Senin, 06 Mei 2013

Janganlah Mencari-cari Kesalahan Orang Lain!




Bab ini menjelaskan mengenai larangan tajassus (mencari-cari kesalahan). Kedua penulis menguraikan definisi tajassus sebagaimana pengertian yang dijelaskan Al-Alusi, yaitu mencari-cari sesuatu yang tersembunyi dari seseorang. Tentu saja sesuatu yang tersembunyi itu adalah aib atau kesalahan. Al-Quran dengan sangat jelas menerangkan larangan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) ini melalui firman-Nya, “...dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain....” (QS. Al-Hujurat [49]: 12). Rasulullah Saw juga bersabda, “Wahai orang-orang yang sudah beriman dengan lisannya, tetapi belum beriman sampai ke dalam lubuk hati, janganlah kamu menyakiti kaum muslimin, janganlah kamu mempermalukan mereka, dan janganlah mencari-cari kesalahan mereka. Barang siapa mencari-cari kesalahan saudaranya yang muslim maka Allah akan membukakan kesalahannya dan barang siapa yang telah dibukakan kesalahannya oleh Allah maka ia tidak akan bisa menutup-nutupinya meski bersembunyi sampai ke lubang di tempat yang jauh.”

Kemungkaran merupakan sesuatu yang haram, tetapi mencari-cari kemungkaran juga diharamkan. Karena itu, seseorang tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain yang mungkin disembunyikan. Artinya, kemungkaran yang masih dalam tahap sangkaan itu tidak boleh dicari-cari karena masih mengandung dua kemungkinan; benar atau tidak. Diriwayatkan bahwa suatu ketika seorang laki-laki mendatangi Umar bin Khaththab dan berkata, “Wahai Umar, si fulan sepertinya suka minum khamar (minuman keras) secara diam-diam.” Umar lalu berkata, “Tunggulah sampai waktu ia biasa selesai meminum khamar.” Laki-laki itu lalu mendatangi Umar ketika si fulan selesai meminum khamar dan mengajak Umar mendatangi rumah si fulan. Ketika tahu Umar akan memasuki rumahnya, si fulan pun segera menyembunyikan khamarnya. Laki-laki itu dan Umar lalu memasuki rumah si fulan. Umar kemudian berkata, “Sungguh, aku mencium bau khamar.” Si fulan menjawab, “Wahai Ibnu Khaththab, bagaimana kamu ini, bukankah Allah telah melarangmu untuk mencari-cari kesalahan orang lain?” Umar pun mengakui hal itu, lalu pergi meninggalkan rumah si fulan. (hal. 57)

Kedua penulis lalu mengutip perkataan beberapa ulama mengenai tajassus. Al-Ghazali berkata, “Syarat bagi orang yang hendak menegakkan nahi mungkar adalah bahwa kemungkaran itu sudah jelas di depan mata tanpa harus dicari-dicari. Adapun jika ada seseorang menyembunyikan kemungkarannya di dalam rumahnya dan ia menutup pintu rumahnya itu rapat-rapat maka orang yang hendak menegakkan nahi mungkar tidak diperkenankan memata-matai rumahnya tersebut.” Al-Qurthubi mengatakan, “Bertindaklah atas kemungkaran yang sudah jelas terlihat dan janganlah memata-matai kesalahan orang lain. Dengan kata lain, seseorang tidak selayaknya mencari-cari aib orang lain sampai aib itu benar-benar tampak jelas setelah dibuka oleh Allah Swt.”

Untuk menutup bab ini, penulis mengungkapkan bahwa setiap pelaku amar makruf nahi mungkar tidak boleh terlalu bersemangat dalam mencari-cari kemungkaran, tidak boleh pula memata-matai kegiatan orang lain di rumahnya, sebagaimana tidak diperkenankan menanyakan pada dua orang, satu laki-laki dan satu lagi perempuan, yang tengah berjalan, “Siapa perempuan yang bersamamu ini, apa hubungannya denganmu?” Hal-hal semacam ini harus betul-betul dihindari.


Imam Al-Ghazali juga menyebutkan beberapa contoh tajassus yang tidak diperbolehkan. Di antaranya mencuri dengar di rumah tetangga, mendekati mulut seseorang untuk mengetahui apakah ada bau khamar ataukah tidak, memegang pakaian seseorang untuk mencari jejak-jejak tindakan mencurigakan tertentu, atau meminta seseorang memata-matai tetangganya.

Jumat, 03 Mei 2013

Jauhi Prasangka!


Prasangka yang harus dijauhi dalam hal ini adalah prasangka buruk. Menurut Ibnu Katsir, prasangka buruk adalah dakwaan yang tidak pada tempatnya tanpa dilatari dasar yang jelas atau menghukumi sesuatu secara tergesa-gesa tanpa petunjuk yang kuat. Jika prasangka buruk ini sudah menyebar dalam suatu masyarakat maka tidak akan ada lagi rasa aman dan nyaman di antara para anggota masyarakat. Hal itu karena setiap kali ada gerakan atau tindakan tertentu dari orang lain maka langsung dicurigai akan membahayakan dirinya dengan berpikir yang bukan-bukan. Bahkan, tidak menutp kemungkinan, kecurigaan yang ada dapat menyebabkan terjadinya perselisihan kecil yang bisa-bisa sampai menimbulkan perkelahian fisik, atau malah sampai pembunuhan. (hal. 45)

Kedua penulis juga mengutarakan akibat dan mudharat dari adanya prasangka buruk, juga tentang penyebab terjadinya prasangka buruk, yaitu mencari-cari kesalahan orang lain, menggunjing, dan adu domba. Untuk itu, Allah benar-benar melarang prasangka buruk melalui firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain....” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).

Demikian pula Rasulullah Sawmenegaskan larangan prasangka buruk. Dalam sebuah Hadis, Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa ia pernah melihat Rasulullah Saw tengah thawaf di Ka’bah lalu bersabda, “Betapa suci engkau, betapa wangi baumu, betapa agung engkau, betapa agung kehormatanmu. Demi Dzat yang diriku ada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya kehormatan seorang mukmin di hadapan Allah masih lebih agung dibanding kehormatanmu, hartanya... juga nyawanya.... Janganlah seseorang berprasangka kecuali dengan prasangka yang baik.”

Dalam Hadis yang lain disebutkan bahwa beliau juga bersabda, “Jauhilah prasangka karena sesungguhnya prasangka merupakan perkataan yang paling buruk.” Hadis yang lain menegaskan, “Jika engkau sudah berprasangka maka engkau tak akan mau meneliti.” Maksud Hadis ini adalah bahwa jika seseorang telah dikuasai setan sehingga ia mengedepankan prasangka buruknya maka ia tidak akan mampu berpikir jernih lagi untuk meneliti fakta yang sebenarnya. Betapa hancur sebuah masyarakat jika di antara individu-individu di dalamnya berkembang rasa curiga, prasangka buruk, dakwaan tanpa dalil yang kuat, dan rasa tidak saling percaya. Tentu masyarakat itu akan mudah tercerai-berai. Hal itu sudah pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw, yaitu ketika beliau diuji dengan kisah Hadisul-ifki (sebuah dakwaan perselingkuhan atas Siti Aisyah Ra yang dilancarkan oleh kaum munafik). Allah Swt berfirman, “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, ‘Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata’” (QS. An-Nur [24]: 12). Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat....” (QS. An-Nur [24]: 19). (hal. 49)

Kedua penulsi mengakhiri bab ini dengan mengatakan bahwa prasangka buruk merupakan perbuatan yang harus dihindari oleh setiap mukmin karena prasangka ini mengandung dosa. Namun, bagi pelaku amar makruf nahi mungkar, mencegah prasangka buruk menjadi lebih ditekankan lagi. Hal itu karena saat menyembah Allah, setiap makhluk harus berprasangka baik kepada-Nya. Prasangka baik pula yang harus didahulukan saat berinteraksi dengan kaum muslimin secara umum. sebaliknya, prasangka buruk tidak boleh dilakukan di hadapan kaum muslimin karena itu mengandung dosa dan berpotensi menimbulkan permusuhan. Sudah disebutkan di atas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika engkau sudah berprasangka maka engkau tak akan mau meneliti.” Kedua penulis juga mengutip perkataan Mu’awiyah, “Jika engkau mencari-cari kesalahan orang lain maka engkau pasti akan merusak dirinya atau berpotensi merusak dirinya.”

Kamis, 02 Mei 2013

Definisi Ikhlas



Al-Qusyairi menyebutkan bahwa pengertian ikhlas adalah menghindarkan ketaatan dari tujuan tertentu. Artinya, ketaatan itu dilakukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketaatan itu dilakukan tidak untuk sesuatu yang lain, semisal agar dilihat orang lain, agar dipuji orang lain, atau tujuan lain yang bersifat keduniaan.
                            
Adapun Ar-Raqaq mengungkapkan definisi ikhlas sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa menghiraukan perhatian orang lain, jujur, dan bahkan diri sendiri pun mengacuhkan perbuatan yang sudah dilakukan itu.

Kedua penulis lalu menjelaskan tiga tanda keikhlasan sebagaimana pernah diungkap Dzun Nun, yaitu (1) pujian atau cacian dari manusia dianggap sama; (2) langsung melupakan apa yang sudah dilakukan; dan (3) menunggu balasan perbuatan hanya di akhirat.

Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Saya berharap kalian semua mempelajari ilmu ikhlas ini dengan sebenar-benarnya, jangan sampai tertinggal barang satu huruf pun!” Imam Syafi’i juga menambahkan, “Setiap kali berbicara dengan seseorang, saya selalu mendoakan ia dapat mengamalkan ilmu ikhlas. Saya juga berharap ia mendapat lindungan Allah Swt.” Dalam hal ini, Imam Syafi’i telah memberikan teladan keikhlasan. Imam Syafi’i ingin orang lain belajar darinya dan ia tak mengharapkan balasan apa pun, termasuk misalnya ilmu yang didapat orang lain darinya tidak disandarkan kepadanya, ia pun tetap tidak mempermasalahkan. Imam Syafi’i hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt.

Sementara itu, ria (budaya pamer) merupakan kebalikan dari ikhlas. Ria yaitu beramal demi dilihat oleh manusia. Rasulullah Saw sendiri pernah mengingatkan bahaya ria dalam sabda beliau, “Hal yang paling aku khawatirkan dari umatku adalah ria dan hawa nafsu tersembunyi.”

Kedua penulis lalu mengungkapkan bahwa pelaku amar makruf nahi mungkar harus mengedepankan sifat rendah hati, penyayang, dan penyabar. Hanya saja, sayangnya masih cukup sering terjadi adanya pelaku amar makruf nahi mungkar yang justru lebih mendahulukan kekuatan dan kekerasan. Celakanya hal itu dilakukan tanpa ilmu dan pengetahuan yang mencukupi.

Rabu, 01 Mei 2013

Ikhlas dalam Introspeksi




Kedua penulis memulai bab ini dengan menyebutkan bahwa sikap berlebihan dalam amar makruf nahi mungkar hadir dalam banyak bentuk dan macamnya. Di antaranya ada orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar tujuannya tidak lain adalah untuk memenuhi kegemarannya dalam menguasai dan menaklukkan orang lain. Ada pula orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar secara berlebih-lebihan dalam arti untuk memenuhi hawa nafsunya. Di sisi lain, ada pula orang yang suka melakukan amar makruf nahi mungkar, tetapi ia justru merasa kecewa jika kemungkaran sudah mereda ketika ia sebelum datang. Hal itu karena ia merasa tidak kebagian dalam mencegah kemungkaran dimaksud dan tidak berkesempatan melawan atau menyakiti pelaku kemungkaran. Hal semacam ini tentu tidak baik mengingat tujuan adanya perintah amar makruf nahi mungkar adalah untuk kebaikan umat secara keseluruhan. Artinya, asalkan kemungkaran itu sudah tidak ada maka hal itu menunjukkan kemajuan, tidak pandang siapa yang mencegah kemungkaran itu. (hal. 33)
                     
Keikhsalan merupakan rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Tidak ada yang mengetahui keikhlasan seseorang kecuali Allah Swt., sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada” (QS. Ghafir [40]: 19). Menurut penulis buku ini, penting bagi setiap orang untuk belajar keikhlasan, termasuk dalam melakukan amar makruf nahi munngkar. Hal itu karena sebagaimana amalan lain, amar makruf nahi munngkar pun dilakukan tidak lain untuk mencari ridha Allah. Allah Swt berfirman, “...Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi [18]: 110).