Jumat, 05 April 2013

ORANG KAFIR TIDAK AKAN BERHENTI MEMUSUHI ISLAM



Ketika terjadi penyerbuan pasukan gabungan yang dipimpin Amerika Serikat ke Afghanistan dengan mengatasnamakan sebagai pasukan PBB untuk perdamaian, muncul berbagai penilaian dari berbagai pihak yang beragam. Ada di antaranya yang menyatakan bahwa peristiwa ini merupakan upaya menumpas terorisme yang dilakukan oleh organisasi yang dipimpin Osamah bin Laden yang ketika itu bermaskas di Afghanistan. Negara ini diserang karena dianggap melindungi teroris yang mengganggu ketenteraman dunia. Inilah alasan utama yang mereka ungkapkan ketika memulai penyerbuannya. Namun, selain penilaian tersebut, ada pula yang berpendapat bahwa ini merupakan bentuk konspirasi untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Mereka menganggap bahwa Islam merupakan ancaman baru bagi bangsa Barat setelah tumbangnya komunisme. Penilaian yang awalnya diungkapkan oleh Samuel Huntington ini ternyata sangat berpengaruh pada sikap masyarakat Barat. Saat ini, bila mereka mendengar sesuatu tentang Islam, banyak di antara mereka yang menilai bahwa agama ini identik dengan terorisme atau kekerasan. Stigma demikian telah mendorong sebagian dari mereka untuk berpendapat bahwa agama ini dan pemeluknya harus dihancurkan. Karena itu, dengan beragam alasan yang dicari-cari mereka berupaya keras untuk menghancurkan Islam dan penganutnya.
Penilaian yang kedua ini menjadi semakin meluas ketika terbukti bahwa alasan penyerbuan ke Irak yang juga dilakukan oleh tentara gabungan pimpinan Amerika tersebut tidak benar. Pabrik senjata kimia pemusnah massal yang menjadi alasan utama dan dituduhkan oleh mereka dimiliki Irak ternyata tidak ditemukan. Alasan ini dengan sendirinya menjadi batal, karena memang tidak dapat dibuktikan. Karena itu, semua yang mereka lakukan tidak lain hanya merupakan konspirasi untuk penghancuran Islam atau negara Islam yang dinilai membahayakan. Tampaknya, para musuh itu selalu tidak senang melihat Islam yang berkeinbang dan negara Islam menjadi kuat dan mandiri, demikian pendapat yang memunyai penilaian tentang konspirasi. Karena itu, mereka selalu mengupayakan agar negara Islam tidak menjadi kuat, baik dari segi politik, budaya, maupun ekonomi. Sebelum menjadi kekuatan yang mengkhawatirkan, Islam mesti dikebiri dan ditundukkan, sehingga selalu bergantung pada mereka dan tidak meresahkan bagi kehidupan internasional.
Dari kesan seperti yang digambarkan itu, muncul pertanyaan betulkah selalu muncul konspirasi untuk memusuhi Islam. Bila benar teori ini, maka apa penyebab utama yang mendorong mereka yang memusuhi Islam untuk menghancurkan agama ini. Bila tidak benar, apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya aliansi berbagai negara yang bertujuan menyerang umat Islam atau negara Islam tertentu. Mungkinkah pendapat tentang konspirasi ini merupakan suatu pemikiran yang agak berlebihan atau sikap yang over reacted, ketika menghadapi kekuatan musuh. Pertanyaan-pertanyaan ini sudah menyebar dan menjadi persoalan penting bagi umat Islam. Karena itu, penjelasan tuntas tentang masalah ini sangat diperlukan, agar kaum Muslim dapat merespons persoalan tersebut dengan benar dan tidak gegabah dalam bersikap.
Munculnya kesan tentang teori konspirasi ini tidak dapat disalahkan. Upaya penghancuran Islam memang sering terjadi sejak awal kemunculannya. Dari waktu ke waktu, perilaku mereka yang tidak senang pada Islam selalu sama. Beberapa peristiwa sejarah yang berkaitan dengan berbagai penyerangan terhadap Islam dan umatnya telah membuktikan kebenaran asumsi ini. Mereka yang mengemukakan pendapat ini tampaknya merasa semakin yakin dengan adanya informasi dari al-Qur'an tentang masalah ini, dan mereka menunjuk firman Allah yang mengisyaratkan hal tersebut, yaitu:
                                                     
Ayat ini sebenarnya merupakan jawaban atas kritikan sebagian orang Arab yang menuduh umat Islam melakukan peperangan pada bulan haram. Karena itulah ayat ini turun untuk menjelaskan bahwa melaksanakan perang pada bulan haram memang dilarang. Sehubungan dengan hal ini, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan ath-Thabrani yang berasal dari Jundub bin Abdillah bahwa Rasulullah saw. mengirim pasukan yang dipimpin Abdullah bin Jahsy. Kemudian mereka bertemu dengan pasukan musuh yang dipimpin Ibnu al-Hadrami. Dalam perang, panglima musuh ini terbunuh. Setelah peristiwa ini berlalu dan agak terlewatkan, muncul kabar burung yang ditiupkan kaum Musyrik bahwa umat Islam telah melanggar larangan, yaitu berperang pada bulan haram. Ketika itu tidak jelas, apakah peristiwa tersebut terjadi pada bulan haram atau sebelumnya. Kemudian turun ayat ini untuk menjelaskan ketetapannya. [1]
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab dari turunnya ayat tidak” menjelaskan masalah yang dibicarakan. Padahal, frasa yang digarisbawahi pada ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kaum kafir akan selalu berupaya untuk menghancurkan umat Islam dan mengembalikan mereka pada kekafiran. Karena sabab nuzul tidak memberikan informasi yang diperlukan, pembahasannya akan tertuju pada masalah utama yang dikaji, yang ternyata dijadikan sebagai sumber u :ituk membenarkan pendapat mereka yang memberikan respons tersebut.
Islam berkembang dengan pesat, baik sebagai agama maupun kekuatan politik. Tak pelak lagi, hal yang demikian ini telah mengundang berbagai respons dari berbagai kalangan. Selain yang mengagumi perkembangan yang demikian spektakuler, ternyata tidak sedikit pula yang bereaksi negatif. Kelompok yang terakhir ini bisa jadi terdiri dari kelompok, aliran, negara, atau bangsa yang merasa terancam oleh Islam, baik sebagai agama, umat yang berideologi, maupun sebagai negara. Pada giliran selanjutnya, reaksi negatif ini telah mendorong munculnya keinginan untuk menghancurkan Islam yang terus berkembang. Namun, untuk menghadapi kekuatan ini, tampaknya mereka tidak berani bertindak sendiri-sendiri. Ada kemungkinan sikap ini didasarkan pada kekhawatiran atas kekuatan Islam itu sendiri, atau dapat juga disebabkan oleh kekhawatiran pada kecaman dunia atau kerugian yang akan ditanggung. Karena itu, dalam banyak kasus, upaya untuk menghancurkan Islam selalu dilakukan secara bersama-sama yang melibatkan berbagai kelompok. Inilah konspirasi yang bertujuan untuk menghapus Islam dan umatnya dari muka bumi.

Tampaknya, konspirasi yang demikian tidak saja terjadi pada masa kini. Sejak permulaan munculnya Islam, hal ini sudah pula ada. Dalam berbagai kasus diriwayatkan ketika penduduk Mekkah meminta agar Nabi saw. menghentikan dakwahnya, atau melakukan apa saja untuk rnenghalangi dan mengganggunya, selalu mereka mengatasnamakan kegiatan atau upayanya sebagai keinginan kolektif dari semua suku yang tinggal di kota itu. Hal seperti ini dilakukan karena dalam budaya Arab, setiap orang memiliki pelindung dari sukunya. Bila salah satu anggota suku dibunuh atau disakiti orang dari suku lain, maka seluruh keluarga sesuku akan bangkit menuntut balas. Inilah sebab dari munculnya konspirasi untuk melawan Rasulullah saw. yang ketika itu berada di bawah perlindungan Bani Hasyim.
Puncak konspirasi untuk mengatasi persoalan yang mengganggu adalah keputusan akhir yang disepakati penduduk Mekkah, yaitu untuk membunuh Rasulullah saw. Mereka secara khusus mengadakan pertemuan untuk membahas masalah ini. Dalam pertemuan tersebut terjadi pendebatan tentang sikap yang akan diambil, apakah Nabi saw. diusir dari Mekkah saja, dipenjarakan agar tidak dapat melakukan kegiatannya lagi, atau dibunuh saja. Dengan memerhatikan segala pertimbangan, akhirnya disepakati untuk mengeksekusi Nabi saw. Kisah ini dicantumkan dalam al-Qur'an untuk mengingatkan kaum Muslim tentang upaya kaum kafir untuk menghancurkan Islam yang tidak pernah berhenti. Ayat yang mengisyaratkan hal ini yaitu:


“Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk rnenangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya” (QS. al-Anfal [8]: 30)
Pelaksanaan hasil musyawarah adalah dengan mengirim para pemuda dari setiap suku untuk melaksanakan eksekusi ini. Ketetapan ini segera dijalankan, dan setiap kabilah mengirim utusannya untuk berpartisipasi. Montgomery Watt menulis dalam bukunya yang berjudul Muhammad's Mecca: History in the Qur'an bahwa konspirasi ini pada akhirnya gagal,[2] karena ketika itu para pelaksana tertidur dan tidak mengetahui bahwa Nabi saw. telah keluar dari rumahnya. Informasi tentang kegagalan ini juga diungkap dalam al-Qur'an, yaitu seperti yang tercantum dalam QS. Yasin [36]: 9, yaitu:

“Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), serta Kami tutup (matq) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat:” (QS. Yasin [36]: 9)
Konspirasi kedua yang menonjol dalam sejarah Islam adalah kesepakatan penduduk Mekkah dengan berbagai suku di Jazirah Arab untuk menghancurkan umat Islam di Madinah. Kerja sama ini diprakarsai oleh kelompok Yahudi dari Bani Nadhir yang telah diusir dari Madinah karena berkomplot untuk membunuh Rasulullah saw.[3] Untuk mewujudkan keinginan tersebut, suku ini kemudian mengirimkan utusan ke kaum Quraisy di Mekkah, kaum Ghathafan, dan kabilah lainnya dengan satu misi, yaitu mengajak mereka secara bersama menyerang Nabi saw. dan kaum Muslim di Madinah.[4] Pada waktu yang telah ditetapkan, pasukan-pasukan dari berbagai kabilah ini berangkat menuju Madinah dengan satu tujuan, yaitu menghancurkan Islam dan umatnya. Untuk menghadapi jumlah yang sangat besar ini, umat Islam membuat parit di sekeliling kota yang diharapkan dapat menghambat laju mereka. Setelah melalui perjuangan yang gigih, kaum Muslim dapat memenangkan peperangan ini. Bala tentara sekutu kembali dengan tangan hampa setelah dilanda angin topan yang memorak-porandakan perkemahan mereka.
Pada abad pertengahan, konspirasi semacam ini terjadi lagi, yaitu dengan terjadinya Perang Salib di Palestina. Perang ini disebabkan oleh munculnya kekhawatiran umat Nasrani terhadap kelancaran ziarah mereka ke Palestina yang ketika itu dikuasai Dinasti Saljuq. Paus Urbanus pada 26 November 1095 menyampaikan khotbah di Clermont, Perancis selatan yang isinya mendesak umat Kristen Eropa agar b.ersatu menyerang Palestina untuk membebaskan Yerusalem. Pada musim semi tahun 1097, berangkatlah sekitar 150.000 pasukan Kristen menuju Palestira.[5] Selanjutnya, terjadilah pertempuran yang berkepanjangan ant ira keduanya. Inilah perang besar yang terjadi antara umat Islam can umat Kristen dari seluruh daratan Eropa.
Memerhatikan paparan di atas, tidak aneh bila sebagian umat Islam berpendapat bahwa setiap saat konspirasi orang-orang kafir untuk menghancurkan Islam akan selalu terjadi. Fakta sejarah memang menunjukkan peristiwa-peristiwa seperti yang digambarkan. Namun, tampaknya perlu juga diperhatikan apakah teori ini memang terjadi secara umum, atau disebabkan oleh adanya kasus-kasus tertentu.  Penilaian demikian diperlukan, agar dalam menganalisis, umat Islam tidak terjebak pada sikap permusuhan yang belum tentu akan memberi manfaat. Lebih lanjut, introspeksi diri tampaknya juga diperlukan, agar mereka tidak menganggap bahwa mereka itu memang selalu berada di pihak yang benar.
Bila dilihat kembali kasus yang terjadi di Afghanistan, tampaknya memang diperlukan analisis yang cermat tentang penyebab dari munculnya ide untuk menyerang negara ini. Alasan yang dikemukakan untuk melegitimasi penyerangan adalah karena Afghanistan dinilai melindungi teroris, Usamah bin Laden, yang telah menyerang kepentingan Amerika di beberapa negara. Kenyataan ini tentu diketahui bersama, walaupun masyarakat dunia juga mengetahui bahwa aksi Usamah ini dipicu oleh sikap Amerika, yang menurut pendapat berbagai 1 alangan  menerapkan standar ganda dalam menggariskan beber..pa isu politik dan sosial, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan masalah lain. Banyak yang menilai ketika Amerika mendesak pelaksanaan isu-isu tersebut di suatu negara, namun di negara lain yang menjadi sekutunya, hal itu tidak diharuskan. Akibatnya, banyak kebijakan negara adidaya dinilai merugikan suatu negara dan menguntungkan negara lain. Inilah sebenarnya pokok masalah yang sering kali menyebabkan beberapa pihak merasa kesal pada kebijakan-kebijakan yang dilakukan negara tersebut.
Analisis di atas memang ada benarnya. Namun, dalam menelusuri persoalan ini dengan lebih mendalam, tampak bahwa yang dilakukan Amerika dan sekutunya itu lebih ditujukan kepada negara yang dinilai memiliki potensi yang mengancam kepentingan mereka. Ini tentu menjadi persoalan yang relatif, sebab ancaman atau bukan tentunya akan bergantung pada sikap dan respons dari setiap pihak. Terhadap negara Islam yang tidak dianggap sebagai ancaman, ternyata mereka tidak menerapkan sikap keras tersebut. Dengan fakta ini, ada pula yang menilai bahwa apa yang terjadi di Dunia Islam bukan merupakan konspirasi untuk menghancurkan umat Islam. Fakta yang tidak dapat dibantah adalah bahwa saat ini terdapat puluhan negara Islam, namun hanya beberapa saja yang dinilai membahayakan karena dipimpin oleh tokoh yang memang bersikap militan. Negara-negara Islam lain yang dinilai tidak beraliran keras tidak mengalami gangguan. Peristiwa-peristiwa penyerangan itu merupakan kasus yang mengemuka karena dipicu oleh adanya kekhawatiran terhadap potensi yang mengancam kepentingan mereka. Kendati demikian, umat Islam tentu wajib pula mengingat negara adidaya dan sekutunya bahwa tindak kekerasan yang mereka tunjukkan justeru akan semakin memicu munculnya perlawanan. Hal yang sedemikian ini tentu tidak diinginkan.
Persoalan lain yang dinilai lebih urgen adalah akibat dari reaksi yang mungkin timbul dari masalah konspirasi ini. Ketika isu ini diembuskan, dan umat Islam memercayainya, maka dipastikan akan muncul sikap antipati dan permusuhan terhadap pihak-pihak yang dinilai telah berkonspirasi. Bila suasana demikian yang muncul ke permukaan, akibatnya akan timbul rasa saling curiga di antara masyarakat dunia. Keadaan demikian tentu bukan merupakan hal yang kondusif bagi setiap pihak. Pada saat semua negara sedang giat mencanangkan pembangunan bagi rakyatnya, maka kerja sama antarnegara sangat diperlukan. Kondisi seperti ini hanya tercipta dengan baik bila tumbuh keinginan untuk saling menghargai dan memercayai pihak lain. Sebaliknya, bila yang ada adalah perasaan saling curiga dan antipati, maka kerja sama yang diinginkan akan sulit diwujudkan. Kerugian pada setiap pihak jelas tidak akan terelakkan lagi. Suasana demikian tentu tidak diinginkan.
Islam adalah agama yang ditetapkan sebagai rahmatan lil’amin, yaitu yang dapat membcikan kesejukan, ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian bagi masyarakat dunia. Hal ini mengisyaratkan bahwa mestinya para pemeluknya berupaya untuk

mewujudkan kondisi yang kondusif bagi sesama. Untuk menuju keadaan demikian diperlukan kearifan dalam segala hal, baik yang menyangkut kehidupan individu, sosial, hubungan dengan masyarakat non-Muslim, dan sebagainya. Bila ini yang diagendakan, maka dapat dipastikan umat Islam justeru akan berperan besar dalam menyelenggarakan kehidupan yang baik bagi semuanya.
Paparan di atas bukan berarti sebagai sikap lemah dari umat Islam. Sesuai dengan ajaran agama ini, kaum Muslim dianjurkan untuk berbuat baik, bersikap adil, menghargai pihak lain, kerja sama yang saling menguntungkan dengan siapa saja dalam kebaikan, dan mewujudkan kehidupan yang tenang, sejahtera, dan penuh kedamaian. Namun, bila muncul gangguan yang mengancam eksistensinya, mereka tidak dilarang untuk membela diri dan bersiaga agar mereka tidak terprovokasi oleh keinginan-keinginan buruk yang diembuskan pihak lain.
Kesimpulan dari paparan ini adalah bahwa umat Islam jangan mudah terpancing isu-isu yang dapat mengakibatkan munculnya sikap yang dapat merugikan. Konspirasi untuk menghancurkan Islam memang pernah ada dan akan muncul pula di lain saat. Namun, hal ini hendaknya dikaji lebih dulu secara saksama dan dengan kearifan yang dapat meredam emosi sesaat. Sebelum menentukan sikap, mesti dipertimbangkan lebih dulu aspek positif dan negatifnya, sehingga bukan kerugian dan penyesalan yang akan didapatkan dalam kehidupan antarbangsa.


1 Qamaruddin Shaleh et al, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 1974) h 68.

[2] W. Montgomery Watt, Muhammad`s Mecca : History in the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1988) h. 105
[3] Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, terjemah oleh Rahmat, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 418
[4] Lihat Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terjemah oleh Ali Audah, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992), h. 342.
[5] Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The MacMillan Press Ltd, 1974), h. 636.

Kamis, 04 April 2013

Pendapat Para Mufasir



Mari kita mulai dari mufasir periode klasik yang dalma hal ini diwakili oleh Ibn Katsir dan Fakhruddin ar-Razi.  Nama yang terakhir ini memerikan komentar tentang ayat tersebut dengan menyatakan:
                                                           
“kondisi mereka dalam berpegang kepada kebatilan secara kokoh, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka itu juga berkeinginan agar millah mereka diikuti.  Mereka tidak rela dengan Kitab (al-Qur’an yang dibawa Rasulullah saw.), bahkan mereka berkeinginan mendapat persetujuan Rasul saw menyangkut keadaan mereka”.  Pernyataan ar-Razi ini kemudian ditutup dengan kesimpulan terhadap ayat tersebut yaitu “Demikianlah (Allah swt) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka terhadap Rasul saw, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan keputusasaan tentang kemungkinan mereka untuk masuk Islam.”5[1]

Dari kelompok kontemporer mufasir kenamaan dari Tunisia Thahir bin’Asyur akan kita kutip di sini.  Ketika menjelaskan kalimat hattâ tattabi’ millatahum (sampai engkau mengikuti millah mereka), ia memberi penjelasan yang agak mirip dengan ar-Razi di atas dengan menyatakan bahwa ungkapan terebut adalah kinâyah (kalimat yang mengandung makna tidak sesuai dengan bunyi teksnya) tentang keputusasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk masuk Islam ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul saw. kecuali kalu ia mengikuti millah/ tata cara mereka.  Ini berarti bahwa mereka tidak mungkin akan masuk agama Islam; karena kemungkinan Nabi saw. ikut agama mereka adalah sesuatu yang mustahil maka kerelaan mereka terhadap agama Rasul saw juga sesuatu yang mustahil.6[2]



Pandangan Al-Qur’an tentang Orang Yahudi dan Nasrani

Al-Qur’an menyebut kelompok orang Yahudi dan Nasrani dengan beberapa ungkapan.  Dan, setiap ungkapan memiliki penekanan makna tersendiri.  Apabila langsung digeneralisir tentu tidak tepat.  Beberapa istilah tersebut antara lain:
Ahl al-kitâb yang terulang sebanyak 31 kali;
Âtul kîtab terulang sebanyak 21 kali;
Aladzî âtainâ humul kitâb 13 kali;
Âtû nashîban minal kitâb terulang 13 kali;
Al- Yahûd terulang sebanyak 8 kali;
alladzî Hâdû frekuensinya sebanyak 10 kali;
an- Nashârâ terulang sebanyak 14 kali; dan
Bani/Banû Isrâ’il sebanyak 41 kali.

                Ayat di atas menggunakan kata Al- Yahûd dan an- Nashârâ untuk menunjuk dua komunitas non-Muslim terebut.  Apabila Al-Qur’an menggunakan kata Al- Yahûd, maka kesan yang dapat ditangkap adalah kecaman atau gambaran negatif tentang mereka.  Hal ini berbeda apabila redaksi yang digunakan adalah alladzî Hâdû, maka kesan yang dapat ditangkap adalah di samping kecaman dan sifat negatif ada juga yang netral seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 62. Hal ini sama dengan kata an- Nashârâ bahkan kata yang terakhir ini ada yang terkesan positif dan pujian misalnya dalam QS. al-Mâ’idah [5]: 82.

                Cukup banyak ayat yang berisi kecaman terhadap dua kelompok ini, meskipun dengan penekanandanaspek yang dikecam berbeda.  Di antaranya adalah dalam hal sikap keberagamaan mereka QS. an-Nisâ’ [4]: 171 meluiskan hal ini:




Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.”

                Sikap melampaui batas yang dimaksud dalam ayat tersebut antara orang Yahudi dan Nasrani, menurut para mufsir, ada jperbedaan.  Kecaman al-Qur’an terhadap orang Nasrani terutama ditujukan dalam aspek akidah seperti yang ditunjukkan dalam lanjutan ayat 1714 surah an-Nisâ juga dalam QS. al-Mâ’idah [5]: 72-73.  Sedangkan kaum Yahudi secara umum mereka tidak banyak melakukan penyimpangan dalam akidah sehingga mereka dikecam dalam konteks sikap mereka yang arogan, jahat, dan sangat memusuhi umat Islam seperti yang terekam dalam QS. al-Mâ’ idah [5]: 82.

                Penjelasan QS. at-Taubah [9]: 30 yang menyatakan bahwa kaum Yahudi meyakini ‘Uzair sebagai anak Allah oleh sebagian besar mufasir tidak dianggap sama dengan pandangan kaum Nasrani yang menganggap Isa sebagai anak Allah.  Imam Ibn Jarir ath-Thabari, misalnya, menyatakan bahwa keyakinan terebut hanya dibantu oleh Yahudi Arab bukan merupakan keyakinan umum orang-orang Yahudi.7[3]Pandangan ini diperkuat oleh Husayn ath-Thabataba’i yang menyatakan bahwa pengertian “anak Allah” dalam ayat tersebut bukanlah dalam arti yang sebenarnya seperti halnya kaum Nasrani yang menyatakan ‘Isa anak Allah.  Ungkapan tersebut hanyalah kiasan sebagai penghormatan kepada ‘Uzair yang berjasa besar dalam mengodifikasi dan mengedit kembali Kitab Taurat setelah hancur karena penyerbuan Raja Babilonia ke Yerussalem.  Ungkapan tersebut sama dengan yang terdapat dalam QS. al- Mâ’idah [5]: 13 di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani menyatakan “kami adalah anak-anak Allah”.  Maksudnya, mereka mengklaim bahwa mereka adalah orang-orang yang amat dekat dengan Allah, sebuah klaim yang tidak benar.8[4]

                Demikian juga dalam QS. Âli ‘Imrân [3]: 118 yang mengingatkan kaum Muslim untuk bersikap hati-hati terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani ini:





“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.  Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.  Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.  Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 118)

                Ayat ini berada dalam kelompok ayat yang berbicara tentang ahl al- kitâb.  Orang yang di luar kalanganmu maksudnya adalah mereka.  Terhadap kelompok ahl al- kitâb seperti yang tergambar dalam ayat inilah tertuju perintah Nabi saw. seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah:




Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan jangan pula kepada Nasrani.  Kalau kalian menemukan salah seorang di antara mereka di jalan maka desaklah ia ke pinggiran.”

                Banyaknya ayat yang mengecam orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an termasuk dalam Hadits apakah ini dapat berarti dapat disimpulkan bahwa keduanya adalah sama dalam arti selalu berusaha memusuhi umat Islam bahkan selalu berkonspirasi, sehingga umat Islam harus juga selalu memusuhinya?

                Penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur’an sampai kepada kesimpulan bahwa sikap mereka terhadap kaum Muslim tidaklah sama.  Karena tidak sama, sungguh keliru kalau kaum Muslim memperlakukan mereka dengan sikap yang sama, yaitu juga memusuhi. Isyarat ini dapat ditemukan dalam beberapa ayat.  Paling tidak, ada tiga ayat yang dapat mendukung kesimpulan tersebut, yaitu QS. al-Mâ’diah/5: 59:





Katakanlah: “Hai ahli Kitab, apakah kamu memandang Kami salah, hanya lantaran Kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada Kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kalian benar-benar orang-orang yang fasik?”

                Ungkapan yang menjadi indikasi adalah “kebanyakan di antara kalian (ahl al-kitâb) adalah orang-orang fasik”, Secara kebahasaan, ungkapan banyak dalam ayat terebut berarti tidak semua ahl al-kitâb bersikap memusuhi kaum Muslim.9[5]Hal ini menjadi lebih jelas apabila dilihat ayat lainya di antaranya QS. al-Baqarah [2]: 109:


5 Fakhruddin Al-Razi, Tafsir al-Kabir, juz, III, h. 35.
6 Thahir bin ‘Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, juz I, h. 213.
7 Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’al-Bayan ‘an Ta’wil Al-Qur’an, jilid X, h. 110.
[4] Husain ath-Tabataba’i, al-Mîzân, Jilid IX, h. 25. Dan Jilid V, h. 268
9 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, h. 354.

Rabu, 03 April 2013

Distorsi Penafsiran Ayat al-Qur’an



Sampai titik ini, semakin jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan memerangi seseorang atau negara non-Islam hanya semata-mata karena perbedaan agama. Tetapi,beberapa ayat mengenai perang memang sering mengalami distorsi makna akibat pemahaman parsial dan tidak utuh.  Misalnya, ayat-ayat tentang perang yang terdapat dalam surah at-Taubah [9] ayat 5, 14, 29, dan 36 yang diambil secara sepotong-sepotong tidak jarang menggiring ke pemahaman bahwa Islam memerintahkan untuk memerangi siapa saja yang berbeda agama.  Padahal, bila ayat tersebut dicermati dan dibaca secara utuh, pemahaman ekstrem seperti ini menjadi jelas penyimpangannya karena bertentangan dengan karakteristik dasar Islam yang rahmah dan penuh damai.
Dalam ayat 5 surah at-Taubah, misalnya, potongan ayat yang artinya, “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai”, harus dibaca dalam konteks yang utuh dan mengaitkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu tentang orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian damai dan yang tetap setia dengan perjanjian damai. Perintah Allah adalah memerangi orang-orang musyrik yang berkhianat dan melanggar perjanjian damai.  Dengan demikian, orang-orang musyrik yang tetap setia dengan perjanjian damai dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslim, maka tidak boleh diperangi.  Orang-orang musyrik ini dapat bebas tanpa gangguan dan dijamin keamanannya selama masa ikatan perjanjian (ayat 4 surah at-Taubah).  Dan, dalam ayat 6 sesudahnya, Allah memerintahkan kepada Nabi saw. Dan kaum Muslim untuk memberikan jaminan keamanan bagi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan.
Pada ayat 14 surah at-Taubah, orang-orang non-Muslim yang diperintahkan untuk diperangi adalah mereka yangmelanggar perjanjian damai dan berencana memerangi kaum Muslim, seperti yang dapat dibaca dengan jelas dari ayat sebelumnya (ayat 12 dan 13surah at-Taubah).  Demikian pula dengan ayat 29 dan 36 pada surah yang sama.  Dalam ayat 29, Allah memerintahkanuntuk memerangi orang-orang kafir (Ahlul-Kitab) karenaadanya niat permusuhan dalam dirimerekapada waktu itu untuk memerangi kaum Muslim.  Sementara dalam ayat 36, perintah perang kepadea kaum musyrik di bulan Haram, karena kaum musyrik itu telah berkhianat dan melanggar perjanjian dengan melakukan penyerangan di bulan Haram yang dalam tradisi Arab dilarang melakukan peperangan.[1]
Dalam konteks ini, ayat lain yang sering kali mengalami distorsi makna sehingga terkesan radikal adalah ayat 193 surah al-Baqarah dan ayat 39 surah al-Anfâl.  Dua ayat ini, yaitu firman-Nya, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada finah dan supaya kepatuhan seluruhnya semata-mata untuk Allah.
Ayat 193 surah al-Baqarah yang memerintahkan kaum Muslim untuk berperang di sini harus dibatasi untuk berperang melawan mereka yang lebih dahulu melakukan agresi, sebagaimana terbaca dalam ayat 190 sebelumnya:
                     

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menukai orang-orang yang melampaui batas”.
Kemudian, dalam ayat 192 selanjutnya, al-Qur’an menyatakan bahwa peperangan itu harus dihentikan bila pihak musih menghentikan serangan,”Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.”  Menurut pakar tafsir M. Quraish Shihab, bila ayat 190 berbicara tentang kapan peperangan diizikan (yaitu saat ada musuh yang lebih dulu menyerang), maka ayat 192 dan 193 menjelaskan kapan peperangan mesti dihentikan.
Tujuan dari aturan perang seperti ini tidak lain agar tidak timbul fitnah, yakni “agar kekuatan syirik kaum musyrik itu tidak menimbulkan fitnah yang dapat menyakiti kaum Muslim sebagaimana dulu mereka menyakiti kaum Muslim di Mekkah;”[2] dan agar “wa yakûna al-dînu Lillâh” (kepatuhan hanya semata-mata kepada Allah), yakni bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus ditaati, antara lain member kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan mengamalkan agama dan kepercayaannya karena masing-masing akan mempertanggungjawabakannya, sesuai firman-Nya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kâfîrun [109]: 6).[3] sengaja disebarkan untuk memperburuk citra Islam.  Sebaliknya, Islam adalah agama damai yang penuh rahmat.  Bahkan, jika dicermati lebih teliti dari aspek kata Islam itu sendiri, secara kebahasaan, sebenarnya ada kesesuaian antara lafal Islam (îslâm) dengan kedamaian (salâm).  Dua lafal itu islâm dan salâm merupakan derivat yang berasal dari akar kata yang sama, yakni dari gabungan huruf sîn, lâm, dan mîm, yang berarti “selamat”dan “damai”.
Demikian pula, didalam al-Qur’an, Allah menyifati zat-Nya sebagai as-Salâm (Mahadamai).  Ucapan penghormatan umat Islam disebut ucapan salâm (kedamaian) untuk mengingatkan pengucapannya bahwa salâm atau kedamaian itu merupakan tujuan utama yang harus disebarkan dan tidak boleh sedikit pun lepas dari ingatan.  Lebih dari itu, setiap hari seorang Muslim diwajibkan paling kurang lima kali mengucapkan penghormatan Islam salâm di akhir setiap shalat; salâm kedamaian untuk sisi kanan dan kiri yang meliputi dua belahan bola bumi.
Demikianlah, jelas kiranya karakteristik Islam sebagai Agama yang damai dan penuh rahmat.  Dari itu,tak ada tempat dalam agama ini  bagi kekerasan dan radikalisme, atau fanatisme dan terorisme, serta berbagai bentuk kelaliman yang merusak dan menghancurkan kehidupan dan/ atau hak milik orang lain.  Terlebih lagi bila kita menyadari bahwa tujuan pokok dari ajaran Islam (maqâshid syari’ah) adalah menjaga danmemelihara hak-hak manusia yang paling mendasar, khususnya hak hidup,hak beragama, hakmemlihara akal, keluarga dan kepemilikan.  Tidaklah aneh karenanya bila Islam mengharamkan berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman kepada orang/golongan lain, sampai-sampai Islam menganggap kelaliman yang dilakukan kepada seorang manusia, sama artinya melakukan kelaliman kepada umat manusia secara keseluruhan, sebagai dinyatakan dalam Kitab Suci Islam:


Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.  Dan, barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 32)




[1] Tinjauan lebih lanjut tentang ayat-ayat ini dapat dilihat dalam: Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), cet. II h. 197 dan seterusnya.
[2] Muhammad Imârah (ed), al-A’mâl al-Kâmilah li Muhammad ‘Abduh, h. 4, 490, 491, 492.  Bandingkan M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, 9/552. Menarik untuk dicermati di sini bahwa al-Qur’an menggunakan kata wa qâtilûhum hattâ lâ takûna fitnah (“perangilah mereka agar tidak ada fitnah lagi”), bukan wa qâtilûhum hattâ yuslimû (“perangilah mereka sampai mereka masuk Islam”) yang menunjukkan bahwa tujuan peperangan ini bukanlah karena alasan perbedaan agama dan keyakinan (Lihat: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lâ Dzimmyyûn, h. 256).
[3] M. Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 62. 

Selasa, 02 April 2013

Basis Etika Perang dalam Islam


Berdasarkan penjelasan di atas, tidak diragukan lagi bahwa dalam islam terdapat hukum yang menjamin keselamatan dan perlindungan warga sipil dan non-kombatan serta fasilitas atau objek sipil yang tidak boleh dijadikan sasaran perang. Jaminan ini dalam islam  berlandaskan di atas beberapa prinsip dasar dalam islam, yaitu:
            Pertama, tujuan poko dari ajaran islam (maqoshid syari’ah) adalah menjaga dan memelihara  hak-hak manusia  yang paling mendasar, khususnya hak hidup, hak beragama, hak memelihara akal, keluarga dan kepemilikan. Tidaklah aneh karenanya bila islam mengecam berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman yang dilakukan kepada orang/kelompok lain, sampai-sampai islam menganggap kelaliman yang dilakukan kepada seorang manusia secara keseluruhan. Sesungguhnya islam memandang kehidupan dan nyawa manusia sebagai sesuatu yang suci yang menjadi tanda komitmen yang teguh untuk menjamin hak asasi manusia, sesuai firman Allah swt:
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”.(QS. Al-Maidah [5]:32)
            Tambahan lagi, dalam pandangan islam, setiap individu manusia merupakan personifikasi dari kemanusiaan yang dimuliakan oleh Allah.[1]Dan, kemanusiaan yang sangat dihormati dan dijaga oleh islam ini terefleksi dari bagaimana setiap manusia diperintahkan untuk menghormati manusia  yang lain: kebebasannya, kehormatannya, dan hak-hak kemanusiaan lainnya.[2]
            Kedua, prinsip pembedaan (principle of distintion)antara warga sipil dan pejuang (militer) sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Prinsip ini dengan singkat dan padat ditegaskan dalam Al-Quran  bahwa sasaran peramg bagi pasukan Muslim adalah, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melamapui batas.”[3]
            Ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa kendatipun peperangan diizinkan dalam islam untuk tujuan-tujuan yang legal, akan tetapi di dalamnya terkandung ancaman untuk tidak melampaui batas-batas diperbolehkan peperangan, termasuk di antaranya membunuh warga sipil yang tak berdosa dan memorak-morandakan fasilitas-fasilitas mereka, seperti rumah sakit, sekolah, dan sejenisnya. Karena itulah Allah swt. Menegaskan kembali di surah yang lain:
“Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang denagn serangannya terhadapmu”. (QS.al-Baqoroh [2]: 194)
“Dan jika kamu memberikan balsan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. (QS.an-Nahl [16]: 126)
Ketiga, prinsip fithrah dasar manusia adaalh keadaan tidak bersalah secara moral (moral innocence), yakni bebas dari dosa. Dengan kata lain, islam tidak mengenal istilah “dosa bawaan” atau “dosa turunan”. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan tidak dapat membebaninya ke pundak orang lain, sesuai firman Allah swt:
“(Yaitu) bahwasannya seorang yang berdosa  tidak akan memikul dosa orang lain”. (QS. Al-Najm [53]:38)
            Karenanya, membunuh warga sipil yang tidak berdosa adalah termasuk suatu tindakan yang tidak direstui dalam islam. Oleh karena itu pula, Yusuf Qaradhawi dan beberapa fatwa lembaga islam internasional[4] sepakat mengutuk berbagai tindakan terror yang menjadikan warga sipil sebagai sasaran penyerangan, seperti pembajakan pesawat sipil, pengeboman objek-objek wisata dan gedung sipil, dan aksi-aksi terror serupa.[5]


[1] QS.al-Isra’ [17]: 70; al-hijr [15]: 29.
[2] Lihat M.H> Zaqzuq, Haqo’iq Islamiyyah fi Muwahajat Hamalat at-Tasykik,(Kairo: Maktabah Asy-syuruk al-Dawliyyah ,2004), h. 51-52.
[3] QS.al-Baqoroh [2]:190.
[4] Tentang fatwa-fatwa Lembaga Islam Internasional, lihat “Lampiran Pengecamaan Agama Islam Terhadap Peristiwa Bom Bali dan Aksi Teroris Serupa “ dalam M.H. Hasssan, Terroris membajak Islam , h. 235 dan seterusnya.
[5] Yusuf al-Qaradhawi, al-islam wa al-‘Unf: nazharat Ta’shiliyyah,( Kairo:Dar al-Syuruq, 2005) h. 27-29.

Kekerasan Mengatas Namakan Agama



“Banyak diantara ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-baqarah [2]: 109)
            Ayat tersebut diawali dengan kata “banyak” yang berarti bukan semuanya, bukan juga kebanyakan atau sebagian besar. Sebagai contoh, apabila ada sepuluh lembar kertas, tiga diantaranya berwarna merah dan sisanya tujuh berwarna putih, maka yang tiga tersebut dapat dikatakan “banyak”bukan kebanyakan. Maka, akan keliru kalau tiga dikatakan kebanyakan, karena lebih dari dua saja sudah dapat disebut “kebanyakan”. [1]
            Dari sinilah dapat dimengerti penegasan ayat al-Quran dalam surah Ali Imran [3]: 113:

“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).”
            Para Mufasir berbeda pandangan menyangkut ayat ini. Kelompok pertama, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ummah qa’imah (kelompok yang lurus) dalam ayat tersebut adalah segolongan dari ahli Kitab yang telah masuk Islam. Di antara mereka adalah Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’id, Usaid bin Ubaid, dan lain-lain. Pandangan ini bersumber dari sahabat Ibn Abbas yang kemudian dikutip oleh para mufasir di antaranya Ibn Jarir Ath-Thabari, Abn Kasir, dan dari kalangan kontemporer seperti al-Maraghi. Asy-Sya’rawi menguatkan pandangan ini dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi yang telah masuk Islam didasarkan lanjutan ayat yang menyatakan “mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka bersujud yaitu shalat, sementara orang Yahudi tidak mengenal shalat malam.”[2]
            Kelompk kedua memahami bahwa ayat tersebut berbicara tentang kelompok ahli Kitab baik Yahudi maupun Nasrani yang tidak atau belum memeluk Islam, karena kata sujud tidak harus dipahami shalat tetapi dapat juga diartikan tunduk dan patuh. Mereka adalah orang-orang yang jujur, melaksanakan tuntutan agama mereka dengan benar, mengamalkan nilai-nilai universal yang diakui oleh seluruh manusia. Mereka tidak menganiaya dan tidak berbohong, tidak mencuri atau berzina, tidak berjudi atau mabuk-mabukan membantu dan menolong tanpa pamrih. Mereka termasuk orang yang shaleh dalam kehidupan dunia ini karena memelihara nila-nilai luhur.[3] Redaksi yang hampir sama dituturkan oleh Sayyid Quthb tanpan member penegasan apakah mereka sudah memeluk Islam atau belum yang menyatakan bahwa ayat ini berisi gambaran cemerlang tentang orang-orang beriman di kalangan ahli kitab.