada bulan haram memang dilarang. Sehubungan dengan hal ini, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan ath-Thabrani yang berasal dari Jundub bin Abdillah bahwa Rasulullah saw. mengirim pasukan yang dipimpin Abdullah bin Jahsy. Kemudian mereka bertemu dengan pasukan musuh yang dipimpin Ibnu al-Hadrami. Dalam perang, panglima musuh ini terbunuh. Setelah peristiwa ini berlalu dan agak terlewatkan, muncul kabar burung yang ditiupkan kaum Musyrik bahwa umat Islam telah melanggar larangan, yaitu berperang pada bulan haram. Ketika itu tidak jelas, apakah peristiwa tersebut terjadi pada bulan haram atau sebelumnya. Kemudian turun ayat ini untuk menjelaskan ketetapannya. [1]
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab dari turunnya ayat tidak” menjelaskan masalah yang dibicarakan. Padahal, frasa yang digarisbawahi pada ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kaum kafir akan selalu berupaya untuk menghancurkan umat Islam dan mengembalikan mereka pada kekafiran. Karena sabab nuzul tidak memberikan informasi yang diperlukan, pembahasannya akan tertuju pada masalah utama yang dikaji, yang ternyata dijadikan sebagai sumber u :ituk membenarkan pendapat mereka yang memberikan respons tersebut.
Islam berkembang dengan pesat, baik sebagai agama maupun kekuatan politik. Tak pelak lagi, hal yang demikian ini telah mengundang berbagai respons dari berbagai kalangan. Selain yang mengagumi perkembangan yang demikian spektakuler, ternyata tidak sedikit pula yang bereaksi negatif. Kelompok yang terakhir ini bisa jadi terdiri dari kelompok, aliran, negara, atau bangsa yang merasa terancam oleh Islam, baik sebagai agama, umat yang berideologi, maupun sebagai negara. Pada giliran selanjutnya, reaksi negatif ini telah mendorong munculnya keinginan untuk menghancurkan Islam yang terus berkembang. Namun, untuk menghadapi kekuatan ini, tampaknya mereka tidak berani bertindak sendiri-sendiri. Ada kemungkinan sikap ini didasarkan pada kekhawatiran atas kekuatan Islam itu sendiri, atau dapat juga disebabkan oleh kekhawatiran pada kecaman dunia atau kerugian yang akan ditanggung. Karena itu, dalam banyak kasus, upaya untuk menghancurkan Islam selalu dilakukan secara bersama-sama yang melibatkan berbagai kelompok. Inilah konspirasi yang bertujuan untuk menghapus Islam dan umatnya dari muka bumi.

Tampaknya, konspirasi yang demikian tidak saja terjadi pada masa kini. Sejak permulaan munculnya Islam, hal ini sudah pula ada. Dalam berbagai kasus diriwayatkan ketika penduduk Mekkah meminta agar Nabi saw. menghentikan dakwahnya, atau melakukan apa saja untuk rnenghalangi dan mengganggunya, selalu mereka mengatasnamakan kegiatan atau upayanya sebagai keinginan kolektif dari semua suku yang tinggal di kota itu. Hal seperti ini dilakukan karena dalam budaya Arab, setiap orang memiliki pelindung dari sukunya. Bila salah satu anggota suku dibunuh atau disakiti orang dari suku lain, maka seluruh keluarga sesuku akan bangkit menuntut balas. Inilah sebab dari munculnya konspirasi untuk melawan Rasulullah saw. yang ketika itu berada di bawah perlindungan Bani Hasyim.
Puncak konspirasi untuk mengatasi persoalan yang mengganggu adalah keputusan akhir yang disepakati penduduk Mekkah, yaitu untuk membunuh Rasulullah saw. Mereka secara khusus mengadakan pertemuan untuk membahas masalah ini. Dalam pertemuan tersebut terjadi pendebatan tentang sikap yang akan diambil, apakah Nabi saw. diusir dari Mekkah saja, dipenjarakan agar tidak dapat melakukan kegiatannya lagi, atau dibunuh saja. Dengan memerhatikan segala pertimbangan, akhirnya disepakati untuk mengeksekusi Nabi saw. Kisah ini dicantumkan dalam al-Qur'an untuk mengingatkan kaum Muslim tentang upaya kaum kafir untuk menghancurkan Islam yang tidak pernah berhenti. Ayat yang mengisyaratkan hal ini yaitu:


“Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk rnenangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya” (QS. al-Anfal [8]: 30)
Pelaksanaan hasil musyawarah adalah dengan mengirim para pemuda dari setiap suku untuk melaksanakan eksekusi ini. Ketetapan ini segera dijalankan, dan setiap kabilah mengirim utusannya untuk berpartisipasi. Montgomery Watt menulis dalam bukunya yang berjudul Muhammad's Mecca: History in the Qur'an bahwa konspirasi ini pada akhirnya gagal,[2] karena ketika itu para pelaksana tertidur dan tidak mengetahui bahwa Nabi saw. telah keluar dari rumahnya. Informasi tentang kegagalan ini juga diungkap dalam al-Qur'an, yaitu seperti yang tercantum dalam QS. Yasin [36]: 9, yaitu:

“Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), serta Kami tutup (matq) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat:” (QS. Yasin [36]: 9)
Konspirasi kedua yang menonjol dalam sejarah Islam adalah kesepakatan penduduk Mekkah dengan berbagai suku di Jazirah Arab untuk menghancurkan umat Islam di Madinah. Kerja sama ini diprakarsai oleh kelompok Yahudi dari Bani Nadhir yang telah diusir dari Madinah karena berkomplot untuk membunuh Rasulullah saw.[3] Untuk mewujudkan keinginan tersebut, suku ini kemudian mengirimkan utusan ke kaum Quraisy di Mekkah, kaum Ghathafan, dan kabilah lainnya dengan satu misi, yaitu mengajak mereka secara bersama menyerang Nabi saw. dan kaum Muslim di Madinah.[4] Pada waktu yang telah ditetapkan, pasukan-pasukan dari berbagai kabilah ini berangkat menuju Madinah dengan satu tujuan, yaitu menghancurkan Islam dan umatnya. Untuk menghadapi jumlah yang sangat besar ini, umat Islam membuat parit di sekeliling kota yang diharapkan dapat menghambat laju mereka. Setelah melalui perjuangan yang gigih, kaum Muslim dapat memenangkan peperangan ini. Bala tentara sekutu kembali dengan tangan hampa setelah dilanda angin topan yang memorak-porandakan perkemahan mereka.
Pada abad pertengahan, konspirasi semacam ini terjadi lagi, yaitu dengan terjadinya Perang Salib di Palestina. Perang ini disebabkan oleh munculnya kekhawatiran umat Nasrani terhadap kelancaran ziarah mereka ke Palestina yang ketika itu dikuasai Dinasti Saljuq. Paus Urbanus pada 26 November 1095 menyampaikan khotbah di Clermont, Perancis selatan yang isinya mendesak umat Kristen Eropa agar b.ersatu menyerang Palestina untuk membebaskan Yerusalem. Pada musim semi tahun 1097, berangkatlah sekitar 150.000 pasukan Kristen menuju Palestira.[5] Selanjutnya, terjadilah pertempuran yang berkepanjangan ant ira keduanya. Inilah perang besar yang terjadi antara umat Islam can umat Kristen dari seluruh daratan Eropa.
Memerhatikan paparan di atas, tidak aneh bila sebagian umat Islam berpendapat bahwa setiap saat konspirasi orang-orang kafir untuk menghancurkan Islam akan selalu terjadi. Fakta sejarah memang menunjukkan peristiwa-peristiwa seperti yang digambarkan. Namun, tampaknya perlu juga diperhatikan apakah teori ini memang terjadi secara umum, atau disebabkan oleh adanya kasus-kasus tertentu.  Penilaian demikian diperlukan, agar dalam menganalisis, umat Islam tidak terjebak pada sikap permusuhan yang belum tentu akan memberi manfaat. Lebih lanjut, introspeksi diri tampaknya juga diperlukan, agar mereka tidak menganggap bahwa mereka itu memang selalu berada di pihak yang benar.
Bila dilihat kembali kasus yang terjadi di Afghanistan, tampaknya memang diperlukan analisis yang cermat tentang penyebab dari munculnya ide untuk menyerang negara ini. Alasan yang dikemukakan untuk melegitimasi penyerangan adalah karena Afghanistan dinilai melindungi teroris, Usamah bin Laden, yang telah menyerang kepentingan Amerika di beberapa negara. Kenyataan ini tentu diketahui bersama, walaupun masyarakat dunia juga mengetahui bahwa aksi Usamah ini dipicu oleh sikap Amerika, yang menurut pendapat berbagai 1 alangan  menerapkan standar ganda dalam menggariskan beber..pa isu politik dan sosial, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan masalah lain. Banyak yang menilai ketika Amerika mendesak pelaksanaan isu-isu tersebut di suatu negara, namun di negara lain yang menjadi sekutunya, hal itu tidak diharuskan. Akibatnya, banyak kebijakan negara adidaya dinilai merugikan suatu negara dan menguntungkan negara lain. Inilah sebenarnya pokok masalah yang sering kali menyebabkan beberapa pihak merasa kesal pada kebijakan-kebijakan yang dilakukan negara tersebut.
Analisis di atas memang ada benarnya. Namun, dalam menelusuri persoalan ini dengan lebih mendalam, tampak bahwa yang dilakukan Amerika dan sekutunya itu lebih ditujukan kepada negara yang dinilai memiliki potensi yang mengancam kepentingan mereka. Ini tentu menjadi persoalan yang relatif, sebab ancaman atau bukan tentunya akan bergantung pada sikap dan respons dari setiap pihak. Terhadap negara Islam yang tidak dianggap sebagai ancaman, ternyata mereka tidak menerapkan sikap keras tersebut. Dengan fakta ini, ada pula yang menilai bahwa apa yang terjadi di Dunia Islam bukan merupakan konspirasi untuk menghancurkan umat Islam. Fakta yang tidak dapat dibantah adalah bahwa saat ini terdapat puluhan negara Islam, namun hanya beberapa saja yang dinilai membahayakan karena dipimpin oleh tokoh yang memang bersikap militan. Negara-negara Islam lain yang dinilai tidak beraliran keras tidak mengalami gangguan. Peristiwa-peristiwa penyerangan itu merupakan kasus yang mengemuka karena dipicu oleh adanya kekhawatiran terhadap potensi yang mengancam kepentingan mereka. Kendati demikian, umat Islam tentu wajib pula mengingat negara adidaya dan sekutunya bahwa tindak kekerasan yang mereka tunjukkan justeru akan semakin memicu munculnya perlawanan. Hal yang sedemikian ini tentu tidak diinginkan.
Persoalan lain yang dinilai lebih urgen adalah akibat dari reaksi yang mungkin timbul dari masalah konspirasi ini. Ketika isu ini diembuskan, dan umat Islam memercayainya, maka dipastikan akan muncul sikap antipati dan permusuhan terhadap pihak-pihak yang dinilai telah berkonspirasi. Bila suasana demikian yang muncul ke permukaan, akibatnya akan timbul rasa saling curiga di antara masyarakat dunia. Keadaan demikian tentu bukan merupakan hal yang kondusif bagi setiap pihak. Pada saat semua negara sedang giat mencanangkan pembangunan bagi rakyatnya, maka kerja sama antarnegara sangat diperlukan. Kondisi seperti ini hanya tercipta dengan baik bila tumbuh keinginan untuk saling menghargai dan memercayai pihak lain. Sebaliknya, bila yang ada adalah perasaan saling curiga dan antipati, maka kerja sama yang diinginkan akan sulit diwujudkan. Kerugian pada setiap pihak jelas tidak akan terelakkan lagi. Suasana demikian tentu tidak diinginkan.
Islam adalah agama yang ditetapkan sebagai rahmatan lil’amin, yaitu yang dapat membcikan kesejukan, ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian bagi masyarakat dunia. Hal ini mengisyaratkan bahwa mestinya para pemeluknya berupaya untuk

mewujudkan kondisi yang kondusif bagi sesama. Untuk menuju keadaan demikian diperlukan kearifan dalam segala hal, baik yang menyangkut kehidupan individu, sosial, hubungan dengan masyarakat non-Muslim, dan sebagainya. Bila ini yang diagendakan, maka dapat dipastikan umat Islam justeru akan berperan besar dalam menyelenggarakan kehidupan yang baik bagi semuanya.
Paparan di atas bukan berarti sebagai sikap lemah dari umat Islam. Sesuai dengan ajaran agama ini, kaum Muslim dianjurkan untuk berbuat baik, bersikap adil, menghargai pihak lain, kerja sama yang saling menguntungkan dengan siapa saja dalam kebaikan, dan mewujudkan kehidupan yang tenang, sejahtera, dan penuh kedamaian. Namun, bila muncul gangguan yang mengancam eksistensinya, mereka tidak dilarang untuk membela diri dan bersiaga agar mereka tidak terprovokasi oleh keinginan-keinginan buruk yang diembuskan pihak lain.
Kesimpulan dari paparan ini adalah bahwa umat Islam jangan mudah terpancing isu-isu yang dapat mengakibatkan munculnya sikap yang dapat merugikan. Konspirasi untuk menghancurkan Islam memang pernah ada dan akan muncul pula di lain saat. Namun, hal ini hendaknya dikaji lebih dulu secara saksama dan dengan kearifan yang dapat meredam emosi sesaat. Sebelum menentukan sikap, mesti dipertimbangkan lebih dulu aspek positif dan negatifnya, sehingga bukan kerugian dan penyesalan yang akan didapatkan dalam kehidupan antarbangsa.


1 Qamaruddin Shaleh et al, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 1974) h 68.

[2] W. Montgomery Watt, Muhammad`s Mecca : History in the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1988) h. 105
[3] Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, terjemah oleh Rahmat, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 418
[4] Lihat Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terjemah oleh Ali Audah, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992), h. 342.
[5] Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The MacMillan Press Ltd, 1974), h. 636.